BUMI BENCANA


Indonesia dikenal dengan zamrud khatulistiwa

Tapi juga dikenal laboratorium bencana

Konfersi lahan, deforestasi, longsor, gempa, banjir dan tsunami

Semua datang bertubi-tubi

Segenap nyawa dievakuasi

Puluhan tangis terpatri emosi

Ratusan rumah tersangkut banjir

Anak balita luka dan mati

Pendidikn nyaris berhenti

Siapa gerangan penyebab semua ini

Tangan-tangan liar penyulut api

Iklim ganas menyelimuti

Hai tangan-tangan yang masih berdaya

Jagalah kami alam terbuka

Agar kami tak lagi murka

Saat bumi terbangun dari mimpi.

 

*Puisi ditulis saat menjadi moderator acara Seminar Valuable Sharing “Membangun Masyarakat Peduli Bencana” Himpunan Mahasiswa Pascasarjana (HMP) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

02 Mei 2017

Untukmu, Kartini Indonesia


Jumat, 21 April 2017

Pagi yang cerah,

Menikmati hari di dua momen berharga

Hari lahir pergerakanku, PMII dan hari kartini

Hari ini, secerca harapan terukir

Melintasi batas cakrawala

Saat bayi-bayi perempuan lahir,

Tak lagi terkungkung masa

Mentari menyambut cerah

Darinya pendidikan tertata

Peradaban tercipta

Tak ada lagi tangisan mencederai fitrah

Semua merdeka meraih suara

Saat kaki berdiri kokoh

Tak ada duri menyayat mimpi

Tak ada batu membendung asa

Karnamu kartini, hidup bak pelangi

Namun, kutahu, pelangi hadir setelah hujan membasahi

Saat setelah terik membakar bumi

Sungguh ada dahaga tersulam sebelum kesejukan

Ada derita yang mungkin berkepanjangan

Namun, anak kartini tak gentar meraih pelangi

Meski hutan terbakar, meski lapar berkepanjangan,

Meski darah bercucuran,  meski akal tergadaikan

Meski keadilan terabaikan

Kami generasi kartini akan terus berjuang, berkarya, menggagas keadilan.

Untukmu, Indonesiaku….

 

 

Little Prince “Special Gift”


Muhammad Zaidan Fawwazi

Teruntuk Anakku,

Dialah pelita di tengah kegelapan

Dialah Cerita dibalik kehampaan

Dialah Anugerah didalam kehidupan

Dialah Cinta diantara keheningan

Dialah Keberuntungan diantara serak kerinduan

Muhammad,

Kibarkan dakwah ke penjuru alam

Insan Teladan berbalut kesucian

Yang terpuji dan luhur budi pekerti

Penebar rahmat untuk semua umat

Zaidan,

Mutiara terkasih yang selalu bertambah

Ketaqwaan, Ilmu, dan Amal,

Kecerdasan, Kelebihan, Talenta

Fawwazi,

Kaulah keberuntungan akbar,

Kesuksesan Mulia

Kejayaan yang besar,

Kekuaatan agung sebuah impian..

Genggamlah Citamu setinggi angkasa

Gantungkan padaNya Sang Pencipta

Dialah pengabul segenap doa, impian

Ku harap Masa Depanmu Cemerlang

Secemerlang namamu

Zaidan Fawwazi, Anakku tersayang..

Mama dan Ayah akan selalu menjagamu, meraih semua citamu..

We love you… dear

 

 

IMG-20151028-WA0018

MY JOURNEY AS A PART OF CSS MoRA UIN SYAHID JAKARTA


Oleh: SUROTUL ILMIYAH*

 Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman

Tinggalkan negerimu dan merantaulah di negeri orang

Merantaulah, kau akan dapat pengganti dari kerabat dan kawan

Berlelah-lelahlah manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang

Aku melihat air jadi rusak karena diam tertahan

Jika mengalir akan menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang

Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan mendapat mangsa.

Anak panah jika tak tinggalkan busur, tak akan kena sasaran

Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam,

Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang

Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan.

Imam Syafi’i (767-820 M)

 Kata mutiara dari Ulama’ terkenal ini saya kutip dari novel best seller karya seorang santri dari Pondok Modern Gontor, Pondok Impian saya ketika kelas 2 MTsN Pasuruan. Ya, siapa lagi kalau bukan Ahmad Fuadi, penulis novel best seller trilogi Negeri 5 Menara. Tinggal di negeri orang dalam perantauan untuk menuntut ilmu memang menjadi sebuah diorama perjalanan akademis yang sangat berharga. Sebelumnya, perkenalkan nama saya SUROTUL ILMIYAH, panggil saja Ilmy. Disini, izinkan saya akan sedikit bercerita tentang sebuah pengalaman menjadi bagian dari CSS MoRA UIN Syahid Jakarta.

 

Sebuah Mimpi & Keputusan Setengah Hati

Sejak lama saya memendam keinginan untuk mendapatkan beasiswa kuliah S1 di Universitas ternama di Indonesia. Entah bagaimanapun caranya, biar Sang Maha Pengasih yang menunjukkan jalannya. Demi impian ini, saya benar-benar serius belajar. Fokus saya adalah mengejar prestasi baik akademik maupun non akademik. Akademik dengan menjadi juara kelas, non akademik dengan mengikuti berbagai perlombaan baik tingkat kota maupun tingkat provinsi.

Sejak orang tua (H. Abdul Karim dan Hj. Siti Anisah) berangkat haji, tepatnya pada tahun 2002 atau kelas 5 SD, saya bertekad untuk menjadi pribadi yang terbaik. Tak ada yang lebih membuat saya bahagia kecuali senyum orang tua. Alhasil, Allah mengabulkan doa-doa saya, sejak kelas 5 SD itulah saya berhasil mendapatkan juara 1 pararel berturut-turut hingga kelas XII SLTA. Dan yang membuat saya terharu adalah saat mendapatkan penghargaan dari Walikota Pasuruan dan Gubernur Jawa Timur, sebagai juara 1 Lomba KIR Koperasi se-Kota Pasuruan dan juara 2 se-Jatim .

Melanjutkan studi SMA di Pesantren Al-Yasini adalah keputusan setengah hati saya. Bagaimana tidak, waktu itu saya bermimpi dapat melanjutkan sekolah di SLTA favorit kota Pasuruan, tepatnya SMA 2 Pasuruan (SMADA). Semua guru menyarankan saya sekolah disitu dengan pertimbangan prestasi yang sempat saya torehkan di MTsN Pasuruan, hanya orang tua yang menyarankan saya sekolah di Pesantren. Sungguh saran yang membuat hati ini berkecamuk hebat. Memang, dulu ketika kelas VIII MTs, saya ingin melanjutkan studi di Pesantren Gontor, karena saya dengar, pembelajaran bahasa di Gontor sangat bagus. Namun, entah mengapa ketika detik-detik kelulusan, saya benar-benar tak mau lagi sekolah di pesantren manapun. Saya hanya berfikir untuk dapat melanjutkan studi di sekolah bonafit yang sudah terpercaya dalam melahirkan generasi yang berprestasi. Terlebih saat itu, saya sudah bergabung dengan sahabat teater Alif yang sudah sempat menjuarai kancah provinsi. Saya dan teman-teman tak ingin berpisah, karena kita punya agenda besar untuk membesarkan nama teater Alif. Namun, orang tua saya tak pernah melarang saya sekolah dimanapun. Beliau mengizinkan saya untuk daftar di SMADA. Beliau hanya memberikan nasehat dengan nada bijak sembari menunjukkan profil pesantren terpadu yang tak kalah dalam hal prestasi, yaitu Pesantren Al-Yasini, Areng-Areng Pasuruan.

Singkat kata, saya pun masuk pesantren. Saya lebih memilih ridho orang tua daripada harus memaksakan kehendak pribadi semata. Saya yakin, apa yang menjadi keputusan final ini telah dipertimbangkan matang oleh ayah dan umi, karena sepanjang perjalanan hidup saya, pilihan orang tua tidak pernah salah. Dari sinilah saya mulai menata kembali impian selama di pesantren.

Menuntut ilmu di pesantren menyisakan kesan tersendiri bagi saya. Disini saya belajar nilai-nilai kepedulian dalam miniatur kehidupan. Pada masa awal di pesantren, saya merasa sendiri dan terasing di medan yang jauh dari peradaban, jauh dari orang tua, dan jauh dari fasilitas. Terlebih saat itu, beragam amanah saya dapatkan. Saya merasa “Al-Wajibu aktsaru minal Auqots” atau So little time, so much to do”. Jadi santri atau murid di SMA, Madrasah Diniyah, mu’allimah LPQ, English tutor of LPBA, koordinator bidang pendidikan Pesantren, wakil ketua OSIS, ASA, editor majalah EKSIS, duta ESSA, koordinator KTI (Karya Tulis Ilmiah) dan Teater Purnama, belum lagi ketua kamar. Oh tidak, kapan saya belajar???.

 Sungguh, sempat saya berfikir untuk menyerah. Ya Allah, I am not a superstudent. What should I do? I wanna give up!. Alhamdulillah Allah memberikan saya kekuatan. Saya berfikir ulang “kenapa aku harus menyerah dalam penjara suci yang sangat diridhoi ini? Padahal di tangan saya ada mimpi orang tua, mimpi guru-guru dan mimpi bangsa ini. Harapan mereka ada padaku. Akhirnya ku bulatkan tekad untuk kembali melanjutkan perjuangan. Ini semua demi orang-orang yang menyayangi saya, yang telah berdo’a tiap waktu, dan demi pesantren yang telah memberikan saya beasiswa selama nyantri.

Amanah ini harus saya jaga. Saya harus berjuang, Be a supersantri!. Menjadi santri yang baik untuk Pesantren Al-Yasini, mualimah yang baik untuk anak didik LPQ saya, tutor yang baik untuk member saya, koordinator pendidikan yang baik, organisatoris yang baik, anak yang baik untuk ayah dan umi saya. Kalau bisa saya angkat bicara, saya ini hanya seorang santri kecil, lahir pada tahun 1993 yang sedang tumbuh dalam kedewasaan, bagaimana bisa memimpin sembari belajar?. Sementara saya juga manusia biasa, saya pengantuk berat, saya juga punya rasa lelah, ingin sekali istirahat sejenak. Hanya Allah, umi dan ayah, ustadah dan santri, serta diary kecil tempat saya menuangkan rasa, berbagi cerita, berpuisi atas kehidupan di pesantren. Just think that everything gonna be ok!. Motto “A fruitless life is useless life” seakan menjadi kekuatan dahsyat yang sangat AMPUH memompa semangat saya. Saya yakin terhadap kata bijak yang terlontar dari guru bahasa inggris saya, Mom Ouly, “You Reap what You Sow”.

Di pesantren, saya belajar dimana saja dan kapan saja. Menyelami nilai kehidupan adalah lebih baik daripada hanya sekedar belajar di kelas. Menjelang detik-detik UNAS, saya merasa banyak hal yang belum saya pelajari. Bagaimana tidak, kesibukan berorganisasi dan berkompetisi mengikuti ajang perlombaan di luar pesantren membuat saya kehilangan waktu luanng untuk belajar seperti halnya teman-teman yang lain. Tapi kenapa, sekolah menunjuk saya menjadi bagian dari tim pengajar sebaya untuk persiapan UNAS? Apakah saya bisa?. Sedangkan saat itu, cobaan menimpa fisik saya. Saya sakit mata dan sakit gigi selama 2 bulan. Oh tidak. Ya Allah, Help me!!. Namun, saya menyanggupi, sembari berucap, YES I CAN!! Aku Pasti Bisa!.     

 

Saat Seleksi…

Ridhollah fi ridholwadidain”. Umi, Ayah, pengasuh dan guru-guru adalah orang tua saya.  Bagi saya, menjadi bagian dari peserta yang berhasil lolos seleksi PBSB adalah suatu keberuntungan yang besar. Siapa sangka dengan persiapan yang hanya 30% menjelang tes seleksi PBSB di Kanwil Depag Surabaya (13 Maret 2010), ternyata Allah memberikan nikmat kelulusan pada saya. Seingat saya, tes yang meliputi tes potensi akademik, tes bakat skolastik, tes kepesantrenan dan bahasa inggris ini diselenggarakan pada 2 bulan sebelum UNAS. Saya hanya memperbanyak berdoa dan minta doa restu dari orang-orang sekeliling saya, terlebih para orang tua yang telah saya sebutkan diatas.

 

Scholarship Dreaming comes true..

Pernah suatu hari, ketika ada sosialisasi beasiswa PBSB oleh alumni Al-Yasini yang sudah berhasil mendapatkan beasiswa, saya menggoreskan impian dalam secarik kertas dalam buku diary, yang bertuliskan “Scholarship Dreaming”.  Impian ini diperkuat dengan menanamkan keinginan dalam hati untuk “ imagine that I must be able to become like them”. Tepatnya saat ada pertemuan regional timur PBSB yang diselenggarakan di Pesantren Al-Yasini, saat itu saya jadi sie konsumsi. “sekarang, saya melayani mahasantri PBSB, insyaallah tahun depan saya pasti menjadi bagian dari mereka”. Dan ternyata, sebuah mimpi dalam kertas tak ubahnya menjadi nyata. “My dream comes true”. Hadza min fadli robbi.

Dalam mimpi mendapat beasiswa S1, tak pernah sedikitpun sebelumnya terbesit keinginan untuk kuliah di Jakarta. Kota metropolis yang sarat dengan gedung-gedung menjulang tinggi, dimana kekuatan intelektual benar-benar diperlihatkan, rasa individualitas terkungkung dalam fenomena kebebasan. Lingkungan yang elit namun kompleks dengan permasalahan ekososbudpol yang melingkupinya. Permasalahan paradoks budaya yang berlarut-larut, anak punk ibukota, kawasan kumuh perkotaan, kemacetan dimana-mana dan korupsi beserta biang keladinya.

Rasanya baru semalam sebelum pengumunan PBSB, saya bermimpi membaca pengumuman tentang 6 peserta yang lolos beasiswa PBSB dari Al-Yasini, dan ternyata esok harinya Allah mewujudkannya dalam dunia nyata. “Alhamdulillah, ini akan menjadi kado pertama sweet seventeen saya”. Tahun 2010 adalah tahun gemilang bagi Al-Yasini. Sebanyak 7 orang santri Al-Yasini lolos beasiswa PBSB dari Kementrian Agama RI, ditambah satu orang santri lagi lolos jalur PMDK Kedokteran UI. (Radar Bromo red). Ternyata, bukan hanya itu, Program Bidik Misi dari Kemendikbud RI berhasil menjaring sekitar 37 santri Al-Yasini untuk melanjutkan studi di PTN ternama Indonesia. Pengumuman ini langsung disaksikan oleh seluruh kelas XII SLTA di Al-Yasini (SMA, MA, SMKN) yang sedang mengikuti pengajian rutin khusus kelas 3 SLTA.  Gus Mujib, pengasuh kami yang saat itu memimpin langsung pengajian sentral dengan bangga membacakan pengumuman ini.

Hatiku bergemuruh, entahlah.. mungkin karena ini adalah harapan terbesarku selama studi di Pesantren, sebagai santri yang dulunya setengah hati masuk pesantren. Saya tidak mau menjadi anak yang tak bisa diandalkan orang tua, guru dan pesantren. “Negeri ini menaruh harapan besar padaku. Aku pasti bisa membuat mereka bangga, impian mereka terhadapkulah yang membuatku berjuang keras demi sebuah pintu kesuksesan studi”. Santri tidak boleh kalah dengan siswa SLTA unggulan di luar pesantren. Bagi saya, dimanapun kita belajar, ambillah manfaat dan raihlah prestasi setinggi-tingginya, berkaryalah sekreatif mungkin. Karena disitulah Dia menjatuhkan pilihan terbaik untukmu. You are the winner! Nothing impossible in this world!

Kini, doa semua oranng yang menyayangiku membahana di altar langit, alampun mengamini. Aku tak berani menentang hati yang terus berharap. Air mataku pun tumpah tatkala simpul-simpul kebahagiaan itu tersirat pada mata buya Gus Mujib. Ia berkata “Selamat, 7 orang santri Al-Yasini berhasil lolos PBSB diantaranya, UIN Jakarta, UGM, UIN Suka, IPB, UNAIR dan UPI”. Alhamdulillah, Terima kasih Ya Allah, aku tak bisa menahan lembayu pagi yang penuh haru itu. Ternyata berkah tabarukan pada Gus Mujib yang pada saat itu mengawal mimpiku kuliah di Jakarta benar-benar nyata. Doa orang tua, guru, keluarga dan teman-teman berhasil membelokkan takdirNya untuk kuliah S1 di Jakarta, Jurusan Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Sekedar informasi, PBSB UIN Jakarta hanya dibuka untuk Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan dengan empat jurusan yaitu 1) Kedokteran, 2) Kesehatan Masyarakat, 3) Ilmu Keperawatan, dan 4) Farmasi. Padahal pada saat itu, saya ingin melanjutkan studi di UNAIR jurusan sastra Inggris atau Kedokteran Gigi. Gus Mujib membuatku membelokkan arah ke UIN JAKARTA, dengan alasan beliau yang sangat simple “Sebenarnya nggak harus di Kedokteran Gigi UNAIR, kenapa nggak di UIN Jakarta saja, disitu juga ada Ning Iid, peserta PBSB yang kebetulan keponakan saya, sudahlah kamu di Jakarta saja”.

Wow, Jakarta ? Saat itu, Jakarta terlalu jauh bagi saya. Ayah dan umi juga menginginkan saya kuliah di sekitar Jawa Timur, agar dekat dengan keluarga. Karena pengasuh sudah berkata demikian, maka Ayah tidak bisa berkata apa-apa. Ayah sarankan saya bertemu dengan kepala sekolah, membicarakan tentang bagaimana baiknya. Dan ternyata, Pak Fakih yang saat itu menjadi Kepala Sekolah SMA Al-Yasini juga bersikap sama. Tanpa sepatah katapun, beliau langsung mengganti pilihan Universitas di berkas administrasi saya dengan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya bingung melihat sikap beliau saat itu. “Loh Pak, saya belum mantap dengan pilihan itu, kenapa langsung dicoret pak?”. Sudahlah, kamu di UIN Jakarta saja, restu Gus Mujib insyaallah tidak akan salah, semoga kamu diterima di UIN Syahid Jakarta”. Sentak aku mengamini perkataan Pak Fakih. Memang saat itu, pengasuh dan para kepala sekolah turun langsung dalam mengawal beasiswa PBSB. Sehingga, meskipun kami jauh dari teknologi karena belum ada wifi, kami selalu up to date terhadap beasiswa santri berprestasi ini. Inilah yang spesial di Al-Yasini.

Dan disini saya mendapat hikmah yang sangat besar, bahwa betapa Allah bersama para Ulama’. Ia menunjukkan jalan bagi saya untuk kuliah di Jakarta, mengejar mimpi, meraih prestasi. Demi mereka, saya bulatkan tekad untuk belajar dan berkiprah mewarnai UIN Jakarta, membawa nama baik almamater Pesantren Terpadu Miftahul Ulum Al-Yasini dan kabupaten pasuruan tercinta. Dari kota santri menuju kota metropolitan..

 

Sweet Seventeen gift and my Journey in UIN Syahid Jakarta

Tanggal 6 Juni 2010 menjadi awal saya bertolak ke Jakarta. Mengawali perantauan panjang saya. Saat itu ada program khusus bagi mahasiswa PBSB dan beasiswa Pemprov Sumatra Selatan serta Pemda Muba Sumsel (Matrikulasi di UIN Jakarta saja) yaitu matrikulasi atau preuniversity. Program ini serentak dilaksanakan di 12 PTN yang menjadi sasaran PBSB. Sedih rasanya, ketika meninggalkan teman-teman sebelum sempat ikut wisuda. Matrikulasi diselenggarakan selama 2 bulan sebelum masuk  kuliah. Dan semua mahasantri PBSB wajib mengikutinya, saya harus merelakan kesempatan di wisuda. Padahal, hal itu merupakan kado kedua sweet seventeen saya, sebagai persembahan untuk kedua orang tua. Dan, saya merasa sendiri ketika tidak bisa melaksanakan wisuda bersama teman-teman di Pasuruan. Ayah dan umi yang hadir saat itu mungkin merasakan hal yang sama “rindu akan kebersamaan”. Ternyata, Kado kedua saya dapatkan, Allah memilih saya sebagai Siswa Teladan SMA Al-Yasini. Trophy pengasuh diberikan langsung kepada orang tua saya. Dan, sentak seluruh hadirin terpana, karena Ayah saya berdiri dengan gagahnya di tengah-tengah santri terbaik MA, SMK, SMP, MTs dan lainnya. Salah satu wali murid mengatakan “Loh, kok yang dapat piala sudah bapak-bapak, enak ya nggak usah sekolah langsung dapat piala”. Dan, satu hal yang paling saya sesalkan saat itu adalah, saya tidak dapat mencium kedua kaki orang tua saya. Padahal saat itu, saya sangat ingin berlutut di kedua kakinya saat penghargaan itu diberikan untuk saya. But, never mind . saya sudah sangat bahagia di Jakarta ketika membayangkan Ayah menerima piala itu di depan hadirin yang hadir.

Ketika di Jakarta, saya disambut oleh kakak alumni Al-Yasini yang mendapatkan beasiswa PBSB angkatan pertama (2005), dan secara otomatis saya bergabung dengan keluarga CSS MoRA UIN Jakarta. Kami disambut dengan hangat dalam Ahlan Wa Sahlan pertama CSS UIN Syahid Jakarta. Malam itu, kehangatan atmosfer kekeluargaan membuat saya sedikit melupakan perasaan jauh dari Pasuruan. Saya melihat keberagaman suku mewarnai CSS UIN Jakarta. Sungguh, suatu nikmat yang luar biasa saya dapat berdiri memperkenalkan diri dihadapan santri dari angkatan 2005 sampai angkatan 2010 yang datang dari seluruh provinsi di Indonesia.

AWS berikutnya, kami diajak keliling Monas, Kebun Binatang Ragunan, dan out bond di Puncak Bogor sambil menjalin keakraban sesama anggota CSS MoRA UIN Jakarta. Hal ini sedikit melunakkan ketegangan saya saat di kelas matrikulasi. Memang, mahasantri benar-benar dahsyat, otak mahasiswa-mahasiswa beruntung ini sangat cerdas. Saya sempat minder dihadapan mereka, terutama pada santri lulusan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) yang begitu lihai dalam membedah materi-materi IPA. Namun saya sadar bahwa saya punya mimpi disini. Saya belajar dari mereka, bagaimana menguasai pelajaran IPA dengan lebih baik. Itulah fungsinya matrikulasi, kami diberikan kuliah intensif selama dua bulan untuk menyamakan kemampuan akademis dengan yang lainnya. Kami juga sedikit tahu bagaimana prospek profesi program studi masing-masing. Maba (mahasiswa baru) CSS MoRA cenderung lebih tahu bagaimana atmosfer kampus, karena mereka lebih dulu diperkenalkan bagaimana kondisi kampus. FYI saja, tempat tinggal kami benar-benar full of facility, mungkin terlalu mewah bagi seorang santri. Sekali lagi, Hadza min fadli robbi.

Kalau pingin tahu bagaimana tipsnya mendapat beasiswa, tidak ada yang spesialse[erti resep guru sayaTo make something SPECIAL you just need to believe that It Is SPECIAL”. Setiap kita adalah pemenang, jangan pernah takut kalah, tapi takutlah jika kau tidak pernah mencobanya!. Munculkan singa keberuntungan dalam dirimu dengan memperbanyak belajar dan beramal. Dan yang terpenting beranilah bermimpi, karena suatu saat pasti mimpi itu akan menjadi nyata asalkan bersungguh-sungguh dalam mengejarnya, sesuai dengan janji Allah “Man Jadda Wajada”. Kokohkan niat, terimalah dirimu sendiri, jangan jadi orang lain. Kesempatan tak pernah ada kalau bukan kita yang mengadakan, artinya ambil peluang disekitarmu. Enlarge Your Capacity! Berikan yang terbaik untuk orang-orang sekelilingmu, karena mereka tengah menunggu kesuksesanmu. Jangan pernah lupa, Ridhollah fi Ridho al-walidain.

So, punya cita-cita setinggi langit? Kejar mimpimu! Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini!

 

Pasuruan, 25 Agustus 2012 M

7 Syawal 1433 H

 

  *SMA AL-YASINI, PPTMU Al-Yasini Pasuruan,

Mahasantri Semester V, Spesialisasi Promosi Kesehatan,

Program Studi Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

CSS MoRA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

 

YOUNG, SMILE


Image

Dream, Dream, D…


Dream, Dream, Dream, Feel it, Achieve It

Quote

HIV-AIDS, PRODUK NEGARA GAGAL!


Oleh : SUROTUL ILMIYAH*

 Seperti biasa, menjelang bulan Desember berbagai organisasi kesehatan di seluruh dunia tengah mempersiapkan kegiatan-kegiatan dalam rangka memperingati Hari AIDS Sedunia (HAS). Hari AIDS Sedunia yang jatuh pada tanggal 1 Desember ini digagas pada Pertemuan Menteri Kesehatan Sedunia yang membahas Program-Program untuk Pencegahan AIDS pada tahun 1988. Sejak saat itulah Hari AIDS Sedunia mulai diperingati oleh pihak pemerintah, organisasi internasional dan yayasan amal di seluruh dunia untuk menumbuhkan kesadaran terhadap wabah AIDS di seluruh dunia yang disebabkan oleh penyebaran virus HIV. Berbagai program promosi kesehatan dilakukan, mulai dari kegiatan diskusi, seminar nasional, advokasi, flash mop, pembinaan life skill bagi ODHA, bahkan sampai turun ke jalan dalam rangka gerakan peduli ODHA. Selain itu, banyak para penyelenggara kegiatan yang mendadak “membutuhkan” ODHA sebagai nara sumber kegiatan.

Kegiatan-kegiatan promosi kesehatan semacam ini seharusnya dapat membawa dampak pada pengurangan angka penderita AIDS di Indonesia. Namun sayangnya, realita meningkatnya penderita HIV-AIDS di Indonesia seakan mengindikasikan bahwa lagi-lagi Indonesia masih gagal dalam mewujudkan pemenuhan hak seksual dan akses kesehatan reproduksi bagi seluruh lapisan masyarakat. Kegagalan ini dipertegas oleh Penasihat Khusus dan Utusan Khusus Sekjen PBB untuk HIV/AIDS Wilayah Asia-Pasifik, Nafis Sadik pada seminar “Beyond MDGs: Indonesia’s Role as Middle Income Country on HIV and Sexual and Reproductive Health Rights”. Nafis mengatakan “Banyak janji mengatasi masalah pemenuhan hak seksual dan kesehatan reproduktif yang gagal diwujudkan pemerintah Indonesis dalam kenyataan”. Inilah salah satu alasan mengapa Indonesia menduduki peringkat ke-63 sebagai negara gagal dalam Index Negara Gagal/Failed State Index (FSI) 2012 di Washington DC, Amerika Serikat. Kegagalan tersebut membuat Indonesia semakin sulit meraih target ke-6 MDGs (Millenium Development Goals), yang tertera didalamnya upaya menjadikan infeksi baru HIV menjadi nol, angka kematian AIDS menjadi nol dan menghilangkan diskriminasi pada penderita HIV.

Komisi Penanggulangan AIDS Nasional melaporkan tingkat infeksi HIV meningkat di beberapa propinsi termasuk Bengkulu, Papua, Maluku, Aceh dan Banten. Sedangkan Harian Republika menyebutkan, dari total kasus HIV/AIDS di Indonesia yang dilaporkan pada 1 Januari-30 Juni 2012 tercatat sebanyak 9.883 kasus HIV dan  2.224 kasus AIDS, dimana 45 persen diantaranya diidap oleh pemuda. Secara nasional ahli epidemiologi dalam kajiannya memproyeksikan bila tidak ada peningkatan upaya penanggulangan, maka pada 2015 jumlah kasus AIDS akan menjadi 1.000.000 orang dengan kematian 350.000 orang. Sedangkan penularan dari ibu ke anak akan mencapai 38.500 kasus.

Berdasarkan laporan radio Voice of America (VoA), Indonesia dilaporkan memiliki angka penularan HIV/AIDS tertinggi di Asia. Ironisnya, tingginya angka penularan HIV/AIDS di Indonesia ini tidak disertai dengan tingginya tingkat pemahaman individu terkait dengan sebab penyakit. Hal ini dapat dilihat dari data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia yang menunjukkan bahwa 75 persen warga Indonesia yang berusia antara 15 hingga 49 tahun percaya HIV ditularkan oleh nyamuk. Padahal, HIV-AIDS bukanlah penyakit yang ditularkan melalui serangga, tetapi melalui transmisi sperma secara seksual, transfusi darah, ASI (Air Susu Ibu), Ibu hamil ke janinnya atau melalui penggunaan jarum suntik yang tidak steril dikalangan pengguna narkoba. Berdasarkan jenis transmisi penularan, Kementrian Kesehatan RI tahun 2010 melaporkan terdapat sebanyak 10.722 kasus HIV-AIDS melalui heteroseksual, 718 melalui kasus melalui homobiseksual, 8.786 kasus melalui penasun (pengguna jarum suntik), 20 melalui transmisi darah, 587 kasus melalui perinatal, dan 937 tidak diketahui.

Jika ditilik ke belakang, lebih dari 31 tahun HIV-AIDS mengglobal termasuk 27 tahun di Indonesia. Kasus AIDS pertama kali dilaporkan oleh Centre for Disease Control (CDC) di Amerika serikat pada sekelompok kaum homoseks di California dan New York, tepatnya pada tahun 1981. Di Indonesia, temuan 5 kasus HIV-AIDS muncul pada  2 September 1985 di Bali. Namun, jika tahun lalu HIV-AIDS hanya menjadi bagian kelompok berisiko tinggi, saat ini HIV-AIDS telah hinggap ke komunitas yang tergolong aman, seperti ibu rumah tangga, mahasiswa/pelajar, maupun Balita, dari kota hingga pedesaan. Dengan kata lain, HIV-AIDS bukan lagi masalah Pekerja Seks Komersil (PSK), pengguna jarum suntik (IDU), dan lelaki hidung belang, tapi telah menjadi persoalan semua lapisan masyarakat yang harus secepatnya ditanggulangi terutama oleh para pemimpin yang ada di semua segmen.

MONSTER HIV-AIDS

AIDS ibarat monster yang siap menyerang siapa saja, tidak peduli sekuat apapun orangnya. Namun, kenapa virus HIV menjadi sangat berbahaya dalam tubuh manusia? Apa yang membuat ODHA (Orang dengan HIV-AIDS) menjadi sangat lemah dan mudah terserang penyakit?. Singkatnya, HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, sehingga tubuh manusia menjadi lemah dan tidak dapat melawan penyakit apapun yang menyerangnya. Penjelasannya seperti ini : Tubuh manusia mempunyai sistem kekebalan yang sering kita sebut sebagai sel darah putih. Pada sel darah putih ada dua sel utama yang mempunyai tugas berbeda, yang satu yaitu sel CD4 positif bertugas mengenali dan memberi informasi jika ada benda ataupun sel asing yang masuk ke dalam tubuh, sedangkan yang satu lagi bertugas untuk menyerang dan melumpuhkan sel asing tersebut setelah menerima informasi dari sel CD4 positif. Sedangkan HIV adalah virus yang secara khusus menjadikan sel CD4 positif sebagai target dari serangannya. Maka dengan sangat berkurangnya sel-sel CD4 positif dalam tubuh, tubuh tidak menerima informasi yang cukup untuk dapat membentuk sel-sel penyeran       g yang dibutuhkan. HIV Positif (tanpa gejala) terjadi rata-rata selama 5-10 tahun, saat sistem kekebalan tubuh semakin turun, berbagai jenis penyakit dapat masuk ke tubuh tanpa dapat dikenali dan dilawan, mulailah muncul gejala infeksi oportunistik, misalnya: pembengkakan kelenjar limfa di seluruh tubuh, diare terus menerus, flu. Sehingga akhirnya membawa kematian karena AIDS.

TUNTASKAN HIV-AIDS!

Sejak dicanangkan Gerakan Nasional Penanggulangan HIV/AIDS pada tanggal 23 April 2002, dirasakan sekali kebutuhan yang sangat mendesak tentang informasi terbaru situasi epidemi HIV serta faktor perilaku yang mempengaruhi penyebarannya. Di banyak negara yang dilanda pandemi HIV-AIDS memperlihatkan dampak sosial ekonomi yang memprihatinkan. Kerugian ekonomi timbul akibat beban ekonomi langsung yang harus ditanggung oleh penderita (ODHA), keluarga serta masyarakat (OHIDHA) untuk pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan HIV-AIDS yang sangat mahal. Sedangkan kerugian ekonomi tak langsung timbul akibat menurunnya produktifitas kerja dan meningkatnya angka kematian usia produktif akibat AIDS. Keluarga dan masyarakat miskin menjadi lebih miskin karena penderitann ini. Anak-anak menjadi yatim piatu karena ibu bapaknya yang meninggal terinfeksi HIV-AIDS. Mereka kemudian mengalami penderitaan sosial yang berkepanjangan karena kehilangan dukungan dari keluarga dan masyarakat.

Akibat lain adalah timbulnya stigmatisasi, diskriminasi dan pelanggaran HAM terhadap penderita dan keluarganya yang terkena HIV-AIDS. Diskriminasi masih ditemukan pada tempat-tempat pelayanan kesehatan, sekolah-sekolah, tempat kerja dan bahkan pada kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Semuanya ini didahului oleh kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan, dekadensi moral remaja, dan rendahnya komitmen para pemimpin yang terlelap dengan tampuk kekuasaan, sehingga lalai dalam melakukan kontrol terhadap generasi muda.

Keberadaan ODHA yang kian meningkat kiranya menjadi pengalaman empirik bagi para pemimpin khususnya dan masyarakat umumnya untuk dapat merespons epidemi ini. Prevalensi tersebut akan terus merangkak naik dan tak dapat dihentikan hanya dengan memperagakan sikap prihatin. Tetapi dibutuhkan kepedulian yang terapresiasi lewat tindakan untuk memerangi virus yang telah merenggut jutaan nyawa manusia ini. Pemimpin harus menjadi penggerak Gerakan Nasional Tuntaskan HIV-AIDS, terutama dengan memberikan perhatian khusus pada generasi muda yang menjadi masa depan bangsa.

Kaum muda Indonesia kini tengah berada dalam posisi kritis, tidak memiliki benteng yang kokoh dari berbagai masalah seksual dan kesehatan reproduksi seperti, infeksi penyakit seksual, kekerasan, kehamilan tidak diinginkan, aborsi tidak aman yang menyebabkan kematian dan lain-lain. Sosialisasi layanan reproduksi dan alat kontrasepsi pada kaum remaja sangat rendah sekali di banding negara lain. Ditambahkan, penyebaran kasus HIV terus terjadi akibat negara gagal memberikan edukasi yang baik tentang HIV-AIDS.

Diperlukan adanya komitmen para pemimpin dalam penyediaan layanan pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi sejak dini di Indonesia. Karena bagaimanapun, layanan kesehatan reproduksi adalah bagian dari hak asasi bagi setiap warga negara. Seks education adalah life skill untuk bertahan hidup. Jadi, jangan tunggu sampai daerah ini menjadi seperti negara-negara di sub sahara Afrika yang dikepung HIV-AIDS pada setiap sudut kota, mulai dari Balita sampai lansia, mulai dari pengemis sampai pejabat terkapar karena infeksi virus mematikan ini. Saatnya para pemimpin di semua aras dasar bergerak menanggulangi HIV-AIDS sebagai bagian dari menciptakan masyarakat sehat dan sejahtera. Jangan pernah  mengabaikan HIV-AIDS, jika tidak ingin negeri ini semakin dikenal sebagai negara GAGAL!

*Penulis adalah Mahasiswa Semester V Peminatan Promosi Kesehatan, Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, CSS MoRA UIN Jakarta.

 

Remaja, Seks dan Pendidikan Karakter Plus


Oleh : SUROTUL ILMIYAH

Masa remaja seringkali dianggap sebagai masa kritis seseorang, di mana terjadi transisi siklus dari masa kanak-kanak menuju dewasa yang diiringi dengan adanya perubahan-perubahan dramatis meliputi berbagai dimensi baik kognitif, fisik, psikologis, moral dan sosial. Sayangnya, banyak remaja yang belum dipersiapkan untuk menghadapi masa kritis ini, sehingga seringkali remaja mengalami problematika serius seputar seks berisiko sebagai akibat dari ketidakseimbangan antara kondisi kematangan fisik dengan kematangan kognitif, psikologis, moral maupun sosial. Hal inilah yang akhirnya menurunkan nilai prestise remaja.

            Konvergensi media, krisis sosial budaya dan kegagalan proses pendidikan menjadi faktor determinan perilaku seks beresiko remaja. Globalisasi merupakan pintu gerbang konvergensi media yang semakin memperparah peningkatan tajam perilaku seks beresiko pada remaja. Indonesia sedang terkena imbas utama racun westoksinasi Barat yang disemprotkan secara membabi buta melalui media seperti internet, TV, Radio, koran dan majalah. Kita perlu mewaspadainya alih-alih peradaban asing yang telah meracuni bangsa ini, seperti yang telah digariskan Ibnu Khaldun, “Bila peradaban pemenang akan menghegemoni peradaban pecundang”.

            Menurut data hasil survei KPAI (Komisi Perlindungan anak Indonesia), sebanyak 32% remaja usia 14-18 tahun di Indonesia pernah berhubungan seks. Dari hasil survei ini diketahui bahwa salah satu pemicu utama dari perilaku remaja tersebut adalah muatan pornografi yang diakses via internet. Sebagaimana diketahui, ada sekitar empat juta (4.000.000) situs porno yang bebas dikonsumsi di Indonesia.

Selain itu, Made Putri Ayu Rasmini (2008) menggambarkan pula dari hasil penelitian tentang perilaku seks remaja sekolah di Denpasar berikut ini. Dari responden yang jumlahnya 766, terdapat 526 remaja yang menyatakan telah berperilaku seks seperti berpelukan, 458 responden sudah berciuman bibir, 202 responden sudah pernah mencium leher (necking), disusul 138 responden sudah menggesek-gesekkan alat kelamin tanpa berhubungan seks (petting), 103 responden sudah pernah hubungan seksual, dan 159 menyatakan aktivitas seksual lain selain yang disebutkan tadi. Aktivitas seksual tersebut bisa dilakukan bersama teman, pacar, seseorang atau beberapa orang tanpa status yang jelas, bahkan dengan pekerja seks komersil (PSK).

Fenomena di atas merupakan refleksi dari lemahnya pendidikan karakter dalam remaja. Kondisi ini menjadi motivasi pokok urgensi implementasi pendidikan karakter remaja di era globalisasi. Jika kita menilik secara historis, dapat dilihat bahwa sejak Proklamasi Kemerdekaan RI 1945, para pendiri bangsa telah menjadikan pendidikan karakter sebagai agenda prioritas bangsa yakni dalam agenda ketiga, “pendidikan karakter”. Bung Karno, presiden pertama Republik Indonesia bahkan menegaskan bahwa “Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pendidikan karakter”. Karena character building inilah yang membuat bangsa ini menjadi bangsa yang besar, jaya, maju serta bermartabat (Mukhlas Samani: 2011: 2).

            Urgensi pendidikan karakter dalam mereduksi perilaku seks beresiko pada remaja didasarkan pada tiga pertimbangan. Pertama, remaja yang berperilaku seks beresiko, rentan gagal dalam pendidikan sekolah. Kedua, rentan mendapatkan sorotan tajam, cemoohan, bahkan sanksi lebih keras dari masyarakat. Ketiga, resiko kehamilan tinggi. Keempat, remaja yang memiliki perilaku seks yang tidak sehat beresiko tinggi terinfeksi penyakit menular seksual seperti HIV/AIDS, gonore, dan lainnya.

            Secara historis pendidikan karakter yang meliputi aspek pengetahuan, perasaan, dan tindakan (Thomas Lickona) merupakan misi utama pengutusan Rasulullah saw. di muka bumi yaitu menyempurnakan karakter (akhlak). Hal ini mengindikasikan bahwa pembentukan karakter merupakan kebutuhan utama bagi tumbuhnya generasi bangsa yang beradab.

            Secara sosio-psikologis, Agus Prasetyo dalam artikelnya yang berjudul Konsep, Urgensi Dan Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah mengemukakan bahwa terdapat acuan konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan social diantaranya 1). Spiritual and emotional development 2). intellectual development 3). Affective and Creativity development. Remaja sebagai generasi penerus bangsa memiliki andil besar dalam menciptakan inovasi perubahan sosial. Remaja membutuhkan peran secara struktural dalam masyarakat. Hal ini penting mengingat pemberian tanggung jawab dalam peran dapat dijadikan sebagai injeksi pendidikan karakter remaja. Karena, pada hakikatnya, Pendidikan karakter merupakan pendidikan berbasis komunitas. Hal ini tercermin dalam salah satu dinamika dasar pendidikan karakter adalah membiasakan generasi muda mengadakan refleksi atas pengalaman hidup sebagai bekal dalam menghadapi polemik dalam masyarakat. Bekal moral kepemimpinan, kepedulian, toleransi, kemandirian, tanggung jawab, diplomatis, kreatifitas, antusias, percaya diri dan kerja keras merupakan pilar yang harus ditanamkan dalam pendidikan karakter remaja. Dengan demikian, diharapkan dapat meminimalisir perilaku seks beresiko yang dapat mempengaruhi perkembangan mental remaja.

Sedangkan dalam tinjauan antropologis, Indonesia memiliki kiblat kebudayaan simbolik yang timbul sebagai hasil dari perkembangan maknawiah bangsa Indonesia. Kemajemukan budaya terangkum jelas dalam monumen Bhineka Tunggal Ika dan terukir dalam pribadi pancasila. Doktrin pancasila harus tertanam kuat dalam setiap pribadi remaja. Hal ini sebagai upaya memperbaiki perkembangan moral remaja.

Langkah dan upaya penyembuhan dari penyimpangan perilaku seks beresiko ini kita mulai dengan pendidikan karakter plus pendekatan pendidikan kesehatan remaja. Pendekatan pendidikan kesehatan remaja dapat diwujudkan dengan pemberian pendidikan seks sejak dini. Berdasarkan pendapat para ahli seperti Singgih D. Gunarso, Sarwono, dan Forest, serta hasil penelitian, pendidikan seks merupakan pilihan yang tepat untuk mencegah fenomena perilaku seks beresiko. Sebagai upaya pencegahan, pendidikan seks harus sudah diberikan kepada individu sebelum menginjak remaja.

            Untuk mencapai tujuan pendidikan seks secara benar, beberapa aspek tentang pendidikan seks harus dipertimbangkan secara matang. Pertama, apakah pendidikan seks itu. Kedua, apakah tujuan dari pendidikan seks. Ketiga, mulai kapan sebaiknya pendidikan seks diberikan. Keempat, bagaimana sebaiknya pendidikan seks diberikan. Kelima, materi apa saja yang sebaiknya atau seharusnya diberikan dalam pendidikan seks. Keenam, siapa yang seharusnya memberikan pendidikan seks. (Kuntjojo:2008)

Secara teologis, pendidikan karakter plus diharapkan mampu menjadikan setiap remaja sebagai individu yang mampu menjadi uswatun hasanah (teladan yang baik) bagi dirinya dan lingkungan sosial budayanya. Dengan demikian, pemahaman agama haruslah menjadi muatan utama dalam interaksi edukatif antara keluarga, sekolah dan masyarakat agar terbina proses pembinaan mental komprehensif bagi remaja. Sehingga kesan nilai edukatif pada jiwa dan intelek remaja menjadi kebutuhan dalam menata cita-cita kehidupan yang bermanfaat lahir batin, karena mereka memiliki kesan nilai dan moral kehidupan yang disebut “The Golden Rules” (Lawrence Kohlberg, 1976).

            Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa paradigma pendidikan karakter plus bagi remaja yang sangat kita butuhkan adalah menciptakan keseimbangan antara pembinaan intelek, emosi, nasionalis dan spiritual plus pendekatan pendidikan kesehatan remaja.  Pendidikan karakter plus dipandang sebagai upaya preventif komprehensif dalam mereduksi perilaku seks beresiko remaja indonesia. Untuk implementasi pendidikan karakter plus, diperlukan kerjasama lintas sektoral antara pemeritah sebagai lembaga pendidikan dan kesehatan serta keluarga dan masyarakat luas.

*penulis adalah mahasiswa Kesehatan masyarakat

FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

                                   

           

 

 

SENI PERTUNJUKAN WAYANG


Image

 

Surotul Ilmiyah

SENI PERTUNJUKAN WAYANG

(MENGENAL SEJARAH, TOKOH DAN UNSUR PERTUNJUKAN WAYANG)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SENI PERTUNJUKAN WAYANG

(MENGENAL SEJARAH, TOKOH DAN UNSUR PERTUNJUKAN WAYANG)

 

SUROTUL ILMIYAH

EDITOR        : ARI HARDIANTO

TATA SAMPUL      : ADE ARIF HIDAYAT

CETAKAN PERTAMA, OKTOBER 2012

PENERBIT

MEDIA SANTRI PUBLISHING

Jl. Limun No. 14 Pisangan,

Ciputat, Tangerang Selatan

Telp. 085780334188

Email. santri_media@yahoo.co.id

Website: www.mediasatripublishing.webs.com

KATA PENGANTAR

Tontonan yang Menjadi Tuntunan

             

              Seni pertunjukan wayang, memang memiliki sejuta makna di dalamnya. Makna bagi para pencetusnya, makna bagi para dalangnya, makna bagi penontonnya, bahkan terkandung juga makna sebuah sejarah penyebaran agama Islam di Indonesia. Sedangkan bagi bangsa ini sendiri, seni pertunjukan wayang menjadi salah satu ciri khas kebudayaan yang memiliki nilai-nilai seni sangat tinggi.

              Pada zaman dahulu, kesenian wayang memang memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat Indonesia. Lebih-lebih untuk wayang orang dan wayang kulit. Di mana kala itu memang hiburan masyarakat masih sangat terbatas. Tapi seiring dengan waktu, di kala perkembangan teknologi semakin pesat, dan muncullah bioskop-bioskop, dan juga TV, seiring dengan itu pertunjukan wayang semakin terkikis ruangnya mewarnai kancah hiburan masyarakat. Terlebih di era modern seperti sekarang ini, yang sudah merambah ke era internetisasi.

              Bisa dikatakan pertunjukan wayang hampir tidak memiliki ruang lagi di masyarakat. Pada umumnya anak-anak generasi saat ini, mengenal wayang hanya dari mata pelajaran seni dan budaya di sekolah saja. Akan tetapi, tidak benar-benar mengenalnya secara baik karena tidak menontonnya secara langsung. Bahkan terkadang mereka sudah sinis dan malas untuk menontonnya, karena anggapan terhadap pertunjukan wayang sebagai tontonan yang tidak modern dan gaul.

              Di sisi lain, padahal pertunjukan wayang di luar negeri sana banyak sekali yang mengapreasinya. Bahkan banyak sekali negara-negara yang takjub dengan seni pertunjukan tersebut. Tapi di negeri sendiri, sudah tidak memiliki ruang di hati lagi. Miris memang, terlebih jika seni bernilai tinggi ini sampai diklaim juga sebagai budaya negara lain.

              Saya pribadi salut dengan upaya penulisan buku ini yang dilakukan oleh Surotul Ilmiyah. Setidaknya, dengan adanya buku ini, maka ada dokumentasi yang bisa diabadikan dari pertunjukan wayang yang bisa dibaca oleh kalangan generasi penerus. Karena tampaknya saat ini buku tentang wayang pun sudah mulai jarang beredar di toko-toko buku. Bahkan di perpustakaan pun, hanya perpustakaan tertentu saja yang masih ada koleksi buku tentang perwayangan.

              Memang, buku ini belum bisa menjadi acuan utama untuk mengenal dunia seni pertunjukan wayang secara detail dan mendalam. Akan tetapi, bisa mewakili step awal untuk para pembaca mengenal dunia perwayangan. Jika awal mula wayang diciptakan sebagai tontonan untuk tuntunan. Barangkali buku ini juga bisa dijadikan sebagai bacaan untuk tuntunan mengenal dunia seni pertunjukan perwayangan.

 

Semoga bermanfaat!

 

Jakarta, 27 Juni 2012.

 

R.W. Dodo

(Direktur Writer University)

 

 

 

 

Prakata Penulis

              Ketika ditanya, kenapa saya mau menulis tentang wayang? Padahal, saya seorang sarjana kesehatan masyarakat? Sederhana saja, rasa cinta saya sebagai bangsa Indonesia membuat saya tertantang ingin memberikan sesuatu untuk Indonesia, terutama di bidang seni. Bagi saya, kesenian wayang adalah jiwa Indonesia, tak ada alasan bagi bangsa lain untuk mengklaim kesenian adiluhung Indonesia. Betapa ironisnya ketika bangsa ini tidak lagi menghargai salah satu hasil budaya bangsanya sendiri.

              Sudah 19 tahun saya dibesarkan di bumi pertiwi. Dan, sejauh ini saya merasa betapa Indonesia memberikan tempat terindah untuk belajar dan berkarya tanpa batasnya. Inilah yang membuat penulis bangga menjadi bagian dari Indonesia. Sehingga penulis berani mengabadikan kesenian asli Indonesia ini melalui sebuah buku yang berjudul Seni Pertunjukan Wayang.

              Wayang sebagai artefak budaya Indonesia yang terwujud dalam kesenian merupakan warisan terbaik para pendahulu bangsa ini. Sebagai generasi yang beradab dan menghargai budaya, sangatlah tidak pantas jika kita pasif tanpa usaha untuk memberikan kontribusi demi kelestarian kesenian yang sudah diakui dunia sebagai  Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity ini. Sungguh ironis jika pada akhirnya wayang tak lagi disentuh oleh pemuda terbaiknya. Padahal, negeri ini sempat berada dalam masa kejayaannya melalui kesenian wayang yang telah dirintis dan diperjuangkan dengan kontinu oleh nenek moyang terbaik kita.

              Wayang adalah bagian dari sejarah yang terus berkembang sampai sekarang. Mengenai sejarah, kita perlu meneladani semangat perjuangan yang ditularkan Ir. Soekarno, salah seorang bapak Proklamator yang sekaligus menjadi Presiden pertama Indonesia. Ia mengatakan bahwa “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah”. Sangatlah tidak pantas jika kita melangkah kedepan, namun meninggalkan kesenian tradisional dengan alasan, kita hidup di era modern. Terutama bagi para pemuda, kita adalah bagian dari bangsa yang besar. Oleh karena itu, tidaklah bijak jika kita lari meninggalkan seni tradisi.

              Sebagai bagian dari tanggung jawab pewaris bangsa Indonesia, tentunya kita tidak ingin jika pada akhirnya kesenian kita diambil alih oleh bangsa lain. Hanya karena ketidakpedulian kita terhadap kesenian tradisional adiluhung wayang. Dalam buku ini, penulis mencoba mengangkat kesenian wayang Indonesia. Kita akan banyak membahas seluk beluk wayang mulai dari sejarah, peran wayang bagi bangsa Indonesia, macam-macam versi wayang, tokoh-tokoh pewayangan dan unsur pertunjukan wayang. 

              Penulis berharap buku ini dapat bermanfaat sebagai pemupuk sense of belonging pemuda bangsa ini dan juga bagi penulis sendiri tentunya. Sehingga wayang bukan hanya milik para ahli yang concern dibidang wayang, tetapi menjadi milik bangsa Indonesia. Akan tetapi bukan berarti buku ini sudah sempurna. Justru sebaliknya, buku ini masih sangat memerlukan konstruktif dari pembaca yang budiman untuk menjadi lebih baik.

Jakarta, 25 Oktober 2012

Penulis

 

Contents

KATA PENGANTAR (RW.DODO) iii

PRAKATA PENULIS. v

CONTENTS. vii

SELAYANG PANDANG WAYANG. 1

BAB IPERIODISASI WAYANG. 5

A.       WAYANG ZAMAN PRASEJARAH. 6

B.       ZAMAN KEDATANGAN HINDU. 10

C.       WAYANG ZAMAN KEDATANGAN ISLAM.. 18

D.       WAYANG ZAMAN PENJAJAHAN. 21

E.       WAYANG ZAMAN MERDEKA. 27

BAB II FUNGSI WAYANG. 33

BAB III JENIS-JENIS WAYANG. 37

A.       Wayang Kulit 37

1.       Wayang Purwa. 39

2.       Wayang Madya (±1850) 41

3.       Wayang Gedog (±1563) 42

4.       Wayang Kulit Dupara(±1830) 44

5.       Wayang Kulit Wahyu(±1963) 45

6.       Wayang Kulit Suluh (±1947) 46

7.       Wayang Kulit Kancil (±1925) 46

8.       Wayang Kulit Calonarang 47

9.       Wayang Kulit Krucil (1584) 54

10.          Wayang Ajen (1998) 54

11.          Wayang Sasak (±1996) 55

12.          Wayang Sadat (1970) 56

13.          Wayang Parwa. 57

B. Wayang Orang (Wayang Wong) 59

1.       Wayang Gung (Kalimantan Selatan) 60

C.       Wayang Suket dan Wayang Boneka. 61

1.       Wayang timplong 62

2.       Wayang Potehi 62

3.       Wayang Gambuh. 65

4.       Wayang Cupak. 67

D.       Wayang Kayu. 68

1.       Wayang Golek. 68

2.       Wayang Papak / Wayang Cepak. 69

3.       Wayang Klithik. 70

4.       Wayang Beber 70

BAB IV. 73

TOKOH-TOKOH PEWAYANGAN. 73

A.       TOKOH PEWAYANGAN MAHABHARATA I 73

1.       ABIMANYU. 73

2.       DEWI AMBA. 75

3.       DEWI ANGGRINI 76

4.       ANTABOGA. 76

5.       ANATAREJA. 80

6.       ANTASENA. 81

7.       ARIMBI 81

8.       ARJUNA. 82

9.       ARYA PRABU RUKMA. 84

10.          ASWATAMA. 84

11.          BAGASPATI 85

12.          BAGONG. 85

13.          BALADEWA. 86

14.          BANOWATI 87

15.          BASUDEWA. 87

16.          BASURATA. 88

17.          BASUKESTI 88

18.          BASUKISWARA. 89

19.          BASUKUNTI 89

20.          BASUPATI 90

21.          YUDHISTIRA. 91

22.          BIMA. 92

23.          NAKULA. 93

24.          SADEWA. 94

25.          BOGADATTA. 94

26.          BOMANTARA. 95

27.          BRAJADENTA. 96

28.          BRAJALAMATAN. 96

29.          BRAJAMUSTI 97

30.          BRAJAWIKALPA. 97

31.          ARYA BURISRAWA. 97

32.          CAKIL 98

33.          DADUNGAWUK. 98

34.          ARYA DANANJAYA. 99

35.          ARYA DANDUNWACANA. 99

36.          DANURWENDA. 100

37.          PRABU DARMAHAMBARA. 101

38.          DEWI DEWAYANI 101

39.          ARYA DRESTADYUMNA. 102

40.          RESI DRONA. 103

41.          DRUPADA. 103

42.          DEWI DRUPADI 104

43.          DURSALA. 105

44.          DURSASANA. 105

45.          DURSILAWATI 106

B.       TOKOH PEWAYANGAN (MAHABHARATA II) 107

1.       PRABU GANDABAYU. 107

2.       GANDAMANA. 107

3.       DEWI GANDARI 108

4.       GANDAWATI 108

5.       PRABU GARBANATA. 109

6.       GARDAPATI 110

7.       GARDAPURA. 110

8.       GARENG. 111

9.       GATOTKACA. 112

10.          DEWI HANGYANAWATI 115

11.          BAMBANG IRAWAN. 115

12.          JAHNAWI 116

13.          JARAMEYA dan JURANGMEYA. 116

14.          PRABU JARASANDA. 116

15.          PRABU JATAGEMPOL 117

16.          ARYA JAYADRATA. 117

17.          PRABU JAYAMURCITA. 118

18.          JAYASUPENA. 118

19.          JEMBAWATI 119

20.          PRABU JUNGKUNGMADEYA. 120

21.          ARYA KALABENDANA. 120

22.          KALAKATUNG. 121

23.          KALARUCI 121

24.          KALASASRADEWA. 122

25.          PRABU KALAYAKSA. 122

26.          KANGSA. 123

C.       TOKOH PEWAYANGAN (RAMAYANA) 124

1.       ANOMAN. 124

2.       DASAMUKA. 125

3.       DITYA JAMBUMANGLI 126

4.       KUMBAKARNA. 127

5.       LEKSMANA. 128

6.       LEMBUSURA. 128

7.       PRABU MAESASURA. 129

8.       PRABU DANARAJA. 130

9.       PRAHASTA. 130

10.          SARPAKENAKA. 131

11.          SINTA. 132

12.          SUKESI 133

13.          SUMALI 133

14.          WISWARA. 134

BAB V. 136

UNSUR PERTUNJUKAN WAYANG. 136

DALANG. 137

CERITA. 140

BONEKA WAYANG. 141

IRINGAN AUDIO VISUAL 142

GERAK WAYANG. 142

PANGGUNG. 142

TATA LAMPU. 143

TIM PRODUKSI 143

PENDUKUNG PENTAS. 143

PENYELENGGARA. 144

PENONTON. 144

DAFTAR PUSTAKA. vii

TENTANG PENULIS. ix

 

 


 


SELAYANG PANDANG WAYANG

 

Indonesia sebagai centre of cultural country menjadi sasaran utama kunjungan pariwisata. Keanekaragaman budaya yang menjadi ikon pariwisata merupakan hal terpenting dari bangsa Indonesia. Sehingga, Negara padat penduduk, Indonesia ini menjadi salah satu magnet yang menarik bangsa di dunia untuk berkunjung. Tak terkecuali bangsa-bangsa Eropa yang semula pernah menjajah Indonesia. Keanekaragaman suku bangsa dengan ide dan gagasan yang berbeda melahirkan produk-produk kebudayaan yang khas. Salah satunya adalah produk kesenian daerah yang sudah diakui dunia Internasional, yaitu wayang  nusantara.

Wayang sebagai artefak kesenian  yang sudah dikenal sejak tahun 1500 M. Tepatnya jauh sebelum Indonesia merdeka. Dan sampai sekarang, keberadaan wayang masih tetap bertahan di era persaingan terbuka. Dunia sandiwara yang penuh dengan simbolis melahirkan peran kreatif dan dinamis dalam mencimtakan peran simbolis kehidupan

Perkembangan wayang abad silam tak lepas dari kendali para kreator bangsa ini. Siapakah mereka dan dariman ide perwayangan ini muncul. Kita tentunya perlu mengetahui cikal-bakal adanya artefak kebudayaaan wayang ini. Mereka mampu merubah bumi menjadi indah berkarakter ketika bumi benar-benar kering oleh sentuhan kreatifitas-kreatifitas. Ya, merekalah orang-orang kreatif yang membuat Indonesia memiliki warna dengan karya-karya yang kontinu.

Sekarang pertanyaannya siapakah yang menjadi pewaris mereka, yang menekuni dunia perwayangan dengan segenap jiwa dan raga. Sedangkan realitas menunjukkan hanya segelintir orang yang sadar terhadap kebudayaan Indonesia. Terutama di kalangan remaja, minat yang kurang sering menjadi momok bagi perkembangan kesenian wayang itu sendiri. Betapa tidak, sekarang sederhananya kita analogikan dengan sebutir biji emas di pekarangan yang tertanam dengan sendirinya. Tak seorangpun yang mengetahuinya, walaupun bagaimana indahnya biji tersebut setelah proses perkembangannya menjadi buah emas. Sama saja, emas tak mendapat dukungan  sedikitpun dari lingkungan disekitarnya. Tanpa mereka, perkembangan pohon akan terhambat. Bahkan ada kemungkinan pohon tersebut tidak akan tumbuh menjadi emas lagi.

Remaja merupakan tonggak masa depan bangsa ini. Jika kita ingin kokoh di masa depan, maka berkacalah pada para remaja. Saya rasa tidak pantas jika remaja tak lagi biasa dengan kebudayaan-kebudayaan masyarakatnya yang mungkin disana masih terkesan tradisionil. Sehingga, minat remaja mulai pudar, bahkan tak lagi ada. Mereka lebih berfokus pada kebudayaan asing kebarat-baratan yang secara tidak langsung meracuni mind set yang sejak awal dibentuk dalam suatu komunitas.

Wayang adalah  salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Wayang terpilih menjadi prioritas karya besar budaya negeri. Keterpaduan budaya wayang yang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang seakan menjadi ikon tersendiri yang membuat wayang tetap bertahan sampai kini.

Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, tidak terkecuali wayang mula mengembangkan sayap dalam menyusun lingkup bahasannya. Wayang lebih condong sebagai media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.Bukan halangan bagi seorang dalang untuk melakukan pendekatan pengenalan wayang dengan menjadikannya sebagai media yang cukup tepat  untuk berdakwah. Selain itu, wayang menjadi sarana yang cukup efektif untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan bernuansa hiburan. Sehingga informasi yang direncanakan bisa dengan mudah sampai kepada para pendengar tanpa suatu penghalang apapun.

Wayang bukanlah sesuatu yang baru lagi di dunia seni. Pengakuan global terhadap kesenian wayang sebagai seni pertunjukan khas Indonesia yang sudah sangat populer baik itu di dalam atau luar pulau Jawa menjadi faktor pendorong perkembangan kesenian wayang. Karya seni ini sudah dikenal masyarakat nusantara sejak zaman prasejarah. Kemudian pada saat masuknya pengaruh Hindu Budha, cerita dalam wayang mulai mengadopsi kitab Mahabarata dari India. Lalu pada masa pengaruh Islam, wayang oleh para wali digunakan sebagai media dakwah yang tentunya dengan menyisipkan nilai-nilai Islam.

 Dalam tulisan ini, akan dipaparkan sekilas tentang dunia wayang Indonesia. Penjabaran khusus meliputi pengertian wayang, sejarahnya, jenis-jenisnya, fungsi wayang, dan aspek-aspek lain yang terkandung dalam wayang. Selanjutnya kita akan dapat mengetahui apakah wayang itu masih relevan dalam masa modern ini. Masihkah wayang dibutuhkan baik dalam sarana informatif dan hiburan.

Untuk mempelajari dunia perwayangan, kita para pemuda dilatih untuk menunjukkan sense of belonging terhadap kebudayaan Indonesia. Sebelum kebudayaan yang sangat urgen ini direbut oleh negara lain yang sama sekali tidak mempunyai hak untuk merebutnya. Saatnya pemuda bangkit dari kebodohan budaya, yang sering menganggap remeh kebudayaan sendiri.

Rasa cinta tanah air perlu dikembangkan dengan cara melihat apa yang kita punya sebagai suatu anugerah terindah yang tak ternilai, harga diri suatu bangsa yang bermartabat. Untuk itu, kita sebagai pemuda harus menjadi pilar perkembangan kebudayaan baik internal maupun eksternal. Seperti halnya perjuangan ikhlas para pejuang tempo dulu, yang membangun dengan ketulusan dan semangat luar  biasa. Kalau mereka bisa  melakukannya, kenapa kita sebagai generasi muda tak mampu untuk melakukannya.

            Mari kita membuka cakrawala sejenak, untuk membaca selayang pandang sejarah kesenian wayang Indonesia. Sebagai tanda cinta yang tak lapuk oleh pena agung sejarawan dan budayawan.

Para peneliti dan ahli sejarah budaya Indonesia berpendapat secara tertulis bahwa, budaya wayang merupakan budaya asli bangsa Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Kesenian wayang telah ada berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Meskipun dari beberapa media modern lebih condong mempopulerkan wayang di masyarakat masa kini dengan proses pengadaptasian ulang dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu banyak mengalami pengubahan dan penambahan karakter perwayangan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli bangsa Indonesia.

Kepandaian dalam penyesuaian konsep filsafat tak lepas dari pandangan-pandangan abstrak masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dan pewayangan. Dewa dalam pewayangan dianggap sama halnya dengan makhluk Tuhan yang lainnya. Mereka mempunyai insting untuk berbuat suatu kesalahan juga, artinya mereka tidak murni bebas dari salah, melainkan suatu saat kesalahan dan kekeliruan bisa saja dilakukan ketika mereka dalam kondisi khilaf.

Tokoh punakawan dalam pewayangan sengaja diciptakan para budayawan Indonesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk mendukungkonsep filsafat bahwa setiap makhluk di dunia ini selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan. Artinya,  di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, ataupun yang benar-benar jahat, semua memiliki sifat-sifat yang saling bertolak belakang.

Pewayangan sangat menarik untuk diteliti, para budayawan asing menganggap hal ini sebagai suatu fenomena sejarah budaya yang unik dan fungsional. Bukan tidak mungkin, pengklaiman menjadi hal yang membudaya di era globalisasi yang semakin surut sekat benang batasnya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk lebih mengenal kebudayaan wayang bangsa ini supaya tak serta merta para penjajah menginjak harga diri bangsa ini dengan penghinaan yang besar baik secara terang-terangan maupun secara halus dalam proses pengaktualisasian pewayangan di kancah kebudayaan global.  Mari mengenal lebih dalam bagaimana dunia pewayangan. Karena kita sangat berharga untuk meningkatkan potensi kebudayaan Indonesia.

 

BAB I

PERIODISASI WAYANG

 

Seperti pepatah mangatakan, tak kenal maka ta’aruf, begitu juga dengan kita teman. Sebagai sesama generasi muda, kita perlu tahu bagaimana asal mula sebuah pertunjukan wayang, dan bagaimana pembagian zaman pewayangan, hingga wayang dikenal sebagai salah satu ikon Indonesia di mata Internasional.

            Beberapa penulis mengklasifikasikan sejarah pewayangan berdasarkan sejarah kebudayaan manusia dalam dua periodisasi zaman, yaitu zaman prasejarah dan zaman sejarah.

  1. Zaman prasejarah: Dari namanya saja, kita sudah bisa menebaknya. zaman prasejarah terjadi sebelum adanya sejarah bangsa Indonesia, karena semua penghuninya masih tergolong sangat primitif. Tepatnya, sejak permulaan adanya manusia dan adanya kebudayaan sampai sekitar abad V Masehi. Dan dalam zaman prasejarah inilah mulai muncul pertunjukan wayang atau bayang-bayang.
  2. Zaman sejarah: pada zaman ini, bangsa kita sudah mulai berkembang. Tepatnya sejak abad V Masehi sampai dengan masa kini. Dalam buku ini, khusus untuk ilmu pewayangan, zaman sejarah dibagi menjadi empat zaman. Yaitu:

1)      Zaman Hindu: mulai kedatangan orang Hindu dari tahun 400 Masehi sampai dengan lenyapnya kerajaan Majapahit (± tahun 1478).

2)      Zaman Islam: mulai dari kedatangan agama Islam dari tahun 1478 sampai dengan lenyapnya (suramnya) kerajaan mataram II atau kedatangan bangsa Belanda ± tahun 1596.

3)      Zaman Penjajahan: yaitu dimulai dengan datangnya bangsa Belanda (tahun 1596) sampai dengan perginya penjajah (tahun 1945)

4)      Zaman merdeka: yaitu sejak dari tanggal 17 Agustus 1945 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesi sampai sekarang.

Para sarjana yang ahli dalam dunia pewanyangan telah banyak mengupas tentang bagaiman seluk-beluk dan asal mula wayang. Tentang hal ini, kita perlu mengucapkan terima kasih kepada almarhum Ir. Sri Mulyono yang telah menyajikannya dengan sangat lengkap dalam salah satu bukunya yang berjudul Wayang-Asal Usul, Filsafat & Masa Depannya(1975:6-44) dengan ulasannya tentang berbagai pendapat dari para pakar pewayangan, antara lain Dr. G.A.J Hazeu, Dr. W.H.Rassers, Dr. Branders, Dr.cohen Stuart, Prof. Kerns, Drs. Soeroto, KGA Kusumodilogo, dan tentu saja pendapat Sri Mulyono sendiri. Kesimpulan dari berbagai pendapat-pendapat tersebut secara garis besarnya terbagi dua:

  1. Pertunjukan wayang adalah ciptaan asli orang Jawa.
  2. Pertunjukan wayang dipengaruhi oleh  pertunjukan tonil India Purba yang disebut sebagai chayanataka (seperti pertunjukan bayang-bayang)

Berdasarkan hal tersebut, tampak jelas bahwa pertunjukan wayang adalah kebudayaan asli Indonesia dan erat hubungannya dengan pemujaan “hyang”, kemudian lakon-lakon wayangnya diambil dari cerita-cerita yang asalnya dari India.

Selanjutnya, dalam tulisan ini penulis membagi zaman pewayangan kedalam lima zaman untuk memudahkan pengertian dan menyimpulkan alur berdasarkan sumber-sumber tradisionil dengan fakta-fakta yang dapat dipaka sebagai pengantar mempelajari dunia pewayangan. Kelima zaman itu diantaranya:

  1. Zaman Prasejarah
  2. Zaman kedatangan Hindu
  3. Zaman Kedatangan Islam
  4. Zaman penjajahan
  5. Zaman indonesia merdeka.

Dengan cara periodisasi inilah, kita mencoba menyelami dan menerima seni pertunjukan wayang sebagai bentuk kesenian klasik tradisionil yang tenyata sudah berumur ±3.495 tahun.

  1. A.    Wayang Zaman Prasejarah            

Dalam berbagai sumber banyak disebutkan bahwa wayang dikenal sejak zaman pra-sejarah atau sekitar 1500 tahun sebelum Masehi, tepatnya pada zaman neolithikum. Menurut Prof. Dr. Mr. T.S.G. Mulia dan Prof. Dr. K.A.H. Hidding  dalam Ensiklopedia Indonesia jilid III pada halaman 987 menjelasan bahwa:

“Zaman Neolithikum adalah masa terakhir sebelum zaman perunggu. Alat-alat batu pada zaman itu diasah nenek moyang bangsa Indonesia yang datang dari Asia Tenggara kira-kira tahun 1500 sebelum Masehi, mempunyai kebudayaan Neolithikum dengan beliung-beliung dan pacul-pacul batu yang diasah indah. Mereka telah pandai menanam padidi sawah, beternak, membuat tembikar, bertenun dan juga telah mengenal megalith-megalith serta organisasi desa.”

Mengenai saat kelahiran pertunjukan wayang Ir. Sri Mulyono dalam bukunya yang berjudul Wayang: Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya mengatakan demikian “Dunia pewayangan masa kini tak terlepas dari sejarah kebudayaan Indonesiapada zaman Neolithikum tersebutyang masih sangatlah sederhana. Alam pikiran nenek moyang kita masih sangat primitif. Keprimitifan inilah yang membuat mereka menganut kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang. Merekapun menganut kepercayaan animisme yang beranggapan bahwa semua yang bendadisekelilingnya bernyawa, semua yang bergerak dianggap hidup, dan mempunyai kekuatan gaib atau roh yang berwatak baik ataupun jahat.”

            Pengetahuan yang kurang sempurna membuat nenek moyang kita bebas untuk menggambarkan fantasi mereka terhadap alam. Misalnya saja, roh jahat yang mereka sebut Hyang digambarkan sebagai orang hitam berwarna jelek, dengan rambut terurai. Roh ini dianggap tidak terlihat dan lebih mempunyai kekuasaan dibanding manusi pada saat itu. Oleh sebab itu segala bentuk pemujaan dilakukan, hanya agar tidak diganggu olehnya. Sehingga padasaat itu muncullah orang-orang yang dianggap sakti yang menjadi jembatan antara dunia manusia dengan dunia roh. Hanya mereka yang dapat melihat roh-roh tersebut.

Untuk mengadakan hubungan gaib ini, mereka melakukan upacara sakral dengan jembatan orang sakti tadi. Yang dilakukan antara lain di saat-saat panenan atau taneman dalam bentuk upacara ruwatan, tingkeban, ataupun ‘merti desa agar panen berhasil atau pun agar desa terhindar dari segala mala petaka. Pertunjukan bayangan merupakan salah satu bagian dari pemujaan nenek  moyang, maka sang dalang adalah pendeta pada upacara pemujaan itu, yang menyampaikan petuah-petuah dari nenek moyang.Banyak peninggalan-peninggalan budaya nenek moyang bangsa Indonesia yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar. Salah satunya berkembang menjadi kesenian wayang.

            Pada umumnya, semua orang menganggap pertunjukan bayang-bayang atau wayang  bukanlah semata-mata sebagai sesuatu yang dangkal ataupun kesenangan belaka, melainkan mempunyai nilai keagamaan atau kepercayaan. Beberapa referensi menyebutkan bahwa pada pertunjukan wayang, nenek moyang kita melakukan pembakaran kemenyan sebelumnya. Pertunjukan ini dilakukan pada malam hari karena malam diyakini sebagai saat dimana para roh berkeliaran.

Selain itu menurut adat lama, pada setiap peristiwa, pertunjukan wayang merupakan pembawa pengaruh besar dalam kehidupan. Misalnya, pertunjukan diadakan ketika nenek moyang kita ingin mencegah kejadian buruk yang sudah diramalkan. Kadang, hal ini dilakukan sebagai bentuk syukur atas terwujudnya suatu janji semacam sembuh dari sakit, berhasil dari usahanya, dan sebagainya.

Menurut kepercayaan mereka, pada waktu itu orang mati dianggap sebagi roh pelindung yang kuat, yang dapat memeberrikan perlindungan  dan pertolongan dalam setiap kehidupan dan usaha anak-anaknya. Oleh karen itu, roh-roh tersebut dapat dibangunkan dengan syair-syair yang mereka anggap sebagai suatu bentuk pujian bagi roh tersebut.

 Selain itu, sejumlah sajian turut mereka persiapkan untuk menunjukkan kesungguhan mereka dalam meminta pertolongan.  Kehadiran roh orang yang sudah mati tersebut sangat diharapkan mereka, karena mereka yakin bahwa kedatangannya dapat memberikan berkah kepada yang masih hidup. Masyarakat primitif meyakini bahwa orang yang sudah mati memiliki kekuatan dahsyat melebihi kekuatannya selama masih hidup. Dan mereka percaya bahwa roh-roh orang yang sudah meninggal itu masih berada disekeliling mereka. Tidak jauh dari pandangan kasat mata.

 Kekuatan alam dalam ciptaan Tuhan yang lain seperti pohon-pohon, gunung-gunung memberikan tempat bagi roh-roh tersebut untuk tinggal. Dari pandangan ini, mereka masyarakat primitif berusaha mendatangkan roh yang kuat itu sampai dengan pekarangan rumahnya.  Pujian dan sesajian tak pernah lepas dari rangkaian acara upacara sakral. Mereka melakukannya tanpa berfikir jauh, untuk apa hal ini dilakukan. Pemikiran sederhana pula yang membuat mereka memilki keyakinan bahwa kebahagiaan dan kemakmurannya akan terjamin di kemudian hari.

Pikiran dan anggapan inilah yang membuat para nenek moyang berinisiatif untuk membuat bayang-bayang roh, sehingga orang dapat membayangkan roh orang yang sudah meninggal. Orang akan menggambarkan roh dalam bentuk bayang-bayang semacam itu. Mungkin awalnya, kepercayaan ini terjadi secara  kebetulan, kemudian mereka sengaja memasang tabir sebagai bayang-bayang. Sehingga hal ini menjadi semacam kesepakatan bahwa setiap bayang-bayang yang dibuat harus tidak serupa dengan manusia, karena ia hanyalah sebuah bayangan dari roh. Misalnya seperti raksasa. Oleh karena itu, wayang-wayang yang kita lihat sekarang sangatlah unik, dan aneh. Tidak menyamai manusia sesungguhnya. Kadang-kadang tangannya panjang, kakinya panjang dan sebagainya.

Upacara seperti inibiasanya dilakukan di rumahnya sendiri pada malam hari, saat bayang-bayang berkeliaran. Besar harapan mereka agar dapat merasakan berkah kedatangan roh untuk pertama kali. Singkatnya, upacara dan pertunjukan wayang ini lahir dari kebudayaanyang diyakini bersama oleh nenek moyang, sehingga hal ini bukan hanya dinikmati oleh lingkup kecil yaitu keluarga, melainkan diperluas kedalam suatu komunitas masyarakat. Demikianlah akhirnya pertunjukan wayang ini sampai ditangan orang yang kita sebut sebagai dalang, dengan atribut lengkap berupa cerita, suluk dan sinden. Inilah yang dipahami oleh masyarakat. Mereka menganggap pesan-pesan wayang sebagai petuah dari nenek moyang. 

Demikianlah awal mula adanya pertunjukan wayang yang kemudian semakin berkembang melewati proses yang panjang. Sekarang dapat dilihat bahwa wayang:

  1. Yang semula berupa bayang-bayang, gambar atau wujud roh kemudian berubah menjadi wayang kulit purwa
  2. Layar menjadi kelir
  3. Medium atau shaman atau pendeta menjadi dalang
  4. Sajian menjadi sajen
  5. Nyanyian menjadi seni suara (sinden)
  6. Bunyi-bunyian menjadi gamelan
  7. Tempat pemujaan menjadi panggung
  8. Ditambah dengan lampu penerang.

 Jadi intinya, pada zaman prasejarah tepatnya zaman Neolithikumwayang atau pertunjukan bayangan merupakan bagian dari kegiatan religi animisme yaitu upacara untuk penyembahan ‘hyang’ terhadap roh yang sudah meninggal. Yang dilakukan antara lain di saat-saat panenan atau taneman dalam bentuk upacara ruwatan, tingkeban, ataupun ‘merti desa agar panen berhasil atau pun agar desa terhindar dari segala mala petaka.. Terjadinya pada ± tahun 1500 sebelum Masehi, atau setidak-tidaknya pasti terjadi antara tahun 2000 sebelum Masehi dan 500 sebelum Masehi.

 

  1. B.       Zaman Kedatangan Hindu
    1. 1.      Kerajaan-Kerajaan Sebelum Mataram (Prasasti dan Bahasa)

Sejarah Indonesia dimulai sejak datangnya pengaruh Kerajaan Hindu. Karena pengaruh itu, maka berakhirlah zaman prasejarah Indonesia. Pada zaman ini, kebudayaan Indonesia mulai mengalami kemajuan. Hal ini ditandai dengan adanya artefak-artefak budaya sebagai perekam sejarah Indonesia pada periode kedatangan Hindu. Pada zaman ini mulai ada keterangan-keterangan tertulis yang berupa prasasti yaitu batu bersurat atau bertulisan yang berisai tentang adanya upacara-upacara berkorban. Tulisan yang digunakan dalam prasasti biasanya berhuruf Pallawa yang berasal dari India Selatan, dan bahasa Sanskerta bahasa resmi India serta dalam bentuk syair. Pada tahun (898 – 910) M, lakon wayang sudah menjadi wayang purwa. Namun tetap masih ditujukan untuk menyembah para sanghyang seperti yang tertulis dalam prasasti Balitung:

 “Sigaligi mawayang buat hyang, macarita bhima ya kumara”

“Menggelar wayang untuk para hyang. Menceritakan tentang bima sang kumara”

Penduduk pribumi mengalami sedikit perubahan setelah kedatangan mereka. Pengaruh Hindu begitu kuat pada zaman ini. Kitab Mahabarata dan kitab Ramayana mulai dikenl dan meluas di Indonesia. Sehingga membawa pengaruh langsung terhadap perkembangan pertunjukan bayangan kaum pribumi. Pengaruh Hindu menguasai pertunjukan bayang-bayang atau wayang khas Indonesia dengan cepat. Terutama pada agama dan bahasa.

  1. 2.      Kerajaan Mataram Ke-1 (Ramayana dan Relief Prambanan)

Hasil karya yang sangat erat kaitannya dengan pertunjukan wayang adalah :

  1. Candi Prambanan

Candi ini merupakan candi pertama yang memuat cerita wayang Ramayana, yaitu pada tahun ± (782-872).

  1. Candi Lara Jonggrang dengan relief cerita Ramayana yang ditulis dengan lengkap dan indah.
  2. Kitab Ramayana dalam bahasa Jawa Kuna

Kitab Ramayana ini ditulis pada tahun ± 903, waktu Raja Dyah Balitung (898-910) bertahta di Mataram. Pengarang Kitab Ramayana Jawa Kuna berbentuk tembang ini ternyata juga memahami bahasa Sanskerta.

  1. Prasasti yang menyebut “mawayang buat Hyang”.

Pada zaman ini, pertunjukan wayang atau pemujaan Hyang terus berlangsung sampai penduduk asli memahami bahasa sanskerta dan kitab Mahabarata dan Ramayana yang disusun kembali dalam bahasa Jawa kuna pada tahun 903, bahasa ini digunakan dalam pemerintahan Raja Dyah Balitung (892-910). Tahun ±856 mulai dipahatkan dalam dinding-dinding candi Lara Jonggrang di Prambanan. Pada saat inilah sebagian pertunjukan bayangan (wayang kulit)  memakai cerita Ramayana dan Mahabarata. 

            Pertunjukan wayang pada zaman ini banyak memakai sumber Mahabarata dan Ramayana. Karena pada waktu itu para ahli agama Hindu menempuh kebijaksanaan dengan jalan memasukkan cerita Mahabarata dan Ramayana yang memiliki esensi latar belakan agama Hindu kedalam suatu pertunjukan yang mempunyai peran penting dalam pandangan hidup penduduk asli atau pribumi yaitu pertunjukan wayang. Latar belakang kepercayaan dalam pertunjukan wayang yang langsung mempengaruhi pandangan penduduk asli inilah yang menyebabkan adanya penerimaan penduduk asli dalam bentuk seni drama atau pertunjukan Ramayana dan Mahabarata.

Pada waktu itu,berkembangpula agama lain seperti agama Buddha Mahayana dan agama ciwa. Namun, ketiganya hidup berdampingan atau koeksistensi secara damaiatau goodwill dan toleransi. Hal ini diperkirakan terjadi pada masa pemerintahan Rakai Pikatan (782-856). Lama kelamaan fungsi pertunjukan sebagai upacara agama menjadi bertambah luas, menjadi alat indoktrinasi, alat pendidikan dan media massa. Pimpinan pertunjukan wayang pada saat itu dinamakan syaman atau dalang. Sedangkan fungsi dalang benar-benar sebagai guru sejati, seorang pemimpin dan ahli agama yang cukup disegani dan berwibawa. 

Ir. Sri Mulyono dalam bukunya “wayang, asal usul, filsafat & masa depannya” mengatakan bahwa sisa-sisa fungsi dalang masih terlihat pada masa kini. Seperti pada pertunjukan wayang Murwakala dan pertunjukan-pertunjukan yang diselenggarakan di desa-desa saat kegiatan “bersih desa”. Waktu itu, ada seorang ibu yang melahirak seorang bayi, kemudian bayi tersebut diserahkan kepada dalang untuk mendapat restu dan diberi nama.

Para ahli agama hindu menanamkan falsafah dalam koeksitensi damai atau goodwill dan toleransi sehingga nenek moyang dengan mudah memberikan respon penerimaan terhadap Ramayana. Diantaranya: momot, momong, memengkat, nglurung tanpa wadya, menang tanpa ngasorake (suguh tanpa banda, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake, Guru muride pribadi, murid gurune pribadi, pamulange sangsarane sesami, ganjarane ayu lan arume sesami).Trimah mawi pasrah, suwung pamrih tebih ajrih, langgeng tan ana susah tan ana bungah, anteng-manteng-sugeng jeneng) mulai diterapkan di indonesia.

  1. Momot menghayati watak samudra yaitu berwatak luas, rata dan tak sanggup menampung segala sesuatu yang masuk kedalamnya dengan tidak menimbulkan bekas.
  2. Momong memangkat: saling mengisi, menghargai, menghormati dan menjunjung tinggi. Sehingga muncullah suatu semboyan: “berbeda-beda tetapi sesungguhnya satu dan memang tak ada (kebenaran yang mutlak) Tuhan yang mendua”. Falsafah inilah yang aakn dinyatakan secara tertulis oleh Mpu Tantular alam Kitab Sutasoma dikala Prabu Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada dalam kejayaannya. Zaman ini oleh Prof. Mohammad yamin pada halaman 445 disebut zaman Kencana Indonesia dengan Saloka Tantular “Bhineka Tunggal Ika Tan hana Dharama Mangrwa” yang dalam bahasa latinnya “ex pluribus unun”.

Jelas bahwa waktu itu wayang purwa masih dipentaskan sebagai alat kegiatan kepercayaan dan drama klasik tradisionil. Penulisan buku Ramayana dan Mahabarata pada tahun 903 ini dipakai sebagai tanda bahwa cerita wayang sudah berubah dari mitos kuna tradisionil menjadi Mahabarata dan Ramayana, dan ternyata perubahan ini memerlukan proses yang cukup lama, kurang lebih 500 tahun (dihitung dari kedatangan orang hindu di Jawa Tengah kurang lebih tahun 400 Masehi), untuk melanjutkan penulisan kitab, maka diperlukan pujangga besar. Sedangkan bahasa yang dipergunakan sebagai sarana pengantar bahasa jawa kuna. Yang disana sini sudah bercampur dengan bahasa Sansekerta yang dalam ilmu pengetahuan lebih sering disebut bahasa kawi. Namun agaknya pengaruh Hindu inipun hanya mengenai lapis luarnya saja, tidak merubah inti, hal-hal pokok dan latar belakang wayang.

  1. 3.      Kerajaan Kediri

Kepustakaan wayang purwa kulit. Pada tahun 928 Kerajaan Mataram-Kuna tak terdengar lagi dan pindah ke Kediri Jawa Timur. raja Kediri yang banyak memperhatikan persoalan wayang adalah raja Empu Sendok (929-947), Dharmawangsa Teguh (991-1016), raja Airlangga (1019-1042), Kameswara (1115-1130), dan Jayabaya(1135-1157).

            Perkembangan dunia pewayangan pada masa ini menitikberatkan pada pembukuan kisah pewayangan. Seorang pujangga bernama Empu Kanwa menulis Kitab Kakawin Arjuna Wiwaha. Cerita Arjuna Wiwaha ini petikan dari Kitab Mahabarata bagian III yang bernama Wanaparwa. Adapun buku-buku atau Kitab wayang (lainnya)yang ditulis dalam masa Kerajaan Kediri adalah sebagai berikut:

  1. Agastyaparwa: kisah Sang Dredasyu dan ayahnya Begawan Agastya tentang surga dan neraka (pemerintahan Empu Sendok)
  2. Uttarakanda: kisah Dewi Shinta (pemerintahan Dharmawangsa Teguh)
  3. Adiparwa: kisah wayang muda seperti Dewi Lara Amis, Burung Dewata, Matinya Arimba (pemerintahan Dharmawangsa Teguh).
  4. Sabhaparwa: kisah Pandawa Dadu (pemerintahan Dharmawangsa Teguh).
  5. Wirataparwa: kisah Pandawa (Yudistira, Werkudara, Arjuna, Nangkula, Sadewa, dan Drupadi) yang mengabdi kepada raja Wirata dengan penyamaran selama 12 tahun sebagi orang buangan (pemerintahan Dharmawangsa Teguh).
  6. Udyogaparwa: kisah Krisna Gugah (pemerintahan Dharmawangsa Teguh).
  7. Bismaparwa: kisah Bhagawadgita (pemerintahan Dharmawangsa Teguh).
  8. Asramawasanaparwa: kisah pasca perang Bharatayudha (pemerintahan Dharmawangsa Teguh).
  9. Mosalaparwa: kisah musnahnya para wresni dan Jadu dari negara Mandura dan Dwarawati ampai dengan wafatnya Prabu Baladewa dan Prabu Kresna (pemerintahan Dharmawangsa Teguh).
  10. Prasthanikaparwa: kisah penobatan Prabu Parikesit dan kemudian para Pandawa meninggalkan negara Ngastina sampai dengan meninggalnya para Pandawa di Gunung Himalaya (pemerintahan Dharmawangsa Teguh)
  11. Swargarohanparwa: kisah penderitaan dan siksaan yang dialami Pandawa di neraka , karen ingkar terhadap gurunya Dorna (pemerintahan Dharmawangsa Teguh).
  12. Kunjarakarna: kissahhh raksas Kunjarakarna yang ingin meruat manjadi manusia (pemerintahan Dharmawangsa Teguh).
  13. Arjuna wiwaha kakawin: kisah perkawinan Arjuna dengan Dewi Supraha setelah Arjuna berhasil lulus dar godaan dialam pertapaan di Gunung Indrakila (pemerintahan Prabu Airlangga).
  14. Kresnaya: mirip dengan cerita Kresna Kembang (pemerintahan Prabu Warsajaya)
  15. Sumanasantaka: lahirnya Prabu Dasarata di Ngayodya  (pemerintahan Prabu Warsajaya)
  16. Smaradahana: kisah Barata Kamajaya terbakar (pemerintahn Prabu Kameswara)
  17. Bhomakawya: mirip Samba Ngengleng.
  18. Bharatayudha: kisah perang besar antara Pandawa bersaudara dan Korawa bersaudara dengan kemenangan di pihak Pandawa. Oleh Empu Panuluh, pada masa pemerintahan Prabu jayabaya.
  19. Hariwangsa: mirip cerita Kresna Kembang
  20. Gatotkacasraya: mirip Abimanyu kawin denag Siti Sundari
  21. Candi Jago: makam raja Wisnuwardhana yang meninggal dalam tahun 1268 di Mandaragiri.

 

  1. 4.      Kerajaan Majapahit

Pada tahun 1294 Kerajaan Kediri dan Singasari sudah tidak terdengar lagi, kemudian lahir negar terbesar kedua di Indonesia yaitu negara Majapahit (1294-1478). Pewayangan pada masa ini tinggal mengalami masa penyempurnaan. Misalnya diberi warna, digambar alam kain (diciptakan wayang beber purwa dengan gamelan slendro dan wayang (daun) rontal).

Bukan hanya itu, pada masa ini kisah-kisah wayang ditulis kembali. Diantara kitab-kitabnya adalah Arjunawijaya, Parthayadnya, Tantu Pagelaran, Korawacrama, Dewaruci, dan Sudamala. Selain itu terdapat juga peninggalan berupa candi, seperti Candi Panataran, Surawana dan Candi Tegawangi. Maka, wayang lahir di Jawa Tengah, dibesarkan di jawa Timur dan dimatangkan di jawa Tengah lagi.

 

 

 

KESIMPULAN

Pertunjukan wayang pada masa ini adalah untuk penyembahan “Hyang” atau upacara agama. Sehingga, walaupun lakon wayang berubah dari mitos Jawa Kuna ke epos Mahabarata, tetapi inti pokok dari pertunjukan wayang tetap tidak berubah yaitu untuk kegiatan rituil. Bahasa yang dipakai mengalami banyak perubahan dari bahas Jawa Kuna kemudian bercampur dengan bahasa Sanskerta.

Pada abad ke-XI wayang tampak jelas menjadi drama tradisi yang adiluhung, syair mengesankan dan mampu menggetarkan kalbu, sehingga para penonton dan penggemar ikut terharu karenanya. Seperti syair berikut ini:

“Gunung-gunung pada saat itu memuat kesan, seolah-olah pohon-pohoon menjadi tokoh wayang. Sedang kabut yang jernih dan halus menjadi kelirnya, bambu-bambu berlobang yang ditiiuup angin seakan-akan merupakan tudung yang menggerisik halus (hamung kadya tudung munya angrangin).

Burung-burung ketur (pikau) yang bersiul (terdengar) laksana bunyi saron, berselang-seling secara harmonis dengan kumandang yang halus dari rusa, suara merak yang birahi membentuk nyanyian madraka.

Ini  menandakan begitu tingginya mutu seni pada masa ini. Perlengkapan wayangpun begitu lengkap. Misalnya, jumlah wayang yang sudah cukup banyak, hal ini dapat diketahui dari kalimat syair Wrtta Sancaya saloka 93 yang menyebutkan tokoh-tokoh wayang. Juga disebut kelir, tudung, saron, tembang gede/suluk/madraka, sinden, kemanak dan lain sebagainya. Cerita dan dramanya sudah berkali-kali dipertunjukkan secara teratur dan tertib.

Disamping hal tersebut diatas, ada suatu hal yang sangat menonjol yaitu ditulisnya kitab Tantu Panggelaran, Gatutkacasraya, korawacrama, dewa ruci dan sudamala. Lima kitab tersebut benar-benar suatu pemunculan atau penampilan kembali nama-nama yang hampir 500 tahun terdesak dan terpendam oleh kepercayaan Hindu dan Brahma yaitu nama-nama: Sang Hyang Taya (Suwung), Sang Hyang Tunggal (Esa), Sang Hyang wisesa(kuasa), Sang Hyang Asih Prana (Pemberi Hidup), dan Dah Hyah Semar, (Asmara Santa) dan Dewa Ruci. Hal ini dinilai sama dengan Tuhan bagi bangsa-bangsa di Nusantara.yang sekaligus sebagai bukti bahwa pengaruh kebudayaan Hindu pada wayang hanyalah berjalan kurang lebih 500 tahun atau hanya merupakan lapis kulit luar belaka.

Kemudian seorang dalang adalah orang-orang yang sangat dihormati, disegani, dijunjung tinggi, dan dipatuhi, seolah-olah ia sebagai seorang pendeta besar dan tokoh agama (kesimpulan dari kitab Tantu Panggelaran)

Dari berita sastramiruda dapat diketahui bahwasanya pada zaman Kediri sudah ada wayang beber purwa, wayang (daun) rontal dan cerita-cerita panji. Maka oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa wayang lahir di Jawa Tengah kemudian dibesarkan dan dibina di Jawa Timur, dan akhirnya didewasakan atau dimatangkan di Jawa Tengah lagi.

RUNTUHNYA MAJAPAHIT

Kedatangan Cina (bala tentara Khu Bilai Khan) pada abad ke VI dan XIII yaitu pada waktu kerajaan Kediri akan runtuh dan pindah ke Majapahit membawa perubahan besar dalam kebudayaan, terutama dalam bidang filsafat dan wawasan hidup. Disamping itu, pada abad ke XIV-XV datanglah orang-orang yang beragama Islam dari Gujarat ke Jawa terutama di Jawa Timur.

Kerutuhan kerajaan Majapahit bukan semata-mata karena berperang dengan para bupati yang telah memeeluk agama Islam, tetapi juga karena perpecahan dari para kerabat-kerabat istana Majapahit sendiri, sehingga apat dikatakan, bahwa kerajaan Majapahit runtuh karena serbuan tentara Demak dan juga disebabkan karena faktor intern istana. Runtuhnya majapahit mengakibatkan semua peralatan kerajaan diboyong ke Demak, termasuk wayang.

Sehingga, dengan peristiwa ini dapat diketahui dengan mudah bahwa wayang di Jawa Tengah berbeda dengan relief candi di Jawa Timur, sedangkan wayang di Bali sampai sekarang masih mirip dengan relief yang terdapat di candi Jawa Timur. hal ini menunjukkan bahwa wayang telah berkali-kali mengalami perubahan baik bentuk maupun pakelirannya, ini karena perubahan sosio religius.

Hal ini karena para wali atau pemuka-pemuka ingin meninggalkan kesan dan merupakan (pengkeramatan) candi sebagai tempat ibadah maka, oleh karena itu kemudian timbul lakon “Membangun Candi Sapta Arga”. Kita akan mengetahuia bahwa setiap lakon wayang Pandawa akan membangun candi, Pandawa tenttu mengalami kesusahan dan kehilangan pusaka Jamus Kalimasada.

 

Sumber: Ir. Sri Mulyono dalam bukunya

 “Wayang, asal usul, Filsafat dan Masa Depannya”

 

Wayang batu relief Ramayana pada candi Panataran ±1268 M. Reliefnya merupakan pahatan mendatar, mirip dengan Anoman (Ramayana) wayang kulit purwa Bali tetapi berbeda dengan Anoman wayang Jawa Tengah. (Sumber: Ir. Sri Mulyono wayang asal usul, filsafat & masa depannya hal.83)

 

Sumber: Ir. Sri Mulyono dalam bukunya

 “Wayang, asal usul, Filsafat dan Masa Depannya”

 

Anoman (wayang Jawa Tengah) sebagai tokoh Air Intelegence pada zamannya.(Sumber: Ir. Sri Mulyono wayang asal usul, filsafat & masa depannya hal.83)

 

  1. C.      WAYANG ZAMAN KEDATANGAN ISLAM
    1. 1.      Kerajaan Demak (Wayang semalam suntuk)

Pada tahun 1478 Majapahit jatuh ditandai dengan banyaknya bupati Majapahit yang memeluk agam Islam an memisahkan diri dari majapahit menjadi negara-negara pesisir.

Kerajaan Demak dibawah pemerintahan Raden Patah, putra Kertabumi atau Brawijaya V dari Majapahit. Semua peralatan upacara dipindahkan ke Demak etelah kerajaan Majapahit runtuh. Raden Patah (1478-1520), Pangeran Sebrang Lor (1520-1521) dan para Wali (Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunaan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati) di Pulau Jawa memiliki kecintaan yang tinggi terhadap kesenian daerah, sehingga mereka menyempurnakan bentuk wayang, wujud, cara pertunjukan dan alat perlengkapan atau sarana pertunjukan dan alat perlengkapan atau sarana pertunjukan wayang kulit purwa yang berasal dari majapahit, sehingga tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran agama Islam, antara lain:

  1. Pemipihan wayang menjadi dua dimensional dan digambar miring sehingga tidak menyerupai relief candi (Jawa Timur), pada tahun 1518-1521.
  2. Pembuatan wayang dari kulit kerbau yang ditatah halus.
  3. Pemberian warna dasar dan bubuk tulang berwarna putih sedang gambar pakaian diberi warna hitam.
  4. Gambar muka wayang dibuat miring dengan tangan masih menjadi satu dengan badan untuk menancapkan pada kayu yang diberi lubang khusus untuk itu.
  5. Gambar dan bentuk wayang masih meniru wayang beber Majapahit. Namun, gambar-gambar tersebut dipisah satu persatu untuk dapat ditaruh pada kanan-kiri dalang.
  6. Penyempurnaan bentuk dan penambahan jumlah wayang pada tahun 1521. Sehingga dapat digunakan untuk memainkan peran Ramayana maupun Mahabarata selama semalam suntuk. Penambahan jumlah wayang tersebut antara lain:
  • Wayang ricikan. Untuk melengkapi wayang yang masih ada, misalnya kera, perampok, gunungan, binatang-binatang
  • Peralatan pewayangan. Penambahan gamelan slendro untuk pementasan semalam suntuk, pembuatan peralatan kelir dari kain, kotak untuk menancapkan wayang, diagnti dengan debog atau batang pisang, sedangkan untuk penerangan dibuat blencong yang baik, wayang disimpling pada kanan-kiri dalang. Pengaturan sulukan-sulukan dan patetan dengan baik.
  1. Sekaten. Ialah seperangkat gamelan laras pelog yang dibuat oleh Sultan Demak, Raden Patah. Biasanya pada hari-hari tertentu gamelan tersebut diletakkan dan dibunyikan di halaman Masjid Demak.
  2. 2.      Kerajaan Pajang
    1. a.      Wayang kidang kencanan

Tampuk pemerintahan di Demak dipegang oleh Radden Trenggana kira-kira tahun 1521-1546. Namun pada masa ini, tidak banyak perbaikan yang dilakukan terhadap wayang. Peliau hanya melakukan penyempurnaan pada pemberian warna pakaian wayang dengan “prada”.

Tahun 1546 Raden Trenggana gugur, Demak kacau, pecah belah dan terjadi perang saudara.kemudian Jaka Tingkir menjadi Adipati di Pajang, dan memindahkan kesultanan di Demak ke Pajang. Jaka Tingkir mengangkat dirinya sebagai sultan Pajang (1556-1586). Kemudian bersama para ahli kesenian membuat wayang yang lebih kecil daprpada wayang umum. Setelah selesai satu kotak disebut “Wayang Kidang Kencanan”.

  1. b.      Wayang Gedog

1)      Sunan giri membuat wayang Gedog dengan cerita panji dan dilengkapi dengan gamelan pelog (1563).

2)      Sunan Bonang menciptakan wayang beber untuk cerita-cerita panji dan diberi nama wayang beber gedog dengan dilengkapi gamelan pelog (1564).

  1. c.       Wayang Krucil atau wayang golek Purwa.

Kemajuan wayang pada masa Sultan Pajang diantaranya:

1)      Penyempurnaan pakaian wayang. Misalnya Raja memakai tropong atau makuta. Sedangkan satria memakai gelung atau ngore, kain dodot dan memakai celana.

2)      Sejata misalnya gada, bindi, alugara dan sebagainya.

3)      Pertujukan wayang di siang hari. Sunan Kudus membuat wayang purwa dari kayu pipih, seperti wayang kulit, hany tangan dari bahan kulit. Pertunjukan ini dilakukan pada siang hari (1584). Pertunjukan ini tidak memakai kelir, hanya gawang saja. Kemudian diberi nama wayang krucil atau wayang golek purwa.

  1. 3.      Kerajaan Mataram II

Usai terjadinya peperangan antara Sultan Pajang dengan Adipat Sutajaya Mataram pada tahun 1582-1596 dengan kemenangan atas Mataram, Adipati Mataram mengangkut semua upacara Kerajaan Pajang ke Kerajaan Mataram. Kemudian pada tahun 1586-1601 muncullah sunan Mataram yaitu Sutawijaya yang bernama Panembahan. Sunan Mataram tidak menciptakan wayang-wayang baru, hanya saja melakukan penambahan terhadap wayang antara lain:

  1. Wayang gedog ditambah dengan senjata keris
  2. Adanya binatang-binatang hutan
  3. Penyempurnaan tatanana wayang. Rambut wayang tatah gempuran.

Kemudian pada tahun 1601-1613, masa pemerintahan beralih ketangan Mas Jolang atau lebih dikenal dengan nama Pangeran Seda Krapyak. Beliau banyak menciptakan wayang-wayang baru, diantaranya:

  1. Pembuatan wayang-wayang dagelan
  2. Pembuatan wayang baru dengan babon wayang Kidang Kencanan
  3. Pembuatan wayang Arjuna yang disebut wanda jimat
  4. Pembuatan senjata-senjata antara lain: panah, keris, dan lainnya
  5. Wayang kulit purwa dipergunakan sebagai Murwakala

Pangeran Seda Krapyak digantikan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) yang ahli di bidang filsafat dan kesenian.

  1. Penyempurnaan bentuk wayang. Yaitu dengan membedakan wanda dan mata wayang. Misalnya, ada mata liyepan, mata kedondongan dan sebagainya. Karya filsafatnya yang sangat terkenal adalah sastragending.
  2. Pembuatan Arjuna Wanda Mangu. Yang disebut Kyahi Mangu.
  3. Pembuatan wayang Buta Rambutgeni dan buta-buta prapatan lainnya dengan diberi sengkalan “Jalu Buta Tinata ing Ratu”

Pada tahun 1645-1677 tampuk kekuasaan dipegang oleh Amangkurat I (Tegal Arum). Kemudian beliau melakukan beberapa hal , sebagai berikut:

  1. Pembuatan wayang satu kotak dengan arjuna wanda kanyut yang disebut Kyahi Kanyut
  2. Peresmian Kyahi Anjang Mass sebagai satu-satunya dalang “pangruwat”, serta mengangkat Kyahi Anjang Mas menjadi pimpinan dan sesepuh dalang
  3. Pembuatan wayang Klitik
  4. Pembaharuan wayang gedog dengan kronogorm Batari Durga
  5. D.                WAYANG ZAMAN PENJAJAHAN
    1. 1.      Kerajaan Kartasura

Kesenian wayang merupakan salah satu perwujudan kebudayaan. Keberadaannya selalu dipertahankan sebagai cari khas yang bertumpuk dari masa ke masa. Dinamika masyarakat yang selalu memberikan pengaruh tersendiri tak menjdai alasan bagi kesenian wayang untuk hilang dari kebudayaan bangsa Indonesia. Termasuk sejak kedatangan bangsa Belanda yang hadir sebagai sosok penjajah. 

Bangsa Belanda menjajah Indonesia menjajah Indonesia pada tahun (1596-1942) atau 3 ½ abad. Pemerintah Belanda agaknya tidak terlalu banyak berkepentingan dengan pertunjukan wayang. Hal ini tampak dari beberapa kemajuan kesenian wayang purwa pada zaman Kerajaan Kartasura dibawah pemerintahan Amangkurat II. Pada tahun 1680, Mataram dengan ibukota Pleret dibawah pemerintahan Amangkurat II dipindahkan ke Kartasura dengan bantuan Belanda. Termasuk juga peralatan upacara kerajaan. Pada saat itulah mahkota kerajaan di Jawa diterima dari tangan penjajah Belanda. Dibawah pemerintahan Amangkurat II (1677-1703) kesenian wayang mengalami kemajuan sebagai berikut:

  1. Wayang memakai panakawan Bagong kira-kira pada tahun 1680
  2. Ada dua cara lakon wayang, yaitu:

1)    Lakon wetan (timur) muda atau lakon Kanoman, yaitu lakon yang dihimpun oleh Nyai Anjang Mas dengan panakawan Bagong.Pementasan cerita ini sering dilakukan di Kadipaten.

2)    Lakon kolon (barat)  atau lakon Kasepuhan, yaitu lakon yang dihimpun oleh Kiyahi Panjang Mas dengan panakawan tetapi tidak  memakai bagong. Cerita ini banyak dipentaskan di dalam Kraton.

  1. Menyempurnakan bentuk wayang. Misalnya:

1)      Dewa-dewa memakai baju, selendang dan memakai sepatu.

2)      Pendeta-pendeta memakai baju dan sepatu.

3)      Pembuatan wayang buta-terong dengan sengkalan “Marga sirna wayanging jalma”. (1605 Caka atau 1682 Masehi).

 

Pada tahun 1703 pemerintahan Kartasura beralih ke tangan Pangeran Puger atau Paku Bhuwana I (Amangkurat III). Beliau memerintah mulai tahun 1703 sampai dengan 1719 Masehi,  dengan perkembangan wayang berupa:

  1. Pembuatan wayang sabrangan, liyepan dan wayang pantelengan dengan memakai baju dan keris.
  2. Pembuatan wayang buta perempuan bernama Kenyawandu, dengan kronogram atau sangkalan “Buta nembah rasa tunggal”
  3. Membuat buku menak yang isinya mengisahkan permusuhan wong Agung Menak dengan Prabu Nursewan. Kitab ini ditulis oleh Carik Narawita (±1715). Kitab ini nantinya dipergunakan sebagai pakem lakon wayang Menak
  4. Pembuatan kitab Manik Jaya myang isinya antara lain keterangan bahwa manik menjadi Batara Guru dan Maya menjadi Semar dan juga buku tersebut mengisahkan lahirnya Narada. (Kaneka Putra). Kitab ini disusun oleh Kartamursadah.

 

Pada tahun 1719-1749 Pau Bhuwana II memerintah Kartasura. Karya-karya wayangnya sampai sekarang masih disimpan di Kraton Surakarta dan dianggap sebagai wayang pusaka serta menjadi babon wayang. Diantara karya-karyanya adalah sebagai berikut:

  1. Kyahi Pramukanya. Beliau membuat wayang ini satu kotak dengan Arjuna wanda Jimat, Mangu, dan Kanyut pada tahun 1723-1730.
  2. Kyahi Banjed.
  3. Wayang Klitik dengan babon wayang Klitik ciptaan Pangeran Pekik. Wayang ini dibuat dari kayu mirit untuk pementasan cerita Damarwulan. Gamelan Lokananta dipergunakan sebagai pengiring pertunjukan wayang klitik. Biasanya, pertunjukan wayang klitik tanpa gending. Hanya menggunakan slegepan atau playon yang lebih dikenal dengan bangomati (toko mati) pada tahun 1734 Masehi atau 1659 Caka.
  4. Kitab Kanda yang berisi tentang cerita keturunan Batara Brahma dan cerita-cerita Arjunasastra, cerita Rama. Kitab ini kemudian menjadi kitab pakem lakon di Yogyakarta.
    1. 2.      Kerajaan Surakarta

Paku Buwana II memindahkan ibukota kerajaan pada tahun 1744 dari Kartasura ke Surakarta. Kemudian pada tahun 1749 Paku Buwana II digantikan oleh Paku Buwana III yang secara mutlak mengakui kekuasaan VOC dan mulai pada saat itu menjadi negara jajahan Belanda. Perkembangan yang terjadi adalah:

  1. Kyahi Mangu dan Kyahi Kanyut. Paku Buwana III (1749-1788) membuat wayang dua kotak dengan babon Kyahi Pramukanya. Setelah selesai  wayang ini disebut wayang Kyahi Hanyut. (1679 Caka atau 1771 Masehi)
  2. Kyahi Pramukanya Kadipaten. Paku Buwana III membuat wayang lagi dengan babon Kyahi Pramukanya dengan penatah, Cerma Pangrawit, Kyahi Ganda, Cerma Natas, Cerma Dangsa, Cerma Truna, yang diberi nama Kyahi Pramukanya Kadipaten.
  3. Arjuna Wiwaha Jarwa. Paku Buwana III juga berkenan menulis Kitab Arjuna Wiwaha Jarwa (macapat) (1709 Caka=1782 Masehi).

Kemudian pada tahun 1755 kerajaan Mataram pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta (Hamengku Buwana I). Tidak lama kemudian Surakarta pecah menjdai Kasunanan dan Mangkunegaran yang dikepalai Raden Mas Said dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Harya Mangkunegara ke 1 ±1757.

Surakarta diperintah Paku Bhuwana IV pada tahun 1788-1820. Wayang-wayang yang dibuat adalah:

  1. Kyahi Jimat: wayang Kyahi Jimat ini ditatah oleh Cerma Pangrawit dan Kyahi Ganda.
  2. Kyahi Kadung. Wayang ini adalah wayang terbagusa pada saat itu (1726 Caka=1799 s/d 1817 Masehi). Penatahan wayang ini dikerjakan juga oleh Cerma Pangrawit dan kawan-kawan.
  3. Kyahi Dewakatong. Wayang ini (1730 Caka=1803 s/d 1817 Masehi) jenis wayang gedog dengan babon  Kyahi Banjed. Penatahan wayang Kyahi Dewakantong ini dikerjakan juga oleh Cerma Pangrawit dan kawan-kawan, serta Sadangsa dari Desa Palar.
  4. Pakem Lakon. Paku Buwana IV membuat juga kumpulan lakon wayang gedog dan wayang purwa. Menghimpun kumpulan suluk-suluk, ada greget saut dengan mengambil kata-kata dari kitab Bharatayudha, Ramayana dan setelah selesai, buku ini dijadikan pakem (1732 Caka = 1805 Masehi)
  5. Wayang Rama yaitu wayang yang khusus untuk cerita Ramayana. Didalam kotak itu terdapat wayang kera dan raksesa. Disamping itu juga dihimpun cerita-cerita Rama antara lain cerita “Lokapala”, “Arjunasastra”(1737 Caka atau 1810 Masehi)
  6. Kitab-kitab. Pada zaman Paku Bhuwana IV ada dua orang pujangga besar yang membangun kepustakaan jawa. Beliau ini Kyahi Yasadipura I (±1798) dan Kyahi Yasadipura II. Kitab-kitab yang ditulis pada waktu itu adalah Arjuna Wiwaha, Ramayana, Bharatayudha, Arjunasasra atau Lokapala, Dewaruci (1732 Caka=1796 Masehi; 1730 Caka=1803 Masehi), Menak=Menak koncar (sama dengan Menak Kartasura) dan kitab Ambiya

Kesenian wayang sudah menyebar luas ke seluruh daerah Jawa pada saat Surakarta diperintah oleh Paku Bhuwana V yaitu pada tahun 1820-1823. Sehingga setiap kali pembuatan wayang, tidak lagi diberi nama secara khusus. Hal ini bukan berarti kesenian wayang tidak lagi mendapat perhatian khusus. Bahkan wayang pada saat itu mendapat perhatian para sarjana sebagai obyek ilmiah yang telah ditulis dan mengupas wayang secara panjang lebar.

  1. 3.      Kerajaan Yogyakarta

Pangeran Mangkubumi menjadi raja di Yogyakarta pada tahun 1755-1792 dengan gelar Sri Sultan Hamengku Bhuwana I. Pada waktu itu adda seorang dalang yang mengabdikan diri kepada Pangeran Mangkubumi yang bernama Cerma Kanda alias dalang Kandangwesi dan anaknya yang bernama Paku Waja

            Sri sultan hamengku Bhuwan memerintahkan K.G.P.A. A. Mangkubumi (cucu Hamengku bhuwana) untuk menulis kitab lakon wayang gaya Yogyakarta yang disebut kitab Purwakanda. Kitab ini kemudian menjadi pakem dan babon lakon wayang gaya Yogyakarta.

  1. Sekolah Dalang

Pada tanggal 27 Juli 1925 Sri Sultan Hamengku Bhuwana VIII (1921-1939) mendirikankursus dalang yang bernama “HABIRANDA” (singkatan dari HA-nganakake, BI-wara RAN-cangan DA-lang) dibawah pimpinan B.P.H Suryadiningrat dan K.R.T Jayadipama dengan ketua R.M Riya Ganda Atmaja. Habiranda ini tetap berdiri sampai tahun 1975.

  1. Macam wayang yaitu:

1)      Wayang Kuluk

Pada masa pemerintahan Hamengku Bhuwana V (1822-1855), wayang ini untuk cerita sejarah Yogyakarta (sifat lokal).

2)      Wayang Cunduk (masa pemerintahan Hamengku Bhuwana V).

3)      Wayang Tapen (masa pemerintahan Hamengku Bhuwana VI atau 1855-1877).

4)      Wayang Lokapala (masa pemerintahan Hamengku Bhuwana VII (1877-1921)). Gusti Pura, putra H.B VII membuat wayang ini untuk cerita Rama dan Maespati.

5)      Wayang Panji. (masa pemerintahan Hamengku Bhuwana VIII (1921-1939) untuk cerita panji).

6)      Wayang Madya (masa pemerintahan Hamengku Bhuwana VIII, dibuat oleh putra H.B VII yang bernama Pangeran Paku Baya).

7)      Lain-lain. Wayang gedog, wayang menak, wayang klitik dan sebagainya.

  1. 4.      Pemerintah Penjajah

Negara Indonesia sebelum menjemput kemerdekaan, tak lepas dari tikaman para penjajah. Bangsa Belanda menjajah Indonesia tepatnya pada tahun 1596-1942 yaitu selama 3½ abad. Pada zaman penjajahan, kesenian wayang memang tidak begitu dipedulikan pemerintah Belanda. Namun, pemerintah belanda mengalihkan perhatian terhadap adat istiadat dan kebudayaan bangasa Indonesia melalui tangan-tangan para sarjana Belanda yang lebih mementingkan riset ilmiahnya. Para sarjan Belanda yang khusus mengadakan penelitian tentang dunia pewayangan diantaranya yaitu: Brandes, Dr. Rassers, Poensen, Prof. Dr. Kern, J. Kats, Prof. Dr. Gonda, Dr. GAJ. Hazeu, Dr. Yuynboll dan lain sebagainya.

            Disamping segi ilmiah, tentunya sarjana-sarjana Belanda ini juga mempunyai misi lain (Murdowo:175). Walaupun penjajah tidak terlalu memberikan perhatian khusus, bukan berarti pertunjukan wayang tidak berkembang.

Penyempurnaan cara pertunjukan dan bentuk wayang tetap berjalan bahkan mencapai kemajuannya. Hingga pada tahun 1925 di Yogyakarta didirikan sekolah dalang Habiranda, dan PADASUKA (PA-sinaon DA-lang SU-raKA-rta).

            Pada zaman ini, pertunjukan wayang mengalami pergeseran dan penambahan fungsi. Unsur-unsur pemujaan dalam upacara agama yang semula menjadi latar pertunjukan wayang kini tidak lagi mutlak menjadi landasan pementasan. Tetapi, telah menjadi suatu bentuk kesenian klasik tradisional adihulung yang memiliki unsur-unsur sebagi berikut:

  1. Seni
  2. Kejiwaan, da’wah dan (sisa) upacara agama
  3. Pendidikan dan media massa
  4. Ilmu pengetahuan dan sastra budaya
  5. Hiburan

Meskipun penonjolan unsur pertunjukan wayang pada masa ini tidak lagi pada upacara keagamaan. Namun, esensi upacara kepercayaan sesungguhnya tidak lenyap sama sekali. Karena pada beberapa kesempatan kebudayaan ini masih diakui masyarakat, seperti dalam tradisi bersih desa, murwakala, 1-syura dan sebagainya.

            Disamping perubahan fungsi, maka teknik pakeliran, bahasa,lakon-lakon dan wujud wayangnyapun mengalami perubahan. Jadi, sejak adanya wayang sampai sekaran, wayang telah banyak mengalami perubahan, diantaranya:

  1. Tahun± 1500 M-400M. Cerita wayang berupa mitos Jawa-Kuna, dengan bahasa pengantar Jawa Kuna.
  2. Tahun ± 400M-907 M. Ceritanya sebagian merupakan mitos dan sebagian lagi masih berupa ephos India.
  3. Tahun ± 907M-1478 M. Seluruh cerita sudah berephos India dengan bahasa pengantar “Kawi”
  4. Tahun ±1478 M-1745 M. Ceritanya sudah bercampur, antara mitos, ephos dan hikayat dewngan bahasa pengantar bahasa Jawa-tengahan.
  5. Tahun 1945 sampai sekarang ceritanya berupa babad (carangan) dengan bahasa pengantar Jawa-Indonesia.

            Manajemen pertunjukan dan peralatannya maupun wayangnya banyak mengalami kemajuan yaitu dengan adanya penambahan gamelan slendro an pelog, dengan swarawati atau waranggana dan wiraswara. Pengaturan ini menunjukkan kemajuan dunia pewayangan Indonesia.

            Beberapa penambahan wayang dan pakeliran baru sangat diperhatikan pada zaman ini oleh para raja yang memerintah pada saat itu, sehingga para pecinta wayang tak pernah mengalami penipisan ide. hal ini sebagai berkah dengan keberadaan para raja yang juga seniman zaman penjajahan.Diantara karya-karya wayang baru pada masa ini adalah: Wayang Madya, Wayang Wong, Wayang Golek, Wayang Tengul, Wayang Dupara, Wayang Menak, Wayang Kuluk, Wayang Jawa, Wayang Kancil, Dan Wayang Wahana.

  1. E.                 WAYANG ZAMAN MERDEKA

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 telah menjadi bukti otentik bahwa bangsa Indonesia telah merdeka dari penjajahan. Ketika tongkat kemerdekaan dengan bangga telah direbut dengan persatuan yang kokoh, pertunjukan wayang kulitpun telah mendapat kedudukan setingkat lebih tinggi di hati bangsa Indonesia, yaitu sebagai Kebudayaan Bangsa Indonesia yang berwujud kesenian daerah klasik tradisionil (adiluhung). Hal ini menjadi suatu kebanggaan kedua yang diraih bangsa Indonesia sebagai berkah dari persatuan yang berhasil berbuah kemerdekaan.

Perbedaan seni pendalangan wayang purwa zaman penjajahan dan zaman merdeka adalah:

  1. seni pendalangan wayang tidak lagi dibina oleh pemerintah kerajaan, tetapi tumbuh dan hidup dalam masyarakat sebagai kesenian daerah
  2. diurus serta dibina oleh masyarakat sendiri dengan bantuan pemerintah RI, dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Pada zaman penjajahan:

  1. seni pendalangan dibina oleh kerajaan Sala dan Yogyakarta.
  2. Belum ada pemerintah RI

Banyak para akademisi dan para seniman berkolaborasi untuk memanfaatkan kesenian wayang purwa dalam pembinaan jiwa bangsa Indonesia. Sebagai salah satu bukti, dengan terciptanya berbagai bentuk wayang seperti wayang krucil, wayang perjuangan, wayang wahyu, wayang suluh, wayang golek purwa, dan wayang Jawa.  Realitas usaha-usaha ini secara nyata dapat menunjukkan semangat membara dan suatu “tanda hidup” dari seni pendalangan itu sendiri. Bahkan seni pendalangan dewasa ini telah mencapai suatu prestasi taraf akademis dan internasional terutama dalam bidang sastra budaya. Bukan hanya itu, jika kita melihat di berbagai media cetak, telah banyak tulisan-tulisan dengan topik kesenian wayang. Banyak pula ceramah-ceramah, kongres dan sarasehan-sarasehan mengenai pendalangan kesenian wayang. Hal ini menunjukkan adanya minat para sarjana dan pecinta seni wayang untuk memberikan perhatian khusus terhadap kesenian daerah klasik tradisioanil ini. Walaupun usaha dalam bidang ilmiah ini jauh lebih sedikit apabila dibandingkan dengan karya-karya ilmiah oleh beberapa sarjana pada masa penjajahan.

Bukti lain yang tak kalah memberikan gambaran bahwa pewayangan Indonesia telah mampu menghipnotis segala lapisan masyarakat dan bahkan telah mencapai taraf akademis adalah dari beberapa fakta kronologis berikut:

  1. Tahun 1500 SM-903 M (abad XV SM-XM) pertunjukan wayang diambila alih oleh para tokoh agama, pimpinan keluarga, dan dilakukan dalam lingkungan keluarga sebagai suatu dakwah, alat pendidikan, dan upacara keagamaan.
  2. Tahun 903-1472 M (abad X-XV) pertunjukan wayang atau pendalangan dikerjakan oleh para tokoh agama dan budayawan (Empu), pendalang biasanya adalah orang-orang yang biasa menjadi dalang istana yang belum terlalu tinggi pendidikannya, namun tinggi pendidikan kerohaniannya. Sehingga mereka disegani dan terkadang mereka adalah salah satu dari golongan pendeta.
  3. Tahun 1478-1745 pendalangan dikerjakan oleh pemimpin kerajaan, budayawan dan para ahli. Sedangkan yang bertindak sebagai seorang dalang adalah orang yang belum tinggi pendidikan umumnya disebut Abdi Dalem Dalang.
  4. Tahun 1745-1945 pertunjukan wayang dipegang oleh para seniman keraton dan mulai menjadi sasaran ilmu pengetahuan. Umumnya di kerjakan oleh orang-orang Belanda. Sedangkan dalangnya  adalah masih seorang Abdi Dalem Dalang.
  5. Pada tahun 1945-1975 Masehi, pendalangan tumbuh sendiri dalam masyarakat. Pertunjukan wayang mulai dikerjakan oleh para mahasiswa dai bebagai universitas. Artinya banyak sekolah pendalangan pada waktu itu  yang didominasai oleh para pelajar dan mahasiswa. Contohnya, kursus pendalangan “Himpunan Siswa Budaya”yang dibuka pada tahun 1953 di Jalan Kemuning 19 Yogyakarta dengan guru bapak R.M Sri Handayakusuma, bapak Susilaatmaja, bapak Pringga Satata dengan 14 orang siswa ynag terdiri dari:

3 orang Mahasiswa Fakultas Kedokteran

3 orang Mahasiswa Fakultas Sosial Politik

2 orang Mahasiswa Akademi Seni Rupa Indonesia

3 orang Mahasiswa Fakultas Sastra dan Budaya dan

3 orang Mahasiswa Fakultas Teknik.

  1. 1.      Bentuk Pagelaran Wayang

Perkembangan wayang kulit setelah Indonesia merdeka mengalami kemajuan pesat. Sehingga pertunjukan wayang dibagi menjadi dua bentuk pergelaran. Pembentukan ini terjadi pada tahun ±1952 M. Pembagian tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Bentuk tradisi (wayang semalam suntuk): bentuk ini mengacu pada tradisi pertunjukan wayang pada era pramerdeka. Yang biasanya diperuntukkan untuk keperluan murwakala “ngruwat” dan keperluan lain seperti bersih desa, perkawinan,  khitanan dan hajat lainnya. Biasanya bentuk ini dinamakan wayang semalam suntuk. Karena pelaksanaan pergelaran wayang tradisi ini di waktu malam 9 jam, biasanya mulai dari jam 21.00-06.00 atau pada jam 20.00-05.00. Seorang dalang harus mendalang selama 9 jam. Inilah alasan kenapa disebut semalam suntuk.
  2. Bentuk baru (wayang tidak semalam suntuk): usaha pendalangan wayang bentuk baru ini dpelopori oleh para Mahasiswa UGM (Universitas Gajah Mada) pada tanggal 19 Desember 1952 yaitu bertepatan dengan Dies Natalis UGM. Kemudian dipopulerkan dan dihayati sendiri oleh para Mahasiswa GAMA. Pertunjukan ini biasanya dilakukan selama 4 atau 5 jam, yaitu mulai jam 20.00-01.00.

Berikut ini beberapa perbedaan pagelaran wayang semalam suntuk dan tidak semalam suntuk:

  1. Segi sebagai seni: tidak ada perbedaan antara keduanya, karena keduanya sama-sama seni.
  2. Segi teknis, letak perbedaan:
  • Pakeliran tradisi memerlukan waktu ±9 jam, sedangkan pakeliran baru memakan waktu ± 5 jam.
  • Pakeliran baru: tidak semua adegan dilaksanakan, hanya yang penting dan perlu saja. Adegan yang tidak berbobot ditinggalkan.
  1. Segi simbolik: tidak ada perbedaan. Karena unsur lambang, urutan adegan, patet dan sebagainya tetap dipertahankan (pola pokok dan pola asli pembagian patet tetap)
  2. Segi mistik dan nilai (ontologis), metafisis: ada bedanya, karena pakeliran barubukan olah mistis melainkan olah seni.

Pertunjukan wayang kulit pada awalnya diadakan di peringgitan rumah, yaitu suatu tempat antara rumah dalam (kamar keluarga) dan pendapa (ruang tamu) dengan segala upacara tradisinya. Sedangkan dalam perkembangan dewasa ini, pertunjukan wayang kulit tidak lagi dilaksanakan di peringgitan, melainkan dimana saja asal tempatnya menunjang untuk diadakannya pertunjukan wayang kulit. Frekuensi pertunjukan wayang kulit pada era modern banyak dilaksanakan di dalam gedung-gedung pertemuan.

Umumnya pertunjukan wayang semalam suntuk dibagi kedalam 7 phase, yaitu: Klenengan, Talu, Patet nem, Patet sanga, Patet manyura, Penutup (tancep kayon), dan Golek.

  1. 2.      Klenengan

Klenengan dibunyikan sebelum pertunjukan wayang kulit dimulai. Membunyikan klenengan dimaksud untuk memeriahkan suasana dan sambil menunggu kehadiran tamu. Klenengan bukanlah sesuatu yang wajib dalam pertunjukan wayang, karena keberadaannya hanyalah sebagai pelengkap pertunjukan yang menjadi suatu kebiasaan adn dibunyikan dari jam 20.00-20.30.

Gending-gending yang biasa dibunyikan dalam klenengan antara lain:

  1. Sriwidana
  2. Ladrang Slamet
  3. Pangkur
  4. 3.      Talu

            Talu (lagu-lagu pembukaan) dinyanyikan pada pembukaan pertunjukan wayang. Gending-gending dalam talu (lagu-lagu pembukaan) sebelum pertunjukan wayang sudah ditentukan. Gending ini disebut patalon yang terdiri dari tujuh gending (lagu) yaitu:

  1. Gending Cucurbawuk
  2. Pare Anom
  3. Ladrang Srikaton
  4. Ketawang Sukma Ilang
  5. Ayak-Ayakan Manyura
  6. Sampak Manyura

Menurut keterangan para ahli kebatinan, patalon ini melambangkan suatu tataran tingkat kehidupan manusia atau penjelmaan Zat sebelum manusia itu lahir di alam kehidupan nyata. Bukan hanya itu, patalon ini juga dimaksudkan untuk memberi tanda pada dalang yang mungkin pada waktu itu masih atau sedang beristirahat, bahwa pertunjukan siap dimulai.  Biasanya, patalon dibunyikan pada jam 20.30-21.00

Beberapa peristiwa dunia pewayangan zaman modern

  1. Wayang Pada Dies Natalis GAMA (Universitas Gajah Mada, setiap tanggal 19 Desember, mulai tahun 1952)
  2. Kongres Pendalangan Indonesia (23-28 Agustus 1958 di Perang Wedanan Kompleks Kraton Mangkunegaran Surakarta yang diketuai oleh Dr. Suharso dan R.Ngb. Wignyasutama)
  3. Sarasehan Pendalangan Ringgit Purwa (23-28 Januari 1958 oleh Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Indonesia, yang dipimpin oleh Prof. Dr. Slamet Mulyana dan Dra. Astuti)
  4. Pekan Wayang Indonesia ke I (24 Juni 1969 di Taman Ismail Marzuki Jakarta)
  5. Konferensi Wayang Internasional (27-31 Agustus 1968 di Kuala Lumpur)
  6. Pekan Wayang Indonesia II (26-28 Maret 1974 di Taman Ismail Marzuki yang diketuai oleh Bapak Marskal Madya H. Budiardjo)

KESIMPULAN

Kekhawatiran bangsa Indonesia akan hilang dan hanyutnya dunia pewayangan pada permulaan kemerdekaan hanya sebatas ketakutan belaka, kenyataan yang ada malah sebaliknya, yaitu:

  1. Pewayangan atau pendalangan wayang kulit purwa semenjak 18 Agustus 1945 sepenuhnya telah menjadi milik bangsa Indonesia sebagai kebudayaan bangsa Indonesia yang berwujud seni klasik tradisionil.
  2. Pewayangan bukan hanya milik seniman saja, melainkan telah menjadi milik seluruh kalangan masyarakat baik para buruh, pegawai tingkat bawah, petani, direktur perusahaan, praktisi pendidikan, mahasiswa dan pejabat pemerintahan. Bahkan kini telah masuk dalam materi kuliah perguruan tinggi, khususnya fakultas sastra.

Cita-cita para pecinta pewayangan yang dinyatakan dalam Kongres Pendalangan tahun 1958 telah menjadi kenyataan yaitu dengan  adanya Lembaga Pewayangan Nasional, Akademi Pendalangan, dan Ensiklopedia.

Selain itu, kini pewayangan menjadi perhatian dunia luar, sehingga setidaknya pewayangan menjadi kesenian universal. Yang selalu mendapat perhatian khusus global.


 

BAB II

FUNGSI WAYANG

Wayang merupakan gambaran dari kehidupan manusia, baik sebagai makhluk individu maupun kelompok. Kumpulan moral manusia yang disajikan secara lengkap dan baku dalam bentuk wayang, sekaligus sebagai sanepa, piwulang, dan pituduh bagi kehidupan manusia untuk mencaoai kesejahteraan dalam suasana kedamaian.

Kalau dilihat dari segi perkembangannya, wayang merupakan artefak budaya yang selalu berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan dan peradaban manusia. Dimulai sejak zaman prehistori, yang berlanjut hingga adanya kisah Ramayana dan Mahabarata, zaman Kerajaan Jawa dan Revolusi Kemerdekaan. Esensi kebudayaan Jawapun tergambar dalam wayang, mengingat Jawa sebagai awal tumbuh dan berkembangnya wayang. Namun, sejak wayang menjadi suatu kesenian yang dipandang oleh dunia Internasional, wayang juga berkembang di negara lain dengan teknis dan isi cerita yang disesuaikan dengan keadaan setempat.

 Cerita dalam pertunjukan wayang menggambarkan seluruh unsur kehidupan manusia yang meliputi perilaku individu secara mikro, dan perilaku individu dalam kelompok serta perilaku kelompok secara makro baik nasional maupun Internasional. Perilaku yang dimaksud adalah perilaku dalam memenuhi kebutuhan hidup sejak dari kepemilikan terhadap adanya sumber daya,  pengelolaan sumber daya dalam suatu negara, pengelolaan kegiatan produksi dan distribusi manfaat, bahkan dalam tingkatan yang lebih tinggi dalam berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, wayang sering disebuta sebagai etika kehidupan. Etika kehidupan yang dibakukan dan dijadikan suatu kebudayaan yang memiliki nilai, gagasan tinggi dan diyakini masyarakat sebagai acuan untuk berperilaku.

Sebagai etika dalam kehidupan, wayang juga sering disebut sebagai ratu (Suwaji Bastomi,1993:46). Ratu atau seorang pemimpin bangsa dan pemimpin negara. Sedangkan keratuan sebagai sumber pembudayaan wayang. Ketika kita melestarikan keratuan atau keraton sebagai sumber sekaligus pusat kebudayaan wayang, berarti secara tidak langsung kita sudah melestarikan etika kebudayaan yang amat tinggi. Namun hal ini tidak akan tercapai, ketika di zaman merdeka yang telah kita ketahui bahwa wayang menjadi milik seluruh kalangan masyarakat ternyata tidak memiliki sebuah pemahaman terhadap hakekat dan makna dari pewayangan sebagai etika dan pedoman hidup yang sebenarnya.

Wayang adalah bayangan, potret kehidupan yang berupa sanepa, piwulang, pituduh. Ini berarti sebuah makna tersirat tentang kebiasaan hidup, tingkah laku manusia, dan keadaan alam. Inilah etika kehidupan yang relevan dalam kehidupan manusia. Lakon wayang juga merupakan cermin kehidupan manusia yang diterima sejak lahir, hidup dan mati. Yaitu purwa, madya, wusana. Ini menunjukkan suatu proses kesetimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan yang Maha Esa.

Lakon wayang mencerminkan sebuah simbolis kehidupan manusia. Dengan keragaman lakon cerita wayang, semakin komplekslah karakter tercipta. Meskipun antara masing-masing lakon berbeda karena pelaku-pelaku tersebut disebut berbeda dalam cerita, namun pokok cerita wayang adalah sama. Yang menggambarkan kehidupan manusia sejak lahir, dewasa, dan mati. Oleh karena itu, S. Padmosoekotjo, 1984 mengibaratkan antara wayang satu dengan yang lain dengan: Kaya suruh lumah lan kurebe, dinulu seje rupane, ginigit padha rasane.

Bukan hanya jalan cerita wayang yang bermakna simbolis, tetapi penanggap wayang, dalang, wayang dan segala perlengkapan juga merupakansimbolisasi makna. Orang yang menanggap wayang diibaratkan sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Dalang dianggap sebagai lambang dari trimurti, wayang adalah gambaran manusia, debog melambangkan bumi, kelir adalah langit, blencong adalah lambang dari matahari. Sedangkan bulan dan bintang serta gamelan menunjukkan kebutuhan manusia antara lain sandang, pangan dan sebagainya.

Sedangkan pandangan dimata manusia sendiri, wayang dan perlengkapannya memiliki sebuah nilai filosofis tinggi. Orang yang menanggap wayang melambangkan Sang Hyang Atma (jiwa manusia), dalang (orang yang mempertunjukkan wayang) sebagai cipta esir, wayang (bahasa Jawa: bayangan) merupakan simbol nafsu manusia yang dicerminkan dalam panca indera, kelir (tabir) sebagai lambang cita-cita keinginan manusia, debog (batang pisang) sebagai lambang tubuh manusia, blencong (lampu minyak dengan cerat yang menjulurkan sumbu tebal) sebagai denyut jantung yang menandai bahwa ada kehidupan manusia. Gamelan melambangkan kebutuhan manusia. Kotak (sebuah peti yang mempunyai pinggiran agar bisa dibuka tutup) tempat menyimpan wayang melambangkan tempat asal manusia dan tujuan akhir manusia, gunungan (bergambar hutan atau pegunungan dan meru atau pohon surga) menggambarkan hidup, cempala melambangkan jantung dan kepyak melambangkan peredaran darah.

Sedangkan secara terstruktur, wayang memiliki beberapa fungsi sebagai berikut:

  1. Fungsi spiritual

Pada awalnya wayang atau pertunjukan bayang-bayang diciptakan oleh manusia sebagai alat pemenuhan kebutuhan religius atau spiritualnya. Manusia zaman prasejarah, mementaskan wayang (yang bentuknya tidak seperti kita kenal sekarang) untuk memuja dan mempertemukan mereka dengan roh-roh nenek moyang yang sudah meninggal. Kepercayaan yang seperti demikian disebut Animisme. Sedangkan untuk zaman sekarang, wayang masih dikaitkan dengan nilai-nilai spiritual. Sering kali sebelum pementasan wayang,  masih ada sesajen tertentu yang harus dibuat. Contoh yang lebih nyata lagi yaitu dengan adanya upacara ruwatan dengan tujuan membuang sial yang mengharuskan adanya pertunjukan wayang.Biasanya wayang ini memang khusus dilaksanakan setiap ada upacara-upacara atau tradisi tertentu yang memang khusus memiliki nilai religius. Pertunjukan wayang ini bersifat sakral.

  1. Fungsi Pendidikan.

Selain fungsi spiritual, wayang juga dapat berfungsi sebagai media pendidikan dalam masyarakat. Melalui wayang, transformasi nilai-nilai luhur budaya dapat berlangsung dengan efektif. Banyak nilai-nilai kebaikan yang bisa diambil dari cerita atau lakon yang ada dalam wayang. Transformasi ini bersumber dari dalang yang biasanya adalah orang penting di masyarakat. Seorang dalang adalah orang-orang yang memenuhi beberapa kriteria keahlian tertentu, dan disegani karena mampu berperan di masyarakat baik dari kalangan atas maupun bawah. Pada masa Sunan Kalijaga pun wayang dijadikan media pendidikan dan dakwah. Beliau menyisipkan ajaran-ajaran Islam dalam pertunjukan wayang, agar lebih mudah dimengerti oleh masyarakat Jawa pada waktu itu.

  1. Fungsiinformatif dan kritik sosial.

Fungsi yang ketiga adalah fungsi informatif dan kritik sosial. Melalui pertunjukan wayang, masyarakat dapat menerima informasi tentang beberapa peristiwa penting dalam lingkungan sekitar yang diketahui oleh para dalang. Misalnya dengan mementaskan lakon-lakon tertentu yang sesuai dengan keadaan masyarakat pada waktu itu.

Selain itu, wayang juga dapat dijadikan sebagai sarana kritik sosial. Masyarakat bisa mengkritik beberapa kebijakan pemimpin mereka tanpa resiko adanya kemarahan pemimpin melalui wayang. Dengan lakon-lakon tertentu pula atau fragmen wayang “goro-goro” dalang bisa bebas mengkritik kebijakan pemimpin. Dengan demikian, masyarakat juga ikut berperan dalam memberikan kritik sosial pemerintah.

  1. Fungsi rekreatif (hiburan)

Disini, wayang murni berfungsi sebagai media rekreatif atau hiburan bagi masyarakat. Bukan ditujukan dengan maksud-maksud religi tertentu. Melainkan hanya untuk menghibur masyarakat yang gemar akan seni pertunjukan wayang ini. Seperti pada acara resepsi pernikahan, khitanan, acara besar desa, yang memang dipentaskan untuk menghibur tamu undangan atau khalayak ramai.


 

BAB III

JENIS-JENIS WAYANG

            Angga Toji dalam artikel wayangnya mengatakan bahwa UNESCO telah mendeklarasikan wayang sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity) pada tanggal 7 November 2003. Sehingga, wayang yang dikenal sebagai kesenian tradisional adiluhung “The high Art” ini menjadi satu aset kekayaan leluhur nusantara seperti halnya batik  juga keris. 

Tapi sesuai dengan jenisnya, wayang cukup beragam di nusantara ini, ada wayang kulit yang mengambil media kulit sapi atau kambing yang dikeringkan, dilukis dan diwarnai dengan karakter tokoh-tokoh pewayangan serta dimainkan oleh seorang Dalang dengan iringan alunan gamelan. Ada juga wayang orang yang mengutamakan sendratari alias seni drama, dan tari dalam setiap  pertunjukkannya.

              Dalam perkembangannya saat ini, kesenian wayang cukup memiliki banyak variasi jenis. Tidak hanya terbatas pada wayang kulit, tetapi juga terdapat wayang kertas, wayang golek, wayang potehi, wayang beber hingga wayang suket atau wayang rumput. Untuk mengetahui bagaimana karakteristik dari setiap jenis wayang tersebut, marilah kita melanjutkan membaca bab ketiga ini.

  1. A.           Wayang Kulit

Wayang jenis ini  merupakan jenis pertama wayang  yang diciptakan di Indonesia.Pertunjukan wayang semula dijadikan sebagai ritual penyembahan dan penghormatan terhadap arwah nenek moyang. Wayang ini belum disebut wayang kulit, tetapi lebih dikenal dengan “bayangan”. Kemudian pada saat itu, pengaruh agama Hindu mulai muncul. Para Brahmana Hindu yang melakukan penyebaran dan penyiaran agama Hindu di Pulau Jawa pada abad IV Masehi menggunakan kitab Ramayana dan Mahabarata sebagai daya tarik, disamping Kitab suci Weda sendiri. Beberapa sumber mengatakan agama Hindu masuk ke Indonesia sekitar abad I Masehi. Sumber-sumber tersebut berasal dari beberapa prasasti yang ditemukan dan dari beberapa berita yang ditulis oleh para penulis sejarah. Kerajaan hindu yang berada di Indonesia antara lain: kerajaan Kutai di Kalimantan Timur (awal abad V), kemudian disusul oleh kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat.

Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa telah ada hubungan antara kerajaan-kerajaan pusat agama Hindu dengan penyebaran  agama Hindu di tanah air. Hubungan yang dimaksud adalah seperti hubungan melalui jalur perdagangan, pernikahan, dan pendidikan.

Pertunjukan wayang yang semula dijadikan sebagai ritual penyembahan dan penghormatan terhadap arwah nenek moyang. Upacara sakral ini menjadi semacam kewajiban yang harus dilakukan. Karena mereka percaya jika kalau mereka lalai menunaikan upacara, semacam lupa untuk memberi sesaji maka salah satu dari keluarga atau anak cucu mereka bisa kuwalat.

Berdasarkan sumber-sumber sejarah yang layak dipercaya, para Syaman (pimpinan upacara) kalau sedang bertugas selalu memakai topeng yang melukiskan nenek moyang. Mereka menari-nari sehingga arwah nenek moyang merasuki badan penari. Dalam keadaan demikian, para Syaman yang tadinya menari, kini mengoceh sesuatu yang mereka anggap sebagai  ucapan roh nenek moyang. Para Syaman menceritakan kelebihan-kelebihan nenek moyang, misalnya perihal kepahlawanan mereka di medan perang, pembuatan tanggul di desa yang mereka buat dengan tangannya sendiri.

Penduduk Jawa pada waktu itu, mulai menggambarkan nenek moyang yang mereka takuti sebagai tokoh-tokoh wayang. Dari situlah kemudian muncul wayang (kulit). Marilah kita sama-sama meninjau lebih dalam tentang perkembangan pertunjukan wayang.

Mengenai wayang kulit, Sudarjanto telah menuturkan dalam salah satu artikelnya bahwa, Pertunjukan wayang kulit telah dikenal di Pulau Jawa semenjak 1.500 SM. Semasa Kerajaan Kidiri, Singasari, dan Majapahit, wayang telah mencapai puncaknya. Hal ini  seperti yang tergambar pada relief di candi-candi serta di dalam karya-karya sastra yang ditulis oleh Mpu Sendok, Mpu Sedah, Mpu Panuluh, Mpu Tantular, dan lain-lain. Epos Ramayana dan Mahabharata yang asli berasal dari India, telah diterima dalam pergelaran wayang Indonesia sejak zaman Hindu.

Wayang Indonesia seolah-olah identik dengan Ramayana dan Mahabharata. Namun, perlu dimengerti bahwa Ramayana dan Mahabharata Indonesia dengan India sudah berubah alur ceritanya. Ramayana dan Mahabharata versi India ceritanya berbeda satu dengan lainnya sedangkan di Indonesia ceritanya menjadi satu kesatuan. Yang sangat menonjol perbedaanya adalah falsafah yang mendasari kedua cerita itu, lebih-lebih setelah masuknya agama Islam, diolah sedemikian rupa sehingga terjadi proses akulturasi dengan kebudayaan asli Indonesia. Meskipun Ramayana dan Mahabharata sama-sama berkembang dalam pewayangan, namun Mahabharata ala Indonesia digarap lebih tuntas oleh para budayawan dan pujangga kita.

Seperti yang telah kita ketahui, pada awalnya wayang hanyalah adap pertunjukan wayang kulit. Selang dengan perkembangan zaman, pertunjukan wayang kulitpun ikut berkembang. Berbagai macam wayang mulai muncul, lengkap dengan asesorisnya, seperti bahasa, cerita, maupun teknisnya. Misalnya, wayang purwa, gedog, dan lain sebagainya. Hingga akhirnya  pada era kemerdekaan, wayang memiliki jumlah yang tergolong banyak, yaitu sekitar 400 jenis. Selain karena perhatian lebih kerajaan-kerajaan, pemerintah, para pecinta seni pewayangan dan juga seluruh komponen masyarakat. Namun, yang akan diuraikan dalam buku ini hanyalah beberapa jenis saja, dan merupakan kategori wayang kulit yang cukup dikenal masyarakat.  Untuk lebih jelasnya, mari kita tinjau secara kronologis tentang perkembangan pertunjukan wayang-wayang kulit tersebut. Diantaranya:

  1. Wayang Purwa (±872/903)  : Mahabarata dan Ramayana.
  2. Wayang Madya (±1850)      : Sesudah Parikesit atau Gendrayana (Kediri).
  3. Wayang Gedog (±1563)      : Panji
  4. Wayang Dupara (±1830)     : Dari Kerajaan Demak sampai Surakarta.
  5. Wayang Wahyu (±1963)     : Agama Katholik.
  6. Wayang Suluh (±1947)        : Penerangan perjuangan kemerdekaan.
  7. Wayang Kancil (±1925)      : Dongeng binatang.
  8. Wayang Calonarang            : Black Magis
  9. Wayang Krucil (1584)         : Mahabharata dan Ramayana siang hari.
  10. Wayang Ajen (1998)           : Tempat bercermin diri
  11. Wayang Sasak (±1996)        : Perjuangan Amir Hamzah
  12. Wayang Sadat (1970)          : Perjuangan Wali Sanga
  13. Wayang Parwa                     : wiracarita Mahabarata (Astha Dasa Parwa)
  14. 1.      Wayang Purwa

Wayang Purwa semula dikenal sebagai “Gambaring Wayang Purwa”. Tepatnya pada pertengahan abad ke-9 (±872/903). Masa ini merupakan masa pemerintahan Raja Jayapusura di Widarba. Wayang ini lahir karena suatu sebab intern dunia kerajaan. Suatu legenda menceritakan tentang keinginan Raja untuk memperingati para nenek moyangnya yang sudah meninggal. Raja membuat gambarnya di atas sehelai daun lontar. Gambar tersebut mirip dengan arca-arca yang bentuknya hanyalah berupa gambar orang dari muka. Masyarakat menyebutnya sebagai “Gambaring Wayang Purwa”.

Sebenarnya purwa adalah pertama atau yang terdahulu jika kita memaknai dengan bahasa sansekerta. Wayang purwa adalah wayang kulit tertuadiantara yang lainnya. Makanya, masyarakat pada waktu itu menyebutnya sebagai wayang purwa yang juga  mempertunjukkan cerita zaman dahulu.

Kita adalah pemuda di era konseptual, yang tidaklah mungkin dapat menyaksikan sejarah pertunjukan yang sebenarnya dengan penglihatan yang nyata. Kita hanya bisa melihat dan membaca kesaksian beberapa penulis sejarah wayang yang dapat dipercaya untuk dapat mengenalinya. Keberadaan wayang ini dapat terlihat pada zaman pemerintahan Erlangga yaitu dengan adanya prasasti. Setiap keterangan pada prasasti terutama dalam bait ke-59 Kakawin Arjuna Wiwaha dan Empu Kanwa. Karya ini merupakan salah satu sumber tertulis tertua dan autentik tentang pertunjukan wayang kulit yang mulai dikenal di Jawa, tepatnya pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa Airlangga di Kerajaan Kediri. Prasasti ini mengatakan:

“Hanonton ringgit manangis asekel muda hidepan, huwus wruh towin jan walulang inukir molah angucap” (Ada orang melihat wayang menangis, kagum, serta sedih hatinya. Walaupun sudah mengerti bahwa yang dilihat itu hanya kulit yang dipahat berbentuk orang dapat bergerak dan berbicara).

Menurut sejarah, wayang purwa ini masih kuat mempertahankan esensi cerita dari Ramayana dan Mahabarata.Ketika merambah ke cerita Panji, pertunjukan wayang tidak lagi disajikan dengan wayang purwa, tapi dengan wayang Gedhog. Wayang purwa tidak mutlak memiliki satu gaya. Kita mengenal gaya yang disebut dengan gagrak dalam pewayangan. Diantaranya adalah gagrak Banyumasan, Mangkunegaran, Jawatimuran, Kedu, Cirebon, Kasunanan, Ngayogjakarta, dan sebagainya.

Menurut sumber yang ada, bahan baku pembuatan wayang kulit purwa terbuat dari bahan kulitkerbau yang ditatah, dan diperindah dengan warna sesuai dengan kaidah pulasan wayang pedalangan. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan tangkai dari bahan tanduk kerbau bule yang telah diolah sedemikian rupa dengan nama cempurit yang terdiri dari gapit dan tuding.

Wayang kulit purwa semakin berkembang sampai sekarang bahkan perubahan yang paling dirasakan adalah pergeseran dari yang tradisi menjadi kreasi baru. Ketika Kraton Sukarta masih berjaya,dibuatlah wayang Kiai Kadung dengan ukuran yang sangat besar dengan ukuran 2-5 meter yang kemudian diberi nama. Semangat berkreasi inilah yang mungkin mengilhami para dalang khususnya Surakarta untuk menciptakan  wayang dengan ukuran lebih besar dari wayang purwa yang sudah ada.

Berbagai kreasi wayang kulit purwa telah dibuat oleh Ki Entus Susumono dari Tegal, mulai dari wayang tokoh kartun yang menjadi idola anak-anak kecil seperti superman, batman, satria baja hitam, robot, dinosaurus, wayang planet, dan wayang Rai orang-orang juga menyebutnya wayang Wong (bermuka orang). Bahkan mulai diciptakan beberapa tokoh yang sering mewarnai peliputan dunia seperti George Walker Bush, Saddam Hussain, sampai pada tokoh-tokoh pejabat pemerintah. Ki Entus memoles pewayangan dengan kolaborasi antara wayang gagrak Cirebonan dan Wayang Gagrak Surakarta yang memiliki gabungan dari beberapa bentuk, yaitu bentuk bagian atas seperti wayang cirebon, sedangkan dibagian bawah mirip wayang Surakarta.

Bukan hanya itu, dunia pewayanganpun semakin marak dengan penambahan beberapa tokoh wayang, misalnya dengan adanya penambahan berbagai boneka wayang dari tokoh barisan Tentara, polisi, beberapa helikopter, motor ambulan, Pemain Drum band, sampai tokoh Mbah Marijan.

  1. 2.      Wayang Madya (±1850)

Untuk wayang kulit yang satu ini bernama wayang madya. Berdasarkan periodisasinya, wayang ini masih tergolong sangat muda. Karena lahir pada tahun 1853-1881, tepatnya pada masa Pangeran Adipati Mangkunegara IV. Para pakar sejarah mengetahuinya dengan dasar yang kuat, yaitu berdasarkan salah satu tulisannya kepada pengurus Bataviaasch Genootschap van Kusten en Wetenschapen XVIII tahun 1880 halaman 126. Ternyata tulisan memberikan kesaksian penting, terutama menjelaskan bahwa sejarah ini memang benar-benar ada. Inilah salah satu nilai yang mendasari kenapa kita harus menulis. Apa saja, tulisan adalah bahan utama yang menjelaskan bahwa kita pernah berkarya, kita pernah hidup untuk sebuah dedikasi. Jadi shobat, ayo kita berlomba-lomba untuk menulis ya!. Sebanyak-banyaknya, dan sebaik-baiknya. Agar kita tetap hidup walaupun jiwa raga tak lagi bernafas.

            Kembali kepada wayang kulit purwa, pangeran Arya sendiri ingin menggabungkan seluruh wayang menjadi satu, yaitu bentuk kesatuan berantai. Kesatuan berantai ini berupa cerita seluruh sejarah Jawa lama sampai masuknya ajaran islam. Jadi, satu rangkaian kronologis ini memiliki lakon yang berurutan. Wayang ini telah terbagi menjadi tiga masa dengan tiga golongan lakon yang masing-masing merupakan satu jenis wayang. Diantaranya:

  1. Dari kedatangan Prabu Isaka (Ajisaka) sampai dengan wafatnya Maharaja Yudayana di Ngastina. Wayang ini disebut wayang purwa. Inilah periodisasi awal, yaitu dari tahun 1-785 Caka.
  2. Dari wafatnya Maharaja Yudayana di Ngastina sampai dengan naik tahtanyaPrabu Jayalengkara. Wayang ini disebut wayang Madya (madya= tengah, bahas sansekerta). Periodisasi: Masa kedua, yaitu dari tahun 785-1052 Caka.
  3. Dari naik awal naik tahtanya Prabu Jayalengkara sampai dengan masuknya agama Islam, yang disebut wayang wasana (awasana=akhir). Periodisasi menyebutkan wayang purwa ini sebagai masa ketiga yaitu dari tahun 1052-1352 Caka.

Dari sinilah tergambar bahwa wayang madya terlahir karena keinginanK.G.A Mangkunegara IV untuk melukiskan sejarah wayang indonesia secara dramatis.

  1. 3.      Wayang Gedog (±1563)       

            Wayang gedong ini menceritakan kisah Raden Panji, yakni Lembusubrata sampai Panji Kudalaleyan di Pajajaran, Pranasmara. Wayang ini menceritakan empat Raja bersaudara, yaitu Raja Kediri, Jenggala, Singasari dan Urawan atau Ngurawan.

            Arti Kata gedong ini dapat ditemukan pada awla cerita panji yang diterbitkan oleh Roorda, sebagai berikut:

“cariosipun Panji Kudawaningpati ugi saengga ing mangka saweg kangge in ringgit gedog wates pisahipun kelayan cariosipun ringgit purwa”

Meskipun maksud dari kutipan ini belum terlalu jelas,namun kita dapat menyimpulkan bahwa ia menganggap nama itu berasal dari batas, yaitu dinding pemisah yang ada antara siklus cerita wayang purwa dan siklus cerita Panji.

            Wayang gedog juga disebut sebagai wayang wasana dan pada zaman kerajaan Mataram di Kartasuran diperbarui lagi oleh Sunan Paku Buwono II. Dharmaja, seorang pujangga raja Kamesywara di Kediri, lebih kurang 1180, menyairkan Smaradahana. Syair itu mengenai perkawinan raja dengan Candra Kirana dari Jenggala. Dalam syair itu bainda digambarkan sebagai penjelmaan Kama dan Candra Kirana sebagai Patih, Dewi Percintaan.

Syairnya kira-kira sebagai berikut:

Pada suatu hari di junggringsaloka, tempat tinggal para dewa, dikepung oleh ribuan raksasa.para dewata yang sedang berada disitu, baik yang sedang piket maupun yang tidak, tak berhasil membendung serangan itu. Menurut wangsit yang diterima, raja raksasa hanya dapat dibunuh oleh salah seorang putra Bathara Shiwa, yang berkepala gajah. Namun karena Hyang Shiwa sedang bertapa, maka tidak seorangpun berani mangganggu beliau. Akhirnya dicapai kata sepakat bahwa bathara Kamajaya atau Asmara akan menggoda Hyang Shiwa supay timbul berahinya terhadap istrinya, Uma. Karena merasa terganggu, maka bangkitlah  marahnya Bathara Shiwa yang luar biasa terhadap kama, sehingga Dewa Kama terbakar menjadi abu karena terkena pandang mata Hyang Shiwa. Itulah sebaabnya syair tersebut dinamakaan Smaradahana yang berarti pembakaran dewa cinta. Karena istri Kama, yakni Dewi Ratih tak dapat menguasai dirinya , maka iapun ikut menerjunkan diri ke dalam api yang sedang menyala-nyala. Atas permohonan dewa-dewa, mereka dianugerahi hidup kekal, tetapi sebagai makhluk siluman. Dalam keadaan itu Kama menitis ke dalam tubuh Hyang Shiwa, dan Ratih menitis ke tubuh Dewi Uma. Ketika Dewi Umah akan melahirkan, dilepaskanlah seekor gajah, Umah sangat terkejut, sehingga melahirkan seorang anakyang berkepala gajah: Ganesya. Begitu lahir langsung dewasa, dan mengepalai tentara dewa melawan para denawa (raksasa) serta berhasil memperoleh kemenangan yang gilang gemilang. Selamatlah Kahyangan dari keangkasa murkaan.

Konon, sunan girilah yang menciptakan wayang gedhog, gedhog ataau kedok berarti topeng. Ciri-ciri wayang tersebut adalah memakai keris, kelat bahu (gelang lengan), anting-anting, dan lain-lain. Tidak ada raksasa dan keranya. Raja dari luar Jawa disebut: Prabu Kalana, mempunyai tentara orang Bugis yang memakai ikat kepala bulat panjang. Ceritanya disusun cukup untuk satu malam.

Selain cerita yang diceritakan diatas, terdapat pula kisah “cinde laras”yang garis besarnya adalah demikian, Prabu Jayakusuma seorang Raja yang adil dan bijaksana, tetapi sangat disayangkan bahwa salah seorang dari sekian banyak istri-istrinya bertabiat pendengki.

Istri tersebut ingin sekali menjadi permaisuri, sehingga melakukan tipu daya dengan berpura-pura sakit dan obatnya harus dengan taruhan nyawa sang permaisuri. Artinya harus dengan membunuh permaisuri. Tentu saja Sang Prabu sangat terkejut dan terperanjat. Sehingga akhirnya ia menyuruh saan perdana menteri dan sebagai tanda bukti, bukti biji matanyaharus dipersembahkan ke hadapan sang Prabu.

Karena sang Patih tidak sampai hati untuk membunuhnya, mak dengn berat hati terpaksa ia mengambil kedua belah biji mata sang permaisuri dan segera kembali ke istana. Di hutan tersebut, beliau hanya ditemani oleh dua orang hambanya, yakni Putra Kencana dan Satunta.

  1. 4.      Wayang Kulit Dupara(±1830)

Dari Kerajaan Demak sampai Surakarta.

 

Contoh wayang dupara yang ada di masyarakat Indonesia

Sumber foto : http://a7.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc4/67251_445591903735_171041283735_5356791_2764886_n.jpg

Keberadaan Wayang Dupara, sebenarnya memang diperuntukkan untuk mengkover cerita-cerita yang belum terdapat dalam wayang purwa, madya, gedhog dan klitik, sebagaimana orang Cirebon

Wayang Dupara ini diciptakan oleh RM Danuatmadja, seorang bangsawan Surakarta. Menurut hikayat yang disusun S. Haryanto dalam Pratiwimba Adhiluhung (1988), wayang ini memang diciptakan khusus untuk menceritakan hikayat kerajaan-kerajaan Jawa semenjak Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, hingga Kartasura. Sementara di saat yang sama, diciptakan pula wayang Jawa oleh Ngabehi Dutadipraja, dengan lakon yang mirip. Namun bedanya, raut muka wayang Dupara sudah seperti wayang purwa, sementara wayang Jawa masih bermuka manusia mirip dengan wayang Menak, bahkan untuk melengkapi set wayang Jawa ini, Dutadipraja membeli sebagian wayang kulit menak Trunadipan. (Sekarang wayang kulit menak Trunadipan ini, tersimpan di Istana Bogor).

Wayang Dupara memiliki beberapa karakteristik, diantaranya sebagai berikut:

  1. Tatahan dan sunggingan sederhana, meski ada beberapa pula yang berwanda dan beranatomi baik.
  2. Menggunakan pakaiannya “Ndupara” atau aneh, karena biarpun yang diceritakan adalah babad Mataram, namun pakaian-pakaian yang dipergunakan sebagian masih mengacu wayang purwa dan gedog. Contohnya: figur Sultan Agung, Sultan Hadiwijaya dan para raja lainnya, masih memakai mahkota, bahkan ada yang memakai praba.
  3. semua tokohnya memakai bawahan yang sama, mirip jangkahan Daeng dalam wayang Gedhog, namun bermotif batik dan menyandang keris.
  4. Pakaian ala militer Eropa lengkap untuk mencerminkan tokoh-tokoh Belanda. Raut muka wayang seperti Raksasa atau Dasamuka. Ataupun berbaju Belanda, tapi bermahkota ala Dasamuka.
  5. Baju panjang untuk tokoh-tokoh sunan. Para pangeran memakai Songkok, Ratu Kidul dilukiskan serupa Srikandi bermahkota, sementara para ksatrianya memakai ikat kepala beraneka rupa, juga irah-irahan Tekes mirip wayang Gedhog dan Klitik, namun berbaju.
  6. 5.      Wayang Kulit Wahyu(±1963)

Wayang Wahyu memiliki bentuk peraga ­yang terbuat dari kulit, namun corak tatahan dan sung­gingannya agak naturalistik. Wayang ini mengambil lakon dari cerita Injil, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Bahasa pengantar yang digunakan yaitu bahasa Jawa. Di antara lakonnya, antara lain adalah Samson Ian Delilah, dan David Ian Goliat.

Pementasan Wayang wahyu hampir serupa dengan Wayang Kulit Purwa, diiringi oleh pesinden dan seperangkat gamelan, kelir dan gedebog. Para dalangnya pun pada umumnya juga merangkap sebagai dalang Wayang Kulit Purwa.

Wayang Wahyu sangat terbatas pada lingkungan masyarakat beragama Katolik yang berasal dari sukuJawa. Sedangkan hanya sedikit orang Jawa yang memiliki minat atau ketertarikan tinggi terhadap wayang. Hal inilah yang membuat Wayang Wahyu praktis tidak berkembang.

Beberapa keterangan menyebutkan bahwa wayang ini dipentaskan dengan iringan gamelan laras pelog. Namun kenyataannya, tak seperti wayang Purwa dan Gedhog, wayang ini tidaklah bertahan lama, karena terburu masuknya zaman perjuangan, dan sepeninggal Pakubuwana X lambat laun kehidupan pewayangan makin memudar, sejalan dengan pudarnya kerajaan Surakarta. Kini wayang-wayang itu tersimpan di museum Radyapustaka. Perlu diketahui, wayang ini sedang dalam proses identifikasi dan pengungkapan jati diri kembali.

  1. 6.      Wayang Kulit Suluh (±1947)          

            Suluh berarti obor (fakkel), dilah atau api penerangan. Wayang ini dipergunakan sebagai penerangan perjuangan kemerdekaan oleh media Pemerintah, sehingga dinamakan wayang suluh. Wayang ini secara penampilan memang menirukan orang sesuai dengan jabatannya. Seperti orang yang memakai seragam lurah, Camat, Kapten dan seterusnya. Jadi bisa disamakan juga dengann “sandiwara boneka” ditambah dengan orang tentunya.

Wayang ini tergolong wayang modern dan ceritanya bukan dari “pakem” seperti apa yang terjadi pada wayang kulit, melainkan karangan dari kejadian hangat atau aktual pada masa itu, seperti pemilihan Lurah, Perdana Menteri Sutan Syahrir dan lain-lain. Wayang ini dibuat oleh Soekemi dari Madiun.

  1. 7.      Wayang Kulit Kancil (±1925)

 

 
   

 

 

 

 

 

 

 

 

Wayang kancil untuk anak-anak

Sumber: Ir. Sri Mulyono dalam buku “wayang, asal usul dan masa depannya”

 1975, hal. 122

Wayang Kancil, termasuk wayang modern, yang diciptakan pada tahun 1925 oleh seorang keturunan Cina bernama Bo Liem.Wayang yang terbuat dari kulit ini, menggunakan tokoh peraga binatang, dibuat dan disungging oleh Lie To Hien. Cerita untuk lakon-lakon para Wayang Kancil diambil dari Kitab Serat Kancil Kridamartana karangan Raden Panji Natarata.Wayang Kancil masih tergolog salah satu jenis wayang yang tidak berkembang, meskipun seorang seniman, seperti Iedjar Subroto tetap berusaha mempopulerkannya.

  1. 8.      Wayang Kulit Calonarang

Wayang kulit yang satu ini jelas berbeda dengan wayang kulit lain seperti wayang kulit purwa dan lainnya. Wayang kulit ini tidak mengambil lakon Parwa atau Ramayana. Wayang kulit ini agak khusus sifatnya. Khusus dalam arti pengambilan tema ceritanya maupun khusus dalam bentuk wayangnya. Diantara wayang khusus ini adalah wayang kulit Calonarang.

            Pertunjukan Wayang Calonarang biasa dibawakan dalam bentuk Drama Tari, seperti drama tari Parwa dan wayang wong yang dilakukan oleh orang, jadi bukanlah wayang kulit. Tema cerita drama tari Calonarang ini bisa dibawakan dalam bentuk pertunjukan wayang kulit dengan bentuk wayang tertentu guna menggambarkan suatu karakter tokoh tertentu pula. Bentuk-bentuk dari wayangnya sebagian terbesar menggambarkan bentuk-bentuk lucu dan menakutkan. Sehingga kurang memperhatikan keharmonisan bentuknya, yang penting dapat menggambarkan suatu watak sehubungan dengan penonjolan sifat-sifat black magic atau ilmu hitam. Hanya sebagian kecil wayang yang berbentuk  baik dan harmonis seperti wayang yang umumnya sudah biasa kita kenal seperti raja-raja, patih-patih dan juga beberapa wayang perempuan. Selainnya sebagai besar bentunya lucu dan aneh.

Waktu pementasan Wayang Calonarang dilakukan pada malam hari, sama dengan pementasan wayang kulit umumnya. Bahkan pementasan wayang kulit Calonarang ini disamping memerlukan banten peras wayang dan peras gamelan umum, juga diperlukan sebuah bebanten khusus karena nanti dalam klimak pertunjukan wayang ini akan terjadi peristiwa – peristiwa liyak sehingga suasana pertunjukan benar-benar menjadi serem dan menakutkan : Karena sifat khusus inilah diperlukan satu unit banten untuk keselamatan bersama.

      Dalam kesenian wayang ini, kita mengenal istilah “Nyacah Parwa” yang merupakan istilah umum untuk menyebutkan suatu fase dimana ki dalang mulai menggerakkan kayonan setelah menguraikan lakon apa yang akan dijalankan waktu itu. Pada umumnya “Nyacah parwa” itu dapat  bagi menjadi 3 bagian besar.

  1. Diceritakan kejadian dunia dengan segala isinya. Termasuk disini diceritakan sang kawi yang berjasa menyusun cerita suci pewayangan yang dapat dijadikan sebagai suri teladan oleh umat manusia.

 2. Mohon ijin pada Sang Kawi untuk diperkenankan mementaskan sebagian dari hasil kawinya itu untuk dijadikan suluh hidup didunia ini. 

3. Selanjutnya diceritakan beberapa tokoh wayang dalam cerita itu yang akan memegang peranan dalam cerita selanjutnya.

Dalam “ngacah parwa” Wayang Calonarang, seorang dalang menggambarkan kepada penonton lakon apa yang akan dibawakannya nanti. Sehingga dari ucapan-ucapan tersebut, penonton sudah dapat membayangkan bagaimana alur pewayangan yang akan diceritakan nanti jika benar-benar memerhatikan dalang. Berikut ini adalah petikkan sebagian dari ucapan-ucapan “penyacah-parwa”, 

Dadia ta pira pinten gati punang lawas ikang kala, mijil gatin nira Sang Hyang Ringgit yana molah cara; pinuduh hira Sang Hyang Adi Parama Kawi Swara murti. Mijil polah hira Sanhyang Sunyantala. angalangkara sira ta amunggel pnang tatwa caritera ……….

Kemudian dilanjutkan dengan beberapa ucapan menggunakan bahasa kawi yang menerangkan tentang tokoh siapa yang akan digunakan oleh dalang tergantung pada cerita yang akan dibawakan misalnya …………….Ceritanen riwijil pun Rakrian patih Kertayadnya kang lama (Patih Prabu Erlangga) ……………

Dari sinilah tokoh wayang dikeluarkan sesuai dengan peran yang diinginkan. Dalam babak ini seorang dalang dituntut untuk kreatif dalam menyampaikan alur cerita secara komunikatif, karena disini kemampuan dalang akan benar-benar dinilai oleh penonton, terutama dalam bidang :

 Penguasaan bahasa kawi

  1. Kejelasan ucapan
  2. Kemampuan dalang dalam mensket cerita sehingga penonton dapat gambaran umum.

Ilustrasi oleh dalang dalam babak l “nyacah parwa” inilah yang akan membantu membangunpersepsi penonton terhadap penampilan-penampilan tokoh pertunjukan secara keseluruhan. Biasanya dalam pertunjukan wayang Calonarang ini letak dari pada inti keseluruhannya justru terdapatsaat pertengahan pertunjukan. Yaitu saat hari sudah benar-benar larut malam lewat jam 24.00.

            Suasana malam yang larut itu membantu membangkitkan suasana mencekam bagi jalan pertunjukan itu. Pada waktu klimaks pertunjukan,dalang sudah selesai menyampaikan pokok cerita. Sehingga sekarang yang akan ditonjolkan oleh dalang ialah merajalelanya kekuatan ilmu hitam dari pada Rangdengdirah atau Calonarang menghancurkan rakyat. Disini akan dikeluarkan wayang-wayang pemurtian seperti Rangda, dan bermacam-macam wayang yang serem rupanya. Untuk menghadapi kesaktian Rangdengdirah itu akan dikeluarkan sebuah tokoh wayang yang biasa dikeramatkan oleh dalang dan berfungsi sebagai dukun sakti yang akan membasmi dan memusnahkan ilmu hitamnya si Calonarang. Suasana serem itu akan bertambah hebat lagi setelah dalang “ngatag” yaitu memanggil semua orang-orang yang punya ilmu hitam atau liyak yang berada ditempat itu.

Beberapa dalang Wayang Kulit Calonarang menjadikan bagian ngundang-ngundang liyak ini sebagai salah satu elemen pertunjukan yang sangat ditonjolkan sekaligus sebagai daya tarik. Pada bagian ini si dalang secara terbuka dan terang-terangan menyebutkan “identitas” orang-orang yang mempunyai dan mempraktikkan ilmu hitam, tempat di mana yang bersangkutan memperoleh kesaktian tersebut, tingkat kemampuan orang tersebut, kadang-kadang dengan menyebutkan harga dari sabuk pengeliyakan yang dimiliki seseorang. Gelombang pasangnya popularitas pertunjukan Calonarang dengan pameran ilmu kakebalannya mengingatkan kita akan gelombang pasang popularitas kesenian Janger di Bali, dengan berbagai provokasi politiknya pada pertengahan tahun.

Bahkan kadang-kadang tokoh wayang berperan sebagai dukun sakti itu akan dapat menangkap seorang leyak dan sekaligus akan menyebut nama siapa yang ngeleyak itu. Kadang-kadang juga akan terjadi dialog antara penonton dengan tokoh balian saktinya dalang yang minta balian sakti itu mau nyebutkan nama leyak yang ditangkapnya.

            Selanjutnya nama-nama yang disebutkan oleh tokoh balian sakti itu ialah nama-nama daripada orang yang mempunyai ilmu hitam atau bisa ngeleyak dimasyarakatnya. Untuk melakukan hal-hal seperti itu, dalang harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut: 

  1. Dalang harus sungguh-sungguh dapat mempertanggung jawabkan kebenaran formil-relegius terhadap orang-orang yang disebut bisa ngeleyak itu. Jadi dalang tak boleh ngawur atau membuat-buat karena bisa dianggap fitnah.
  2. Dalang harus sanggup menghadapi segala akibatnya khususnya akibat gaib yang akan menimpa diri dalang seandainya orang yang disebut bisa ngeleyak itu berani bertanding dengan kidang dalam bidang ilmu hitam. Bahkan dalang mampus ditempat, kalau pertahanan dirinya lebih rendah daripada leyak yang kebetulan “dalang” atau ditantangnya atau disebutkan namanya melalui balian saktinya itu.

 Dalam hal dalang belum atau tidak mempunyai persyaratan tersebut dia tidak akan berani berbuat melebihi kemampuannya karena akan berat sekali akibatnya. Maka itu terhadap dalang wayang Calonarang harus memiliki kemampuan khusus; menolak kekuatan ilmu hitam disamping persyaratan terhadap dalang pada umumnya harus dimuliki juga. Ini kira-kira juga merupakan salah satu sebab mengapa dalang Calonarang ini sangat terbatas adanya.

            Sampai saat ini yang benar-benar berani aktif dan benar-benar sanggup melaksanakan keseluruhan kewajiban dalang Calonarang sampai “ngatag” dan “ngadanin” leyak hanya dalang Mandra dari Sibang Gede Kabupaten Badung. Rupanya unsur warisan juga merupakan syarat dominan dalam kemampuan khusus daripada dalang wayang Calonarang ini. Dimana dalang Mandra ini adalah anak dari dalang Retig yang sangat terkenal itu. Dengan melalui saat-saat mengerikan itu, pertunjukan wayang Calonarang akan diakhiri dberangsur-angsur dari pada Rangdengdirah itu mati dengan semua murid-muridnya yang langsung diambil kisahnya pada kehidupan masyarakat ini. Terakhir kejahatan yang berwujud penggunaan ilmu hitam akan dapat dibasmi dengan menggunakan ilmu juga yaitu ilmu putih atau “Pengiwa” ilmu hitam akan dikalahkan oleh “penengen” ilmu putih.

Disini kelihatan besarnya peranan seorang pendeta sakti yang tekun mempelajari ilmu “pengiwa” ini dan terus mempelajari ilmu pemunahnya atau penghancurannya sekali, disebut penengah yaitu Empu Bradah. Karena pertunjukan wayang Calonarang ini memerlukan suasana rame dan meriah maka untuk suasana pertunjukan wayang kulit ini sangat tepat pengiring yang dipakainya yaitu batel wayang lengkap. Dimana instrumennya terdiri dari antara lain : 

  1. Gender, 4 buah
  2. Kendang satu pasang (lanang wadon)
  3. Kempluk sebuah
  4. Cengceng satu setel
  5. Kempur satu buah
  6. Suling seperlunya dll.

            Gamelan batel gendel ini sangat baik untuk membantu membentuk bermacam-macam suasana yang diperlukan, terutama membuat suasana ngeri dikuburan waktu para leyak merubah rupa dikuburan atau tempat angker lainnya.

 Lakon Yang Diambil

            Lakonnya khusus sesuai dengan sifat wayang ini adalah diambil dari sumber pokok ialah peperangan antara Prabu Erlangga melawan Ni Calonarang dengan para siswanya. Dan berakhir dengan kekalahan dibalik pemilik ilmu hitam dan kemenangan berada dibalik Prabu Erlangga dengan bantuan Pendeta Sakti Empu Bradah. Disamping ini muncul lakon-lakon penyalonarangan lain merupakan pariasi dari pada ceritera induk ini. Bahkan dari babad Calonarang yang berpokok pada Prabu Erlangga dengan Randengdirah ini banyak terdapat versi-versi yang merupakan ranting-ranting dari pokok ini.

            Rupanya pengambilan lakon Calonarang, kebiasaan yang berlaku dalam Etik pedalangan umum di Bali berlaku juga pada wayang Calonarang. Yaitu versi-versi tertentu berkembang dengan suburnya yang merupakan kebebasan dari pada dalang untuk mengubah pokok ceritera: “Kawi dalang” dengan sendirinya harus terikat dengan “bantang cerita” atau pokok-pokok yang pasti dari pada ceritera induknya.Beberapa baris ungkapan calonarang mungkin perlu dcantumkan untuk menggambarkan betapa sebenarnya angker ceritera ini.

            Nihan babad Calonarang, sangkaning jakti ini Calonarang, saking panugrahan Ida Betari Durgha, kalugrahanirangdengdirah, majaran betara Brahma, katonton antuk Betara “Mrajapati, semalih ketapak antuk betara Wisnu, ika sane ngeranayang sakti Ni Rangdengdirah weh sira mangeleyak kala irika sira adruwe pranakan 8 diri, prasama wruh ngeleyak, sami luwih sakti, wruh mengrangsukin manusa Luwiring pranakan 1 Ni Guwang, 2 Misa Wadan da, 3 Ni Larung, 4 Niwaksisa, 5 Ni lenda, 6 Ni Lendi, 7 Ni Lendhya, 8 Ni Gandhya.

            Kemudian, uraian pokok cerita babad Calonarang sebagai berikut : Tersebutlah Putri Daha bernama Diyah Banuwati yang diusir dari rumah suaminya karena dituduh sakti, dimana suaminya kedapatan wafat ditempat tidur bersama Diyah Banuwati dan selanjutnya bertempat tinggal disebuah alas angker bernama Alas Tanjung Pura. Di dalam alas angker ini mendapat anugrah dari Betari Durga dimana memang orang yang berhal seperti inilah justru akan berhasil menjadi pengikut ilmu hitam terbaik. Bersama ini kami petik dialog antara Diyah Bannowati dengan Dewi Durgha ………

Twi nanak ta pwa wruh, mangke kadiangapa arepsira, Sri bunya twi guru ning leyak, wenang nanak humangguh ring anggane Sri bunira, mangkana lingniya.

            Singgih pukulun hyang Giri Pati, tumulung sih paduka betari anugraha, didi newruh ranak betari angliyak mawisesa, muah adesti, angleyak, anrang-jana kalih anyetik muah angracun amatteni manusa kabeh.Uduh nanak Ni Dyah Banuwati, Sri bunya kreta lugraha, wenang nanak amejah saluwiring mabayu, mesabda idep tan alah dening guna sakti tan alah dening butha kala dengen muah tan alah dening butha pisacuwil.

            Jadi secara resmi sudah mendapat anugrah dari Betari Durgha. Mulai saat itu namanya diganti dengan Ni Calonarang (Ca-carita; lo – luwih; ra –pingit/rahasia) atau bergelar Rangdengdirah atau Campurtalo. Sedangkan disamping sisyanya sebanyak 8 orang ni Ni Calonarang juga punya putrid atas “ngustungkara” betara Brahma bernama Ratnamangali. Putri inilah setelah diperistri Prabu Erlangga ternyata juga sakti dan diusir oleh Prabu Erlangga sehingga mulailah perang antara Prabu Erlangga dengan Randengdirah dengan dibantu oleh pandita sakti yang dapat mengalahkan Calonarang dengan mengambil pustaka pemberian Betari Durgha “Niscayalingga” dan mengalahkan ilmu hitam dengan ilmu juga. Sehingga akhirnya Calonarang sebagai pusat ilmu hitam dikalahkan atas bantuan kesaktian Empu Bradah. Ada juga lontar babad Calonarang mengatakan Ratnamanggali belum menjadi istri Prabu Erlangga setelah pulang dari berburu kehutan tempat Ratnamanggali berada dapat penerangan bahwa Ratnamanggali itu adalah juga akan sakti bisa nyeleyak seperti ibunya Calonarang. Mendengar ini diurungkan maksudnya sehingga hubungan Prabu Erlangga tak baik dengan Rangdengdirah dan menjadi sebab perang tetapi bagaimanapun pariasinya tetapi pokoknya tetap ialah ilmu hitam dapat dikalahkan dengan mempelajarinya dan terus memikirkan ilmu penolak dan pemunahnya.

            Bukan dengan kekerasan saja bahkan sebagian terbesar penghancuran kesaktian Ni Calonarang sebagai ilmu hitam dikalahkan dengan ilmu juga.

 Fungsinya Dalam Masyarakat

            Berbeda halnya dengan wayang kulit yang pada umumnya benar-benar mempunyai fungsi hiburan segar. Wayang Calonarang disini, tidak mempunyai fungsi penunjang sesuatu yadnya. Sehingga lebih menonjol peranannya dalam memberikan hiburan pada nasyarakat. Sekaligus sebagai hiburan dapat berperanan dalam beberapa segi antara lain : 

  1. Pendidikan yaitu dapat membantu Pemerintah dan masyarakat dalam memberikan pendidikan dan pengetahuan pada penonton akan beberapa pengetahuan paedagogis.
  2. Merupakan alat koreksi khusus terhadap kejelekan ilmu hitam itu dan sama sekali tidak ada gunanya untuk masyarakat. Kalau penggunaanya untuk destructive saja.
  3. Memberikan kesadaran bathin bahwa sesuatu ilmu itu bermata dua. a) Kalau salah penggunaan dapat menghancurkan dunia. b) Kalau tepat penggunaannya dapat berguna bagi umat manusia.
  4. Hanya kadang-kadang saja, pernah juga seseorang ngupahnya untuk bebali anak yang menghadapi upacara 3 bulan. Sesuai dengan permintaan sang manumadi (reincarnatie).

            Kejadian ini hanya kadang-kadang saja terdapat, maka itu  sebutkan sebagai sesuatu yang agak istimewa. Kalau sampai terjadi dipakai untuk bebali sesuatu yadnya. Tetapi halnya yang penting harus kita ingat ialah sekalipun bukan untuk penunjang yadnya, pementasan wayang ini benar-benar diliputi suasana angker dan keramat sehingga memerlukan bebanten tertentu.


 

  1. 9.      Wayang Kulit Krucil(1584)

Wayang Krucilsering dianggap sama dengan Wayang Klitik. Anggapan itu disebabkan karena Wayang Krucil juga terbuat dari kayu pipih. Yang berbeda benar adalah induk cerita yang diambil untuk lakon-lakonnya. Wayang Krucil mengambil lakon dari cerita Damarwulan, bukan dari Ramayana atau Mahabarata. Namun, sumber lain mengatakan bahwa wayang krucil mengambil lakon dari Ramayana atau Mahabharata yang dilakukan pada siang hari. Terlepas dari kebenaran ceritanya, baik Wayang Krucil maupun Wayang Klitik, saat ini sudah hampir punah.

  1. 10.  Wayang Ajen (1998)

 

http://www.wayangajen.com

Dalam blog wayang nusantara Indonesia, (Indonesian Shadow Puppets) wayang ajen dijelaskan sebagai berikut. Istilah Ajen diambil dari Bahasa Sunda yang artinya ngajenan. Ngajenan artinya menghargai atau sesuatu yang diberikan penghormatan atau penghargaan. Wayang Ajen lahir dari proses kesadaran generasi muda pada wayang golek Sunda tradisi yang asli dengan eksplorasi kreatif. Wayang Ajen diciptakan oleh Wawan Gunawan bersama Arthur S. Nalan pada tahun 1998, dan pertamakali dipentaskan lakon ”Kidung Kurusetra” pada tahun 1999 dalam acara Pekan Wayang Indonesia di TMII Jakarta.

Dalam blog ini dijelaskan secara filosofis dasar pemikiran Wayang Ajen yang di dasarkan dari adanya proses dialogis generasi muda pewaris aktif kesenian tradisional yang saling menghargai. Generasi muda yang memiliki ajen seni tertentu pada tradisi, di mana tradisi dipandang sebagai suatu yang dinamis tidak statis, dan tradisi adalah sumber inspirasi. Wayang Ajen bertujuan memberi alternatif pertunjukan wayang terutama untuk apresiasi bagi generasi muda sebagai tempat bercermin (ngaji rasa dan ngaji diri) sehingga akhirnya diharapkan adanya “pencerahan” dan perenungan tentang apa, siapa, dan mau apa hidup di dunia ini.

Wayang Ajen lebih menitik beratkan pada pilihan cerita berdasarkan sebuah naskah lakon tertulis yang bersumber dari Wiracarita Mahabrata atau Ramayana. Tetapi, naskah ini dikemas agar muatan pesan moral yang akan disampaikan, lebih aktual dan kontekstual. Wayang Ajen ini biasanya tergolong pergelaran eksperimen kreatif wayang golek Sunda. Namun beberapa sumber menggolongkan wayang ini dalam wayang kulit yang digarap secara akademis, dengan memanfaatkan kolaborasi dengan berbagai media seni yang saling Ngajenan atau menghargai dan saling melengkapi.

  1. 11.  Wayang Sasak (±1996)

Wayang Sasak yakni jenis wayang yang tumbuh dan berkembang di daerah Sasak (Lombok, Nusa Tenggara Barat). Kisah yang dipergelarkan yakni tentang perjalanan tokoh utama Amir Hamzah; dan boneka-boneka wayang terbuat dari kulit kerbau.

Dalam artikel Babad Bali, Wayang Sasak dijelaskan sebagai perpaduan unsur-unsur seni budaya Bali dengan Sasak. Walaupun lakon yang dibawakan adalah cerita Islam, bahasa yang dipakai terdiri dari bahasa Kawi, Bali dan Sasak. Gamelan pengiringnya, seperti yang terlihat dalam Festival Wayang Walter Spies tahun 1996, adalah ensambel kecil yang terdiri dari:

  1. sebuah suling
  2. sebuah pleret
  3. sepasang kendang
  4. sebuah kempul
  5. tawa-tawa
  6. cengceng kecil

Namun, dalam harian Kompas, dikatakan wayang sasak dewasa ini semakin memprihatinkan. Pertunjukan wayang tidak lagi sering digelar. Selain karena berkurangnya jumlah dalang, tidak adanya perhatian pemerintah, tidak ada sekolah seni pewayangan, dan tidak adanya persiapan regenerasi, menyebabkan wayang sasak yang pernah berjaya akan punah dengan pelan dan pasti.

Mengutip berita dari Kompas, disitu dimuat pernyataan kesediahan dari salah satu dalang  HL Nasib AR atau yang akrab disapa Mamiq Nasip, dalang paling populer Pulau Lombok, tempat suku sasak hidup. Usianya kini sudah menginjak 63 tahun, tapi semangat berkeseniannya selalu membuncah. Ia sedih saat Wayang Sasak yang secara historis sebagai media penyebar Islam waktu dulu, kini seakan tidak banyak diperhatikan.

“Di Jawa anak-anak mudanya mengenal wayang lewat banyak media, pada nama jalan, nama kereta api, nama kaos, dan lain sebagainya. Kita disini lain, anak-anak muda mengenal wayang hanya kalau mereka menonton pertunjukan wayang,” katanya.

Wayang sasak menjadi entitas penting perkembangan kebudayaan Sasak-Lombok kala dulu. Cerita Wayang Sasak diambil dari hikayat Amir Hamzah yang kemudian disadur ulang oleh Yosodipuro2 ke dalam bahasa kawi pada zaman kerajaam Mataram Islam. Seiring berjalannya waktu, karya agung tersebut mendapat penambahan dari beberapa pujangga sasak yang yang disebut Srat Menak.

Pengambilan pakem cerita dari hikayat tersebut menjadi penegas keberadaan wayang sasak sebagai media dakwah Islamiyah, berbeda dengan Wayang Jawa yang berisi kisah perang Mahabarata atau Wayang Bali tentang upacara keagamaan. Tokoh-tokoh didalamnya seperti Jayang Rana, Umar Maya, Maktal, Selandir, Taptanus dan lain sebagainya, sebagai bukti adanya akulturasi karya Amir Hamzah dengan penulis Sasak yang bernilai khas.

  1. 12.  Wayang Sadat (1970)

Darmoko mendefinisikan wayang sadat dalam artikelnya yang berjudul “Wayang dan Negara: Sebuah Tinjauan Simbolik Ideologi-Politik” sebagai jenis wayang yang tumbuh dan berkembang di Jawa Tengah, disajikan dengan maksud untuk menyebarkan agama Islam. “Sadat” berarti sahadat, suatu kesaksian seseorang untuk masuk agama Islam. Wayang ini mempergelarkan kisah perjuangan para wali dalam berdakwah di Jawa (Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati, Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Maulana Malik Ibrahim) dan bonekaboneka wayang terbuat dari kulit kerbau.

Wayang Sadat ini dapat dipentaskan siang hari maupun malam hari. Kesenian ini dimainkan oleh seorang Dalang dengan diiringi gamelan lengkap Slendro dan Pelog;
Keistimewaan :

  1. Teknik pakeliran bersifat kontemporer menurut jalan ceritanya;
  2. Jejer pertama tidak harus / mesti / kraton;
  3. Untuk kayon (gunungan) sebelah kanan gunungan didampingi pohon beringin dan gunungan sebelah   kirinya didampingi pohon kelapa;
  4. Warna kelir kuning, bingkai hijau dengan ukuran ± 3,5 m lebar ± 2 m.

Lama pementasan menurut kebutuhan, dialog percakapan dengan bahasa Jawa. Timbulnya kesenian ini sejak tahun 1970 sampai sekarang kesenian ini terpelihara dengan baik di Desa Mireng, Kecamatan Trucuk.

Namun, seperti yang dikatakan oleh Herat Jemen (seorang pemerhati kesenian tradisional yang tinggal di Yogyakarta) dalam suara merdeka, Wayang sadat masa kini seperti tenggelam dalam hiruk pikuk budaya manca, bahkan ketika pergelaran wayang kulit masih eksis di sejumlah daerah. Sejauh ini di Kabupaten Klaten cuma tersisa seorang dalang wayang sadat, yaitu Ki Suryadi.

 

Sumber:http://www.suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=44523

  1. 13.  Wayang Parwa

Wayang kulit Parwa ini berbeda dengan wayang kulit purwa ataupun yang lainnya. Dari segi sumber cerita, wayang ini sering membawakan lakon-lakon yang bersumber dari Wiracarita Mahabrata. Wayang ini juga dikenal sebagai Astha Dasa Parwa. Wayang Parwa ini menurut cerita, adalah pertunjukan wayang paling terkenal di seluruh Pulau Dewata atau Bali. Biasanya, Wayang Parwa ini dipentaskan pada malam hari, namun juga tidak  menutup kemungkinan untuk mengadakannya pada siang hari. Seperti pada jenis ini, wayang upacara atau Wayang sakral yaitu Wayang Sapuh Leger dan Wayang Sudamala. Pertunjukan diselenggarakan sesui dengan waktu upacara keseluruhan. Ada asesoris khusus sebagai pelengkap yang harus ada dalam tiap pertunjukan wayang purwa yaitu kelir dan lampu blencong dan dengan iringan gamelan Gender Wayang.

Karena banyak sekali peminat wayang ini, lakonnyapunmendapat ratingpaling tinggi diantara wayang kulit lain. Selain karena kemasyhurannya, wayang parwa juga memiliki manajemen yang bagus.Biasanya, dalang mengambil lakon dari cerita Bharata Yudha atau bagian lain dari Mahabarata. Wayang Parwa memiliki dua fungsi kenapa ia  dipentaskan, pertama sebagai pelengkap berbagai jenis upacara adat dan agama. Kedua,  wayang ini teta pada fungsi awal yaitu sebagai hiburan yang bersifat sekuler. Berikut ini nama-nama lakon-lakon kisah perang Bharatayudha yang umum dipakai:

  1. Gugurnya Drona
  2. Gugurnya Salya
  3. Gugurnya Jayadrata
  4. Gugurnya Bisma
  5. Gugurnya Abhimanyu / Abimanyu
  6. Gugurnya Karna
  1. Sebelum Bharatayudha, wayang kulit Parwa mwengambil tokoh-tokoh berikut:
  1. Kelahiran Gatotkaca
  2. Aswameda Yadnya
  3. Sayembara Drupadi
  4. Kresna Duta
  5. Sayembara Dewi Amba
  6. Pendawa – Korawa Berjudi
  7. Kematian Supala
  8. Pendawa – Korawa Aguru

 

Wayang ini biasanya memiliki tujuh orang pendukung, yang terbagi kedalam beberapa bagian dengan job desk masing-masing, diantaranya:

  1. 1dalang
  2. 2 pembantu dalang
  3. 4penabuh gender wayang (yang memainkan sepasang kantilan dan sepasang pemade)

Wayang Purwa ini memiliki durasi pementasan yang lebih panjang daripada Wayang lemah, yaitu berkisar antara 3 sampai 4 jam.

B. Wayang Orang (Wayang Wong)           

       Selain wayang kulit, Indonesia juga memiliki wayang Orang. Wayang orang atau wayang wong merupakan inovasi bentuk dari perkembangan wayang kulit. Atau bisa dikatakan sebagai wayang kulit yang dimainkan oleh orang.

Wayang orang adalah bentuk teater tradisional yang berasal dari Wayang Kulit yang dipertunjukan dalam bentuk berbeda: dimainkan oleh orang, lengkap dengan menari dan menyanyi, seperti pada umumnya teater tradisional. Lahirnya Wayang Orang, dapat diduga dari keinginan para seniman untuk keperluan pengembangan wujud bentuk Wayang Kulit yang dapat dimainkan oleh orang. Kita mengenal ada beberapa wayang orang asli Indonesia, diantaranya yaitu wayang gung Kalimantan, dan wayang topeng Kalimantan Selatan dan sebagainya.

 

Sumber: http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=376&lang=

 

Sumber: http://360pxwayang wong_bharata_pandhawa.com

 

  1. 1.      Wayang Gung (Kalimantan Selatan)

            Arsyad Indradidi mengatakan dalam artikelnya, Wayang gung diperkirakan di Tanah Banjar pada abad ke XVIII atau sekitar tahun 1760 M. Raja Banjar mempunyai hubungan erat dengan raja–raja di Pulau Jawa terutama Demak dan Mataram, sekitar abad ke XV. Karena hubungan inilah, kesenian dan kebudayaan Jawa masuk ke Kalimantan. Wayang ini termasuk wayang orang. Wayang Orang (Wayang Wong – Jawa) sangat berkenan di hati suku – suku Kalimantan khususnya masyarakat Banjar.

           Awalnya, kesenian wayang hanya berkembang di Keraton Banjar saja, namun lama kelamaan wayang ini menyebar ke luar keraton yaitu ke masyarakat Banjar secara meluas. Menyebarnya wayang orang ini karena masyarakat Banjar memandang Wayang sebagai lambang hidup dan kehidupan manusia. Wayang mempunyai unsur–unsur filosofis hidup dan kehidupan, memiliki bahasa simbol yang bersifat kerohanian. Apalagi  masyarakat umumnya adalah masyarakat Melayu Banjar yang beragama Islam. Jadi tak heran kesenian Wayang cepat berkembang di masyakarat Banjar ini.

           Menurut Arsyad, Wayang Gung merupakan kreativitas kreator “ Dalang Banjar “ dari adaptasi Wayang Wong. Wayang Gung pada akhirnya mempunyai ciri khas atau versi Banjar, mulai dari segi teknik garapan, gamelan, kostum, propertis, gerak igal (tari), bahasa pengantar dan struktur pergelaran, walapun masih ada idiom–idiom dari Wayang Wong (Jawa).

          Arsyad menerangkan ada lima fungsi dari wayang gung. Pertama, sebagai hiburan (peringatan hari–hari besar baik nasional maupun daerah, acara perkawinan dan paska panen padi). Kedua, fungsi Didaktis(media edukatif pada masyarakat Banjar). Ketiga, berfungsi Filosofis (ajaran-ajaran mistis dalam kehidupan manusia). Mistis ini bersifat filosofis yakni berhubungan keduniaan (lahiriah) dan mental spritual (batiniah). Orang menyaksikan pertunjukan Lakon Wayang Gung sebagai refleksi diri. Keempat, Nazar (permintaan seseorang atas terkabulnya maksud atau rencana seseorang itu). Nazar ini harus dipenuhi, menurut kepercayaan masyakarat Banjar kalau tidak dipenuhi akan terjadi malapetaka bagi penazarnya. Kelima, fungsi ritual (magis) yaitu mengusir bencana dan penyakit.

             Lanjut Arsyad mengatakan, dalam pementasan, Wayang Gung mempunyai bentuk empat struktur babakan yang merupakan inti struktur alur. Pertama, Mamucukani. Yaitu babakan tuturan permulaan kisah dalam bentuk sindin dan dialog. Ada tiga dalang yang terdiri dari Dalang Sejati, Dalang Pangambar dan Dalang Utusan. Fungsi Dalang Pangambar dan Dalang Utusan adalah melengkapi tutur dari Dalang Sejati. Kedua, Sidang Jajar. Adalah babakan sidang Kerajaan dari para satria kerajaan membahas suatu peristiwa yang berhubungan dengan masalah – masalah yang dihadapi kerajaan tersebut. Ketiga, Konflik (perang atau pertempuran antara tokoh baik dengan tokoh jahat). Keempat, Bapacah (antiklimak dari konflik). Biasanya dalam Wayang Gung selalu disajikan dengan kemenangan dipihak kebaikan.

          Umumnya, wayang ini mengangkat cerita dari epos Ramayana tetapi ada juga menyajikan seperti tarian daerah atau dialog–dialog yang bersifat humor, dan memasukkan unsur pesan–pesan lain yang bersifat carangan yang disesuaikan dengan suasana penonton. Pelakon dari Wayang Gung merupakan pelakon khusus yang profesional, artinya setiap tokoh dilakonkan oleh pelakon tertentu. Misalnya tokoh Hanoman dilakonkan oleh seseorang yang benar–benar menggeluti dan menghayati perilaku atau karakter tokoh Hanoman.

            Wayang gung Banjar Kalimantan Selatan ini sudah berumur dua abad. Dan sepertinya, dewasa ini wayang gung memiliki nasib yang  tak jauh berbeda dengan Wayang Kulit Banjar yang kian hari kian dilupakan orang, pada gilirannya tak mustahil akan musnah ditelan zaman. Namun,  dengan usia yang panjang ini Wayang Gung telah memperkaya khasanah seni tradisional di Kalimantan khususnya masyarakat Banjar Kalimantan Selatan. Maka Wayang Gung perlu diwariskan dengan generasi masa kini agar mereka tidak terserabut dari akar budaya nenek moyangnya.

  1. C.    Wayang Suket dan Wayang Boneka

         Wayang suket dan wayang boneka merupakan wayang khas Indonesia. Kata “suket” dalam bahasa Jawa berarti rumput. Wayang ini memiliki banyak macam, diantaranya:

  1. Wayang Timplong                  
  2. Wayang Potehi
  3. Wayang Gambuh
  4. Wayang Cupak

 

Contoh Wayang Suket

Sumber: Ir. Sri Mulyono dalam buku “wayang, asal usul dan masa depannya”

1975

1.      Wayang timplong

            Wayang Timplong ini berasal dari daerah Jawa Timur, tepatnya daerah Nganjuk. Masyarakat Nganjuk waktu itumemanfaatkan pohon pinus maupun mentaos untuk menciptakan buah karya agung wayang timplong yang masih tergolong wayang suket ini. Sebenarnya ada juga yang membuatnya dari kayu. Sejak tahun 1910 kesenian tradisional inidiceritakan mulai ada tepatnya dari Dusun Kedung Bajul Desa Jetis, Kecamatan Pace, provinsi Jawa Timur. Kesederhanaan wayang ini bukan hanya karena terbuat dari pinus, kita juga dapat melihat kesederhanaan itu pada instrumen gamelan yang digunakan sebagai musik pengiring.Menurut sumber sejarah, gamelan asesoris wayang timplong ini hanya terdiri dari Gambang yang terbuat dari kayu atau bambu, ketuk kenong, kempul dan kendang.

2.      Wayang Potehi

            Wayang potehi ini berbeda dengan wayang timplong. Dari segi jenis wayangnya, wayang potehi adalah wayang boneka yang terbuat dari kain. Karena wayang boneka, teknis yang digunakan wayang ketika berceritapun berbeda. Seperti pertunjukan wayang yang sering kita lihat di layar televisi, pertunjukan wayang boneka dimainkan oleh dalang dengan teknis memasukkan tangan mereka ke dalam kain yang menjadi baju dari wayang tersebut. Kemudian dalangpun memainkannya seperti layaknya wayang jenis lain.

            Wayang ini tergolong wayang yang sudah tua, karena sejarah mengatakan bahwa wayang ini diperkirakan sudah berumur lebih dari 3.000 tahun dan berasal dari China. Akan tetapi,  jejak awal wayang potehi yang tercatat adalah yang dari abad 17. Wayang ini memang berasal dari China tepatnya berasal dari provinsi Fujian, yaitu di Quanzhou, Zhangzhou. Selain di 2 daerah itu, banyak juga dimainkan di provinsi Guangdong, dan ditemukan juga di Chaoshan, Taiwan. Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi daerah sasaran perantauan etnis Tionghoa pada waktu itu.Mereka merantau dan meninggalkan bekas kesenian wayang ke berbagai wilayah Nusantara. Kesenian ini telah menjadi salah satu jenis kesenian tradisional Indonesia.

Beberapa ahli sejarah memperkirakan jenis kesenian ini sudah ada pada masa Dinasti Qin yakni pada abad ke 3-5 Masehi. Kemudian berkembang pada Dinasti Song di abad 10-13 M. Karena Wayang Potehi ini masuk ke Indonesia melalui orang-orang Tionghoa sekitar abad 16 sampai 19, maka wayang ini ternyata bukan hanya sekedar menjadi seni pertunjukan. Karena Wayang Potehi bagi keturunan Tionghoa memiliki fungsi sosial serta ritual yang tak jauh berbeda dengan wayang-wayang lain di Indonesia.

           Beberapa sumber mengatakan bahwa wayang potehi berkembang pesat di pesisir utara Pulau Jawa. Memang benar ketika kita melihatnya, pesisir utara Pulau Jawa menjadi daerah perkembangan komunitas Tionghoa yang jejaknya masih ada sampai sekarang. Logikanya, orang-orang perantauan pastinya melakukan interaksi pertama dengan mencari pelabuhan-pelabuhan untuk tempat bersandar kapal-kapal dagang mereka. Dimulai dari beberapa kota strategis pada masa lalu yaitu Serang, Cirebon, Tegal, Lasem, Pekalongan, Semarang, Welahan, Rembang, Pasuruan, dan Tuban, sampai sekarang masih banyak sekali penemuan-penemuan beberapa peninggalan sejarah dari masa itu, seperti kelenteng-kelenteng yang tersebar di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa.

            Wayang potehi memiliki bentuk yang unik-unik. Karena berasal dari China, bentuknyapun benar-benar khas bangsa China baik dari segi baju, maupun bentuk wajahnya. Kita bisa melihat bentuknya dari beberapa gambar yang sudah saya download berikut:

 

 

Sumber: http://baltyra.com/2009/03/15/wayang-potehi/

 

            Beberapa interaksi bangsa Tionghoa dengan penduduk asli berjalan dengan mulus. Hal ini dapat dilihat dari beberapa bentuk cara yang dipakai,  terutama dengan cara perkawinan, turun-temurun sampai dengan sekarang ini. Ada keunikan tersendiri pada wayang potehi ini, yaitu pada kelenteng-kelenteng di seluruh pesisir utara Pulau Jawa. Semua menyembah dewa atau dewi yang sama, terutama dewi, yaitu dewi yang berhubungan dengan laut. Kenapa laut?, mungkin karena menyesuaikan dengan mata pencaharian penduduk pesisir pantai dari dulu hingga sekarang, yaitu melaut untuk mencari ikan.

Pada masa keemasannya yaitu pada masa kemerdekaan Indonesia, Wayang potehi ini sering mewarnai pertunjukan-pertunjukan yang diadakan jika ada acara-acara khusus, termasuk acara-acara yang diselenggarakan penduduk asli setempat. Misalnya untuk hiburan pesta perkawinan, tahun baru, Imlek, dan sebagainya.

 

Foto: contoh Lakon Wayang Potehi

Sumber: http://baltyra.com/2009/03/15/wayang-potehi/

 

Semula lakon dalam wayang potehi hanya sederhana. Namun, waktu yang kemudian mengubahnya menjadi semakin banyak. Wayang potehi mulai melebarkan lakon yang dipentaskan ke arah yang lebih modern seperti Sun Go Kong, Legenda Kera Sakti. Selain itu, mereka juga semakin memperkaya bahasa dengan cara mulai mengasimilasi budaya setempat. Salah satunya dengan pengayaan bahasa setempat yaitu bahasa Jawa. Untuk alat musik pengiring utama, wayang potehi ini menggunakan keselarasan antara tambur, kendang, suling, kecer dan rebab. Karena kombinasi harmonis dari alat-alat musik ini melahirkan perasaan tersendiri di dalam hati.

            Konon, beberapa lakon wayang potehi ini ternyata ada yang telah diadopsi ke dalam cerita Indonesia, yaitu ke dalam lelakon ketoprak. Ketoprak adalah kesenian tradisional Indonesia yang sejenis wayang orang.Bentuk pengadopsian lakon dari ketoprak ini seperti Tokoh Sie Djin Kui diadopsi menjadi Joko Sudiro, atau tokoh Prabu Lisan Puro yang diambil dari tokoh Lie Sie Bin, salah satu cerita kuno dari China. Pementasan wayang potehi juga bercampur dengan selipan bahasa Jawa.

            Dewasa ini, wayang potehi memang tidak punah, namun seakan menyandang status hidup segan, mati tak mau. Menurut berbagai sumber, para dalang wayang potehi yang keturunan Tionghoa makin berkurang, makin ditinggalkan, tapi justru para dalang yang penduduk asli makin banyak. Masa kejayaan wayang potehi sudah berlalu.

3.      Wayang Gambuh

            Nah, satu lagi wayang nusantara yang berasal dari Bali, yaituWayang Gambuh. Wayang ini nerbeda dengan wayang Parwa yang populer. Wayang Gambuh tergolong salah satu jenis wayang Bali yang langka.  Ada beberapa faktor yang menjadi pemicu kenapa wayang ini bisa langka. Yang pasti, perkembangan wayang ini tak lagi seperti dulu. Pertama, karena banyaknya para pelopor awal wayang Gambuh yang tak lagi berdaya penuh karena faktor umur. Kedua, minimnya ghirah para pemuda untuk terlibat aktif dalam pewayangan. Dan, inilah yang menjadi alasan utama kelangkaan wayang ini. Bukan hanya wayang Gambuh, wayang-wayang lain yang sedang terpuruk dalam kelangkaan juga mendapati alasan seperti itu.

            Kita perlu mengetahui bagaimana sebenarnya wayang Gambuh ini. Wayang Gambuh merupakan salah satu pertunjukan wayang kulit yang secara khusus melakonkan cerita Malat (siklus Panji), seperti wayang panji yang ada di daerah Jawa.

            Sebuah artikel wayang Indonesia menyatakan bahwa sebenarnya, wayang ini merupakan bentuk transisi antara bentuk wayang Bali dengan bentuk wayang kulit Jawa (wayang Madya). Ia memiliki fungsi khusus sebagai pelengkap upacara dewa yajnya dan manusa yajnya. Iringan seperti dramatari Gambuh yaitu : suling besar 3 atau 4 buah, 2 buah kendang kecil, masing-masing 1 buah kajar, klenang, klenong, kemanak, kangsi, gentorag, dan 1 buah kempul.

            Sedangkan kapan jenis wayang ini lahir dan berkembang di Bali. Beberapa sumber-sumber tertulis yang menyinggung hal itu hampir tidak menyebutkan secara jelas. Sehingga, berbagai anggapan subyektif tanpa kejelasan universal terjadi disini. Kalau ada anggapan bahwa wayang gambuh bersamaan lahir dengan dramatari gambuh, maka dapat dikirakan wayang gambuh lahir sekitar abad XV (Bandem dkk, 1974:7).

            Sedang I Ketut Rinda, dalam penjelasannya mengatakan bahwa Wayang Kulit Gambuh yang ada di Bali berasal dari Blambangan (Jawa Timur). Pada zaman dahulu raja Mengwi berhasil menaklukkan raja Blambangan yang bernama Mas Sepuh dan Mas Sedah (dalem Tawang Ulun). Setelah ditaklukkan oleh raja Mengwi tahun 1634, wayang beserta dalangnya diboyong ke Bali, dan raja Mengwi kemudian bergelar I Gusti Agung Blambangan. Saat itu daerah Blahbatuh yang diperintah oleh I Gusti Ngurah Jelantik masih termasuk daerah kekuasaan raja Mengwi, sehingga raja Mengwi tidak keberatan memenuhi permohonan Ngurah Jelantik agar wayang beserta dalangnya yang bernama Arya Tega dikirim ke Blahbutuh bersama Mpu kekeran (pedanda Sakti Kekeran).

            Demikian dapat dikatakan bahwa Wayang Kulit Gambuh lahir dan berkembang di Blahbutuh dengan Arya Tega sebagai dalang pertama. Kini wayang Gambuh yang bersejarah masih sangat dikeramatkan di puri Blahbutuh. Selanjutnya, wayang gambuh ini menyebar ke Sukawati dan ke daerah Badung. Cokorde Gede Agung Sukawati dari Puri kaleran Sukawati meniru bentuk wayang Gambuh Blahbutuh itu yang kemudian wayang ini disimpan di Pura Penataran Agung Sukawati.

Seorang dalang I Ambul dari Sukawati mendapat pelajaran langsung dari I Gusti Tega (Arya Tega) yang asalnya dari Blambangan itu. Setelah dalang pertama Arya Tega meninggal, ia digantikan oleh putranya I Gusti kabor tahun 1905. Sebagai pengganti ayahnya, ia cukup terkenal mendalang wayang gambuh pada masa itu. Pada tahun 1908, kedudukan I kabor digantikan oleh putranya bernama I Gusti Nyoman Pering Tega menggantikan kedudukannya sebagai dalang wayang gambuh, karena I Gusti Putu Samprug meninggal dalam umur yang tidak begitu lanjut. Demikianlah sejak kira-kira tahun 1915 tidak ada lagi dalang wayang gambuh di Blahbutuh.

            Sekitar tahun 1943, pada masa kedudukan bala tentara Jepang, I Ketut Rinda, berusaha menghidupkan kembali Wayang Kulit Gambuh, namun tidak banyak membawa hasil. Tampaknya kaderisasi dalang Wayang Kulit Gambuh perlu ditumbuhkan lagi, maka I Ketut Rinda membina seniman dalang I Made Sidja dan I Wayan Narta untuk mengikuti jejaknya menjadi dalang wayang Gambuh, Sejauh ini hanya dalang I Wayan Narta yang sesekali mementaskannya, dan itupun sangat jarang sekali.

4.      Wayang Cupak

            Mari lebih memahami wayang satu ini, Wayang Cupak. Sama halnya dengan wayang Gambuh dan wayang Parwa,Wayang ini termasuk wayang asal Bali yang juga masih tergolong langka. Perbedaannya dari segi perlakonan, pertunjukan wayang ini lebih condong melakonkan cerita Cupak Grantang yang mengisahkan perjalanan hidup dari dua putra Bhatara Brahma yang memiliki perbedaan watak. Tak jauh beda dengan wayang Bali lainnya, namun untuk tokoh-tokoh utamanya, biasanya hanya terbatas padaMen Bekung dan suaminya Pan Bekung, Cupak dan Grantang, Raksasa Benaru, Prabu Gobagwesi, Galuh Daha, Prabu Gobagwesi dan lain sebagainya.

            Untuk struktural pertunjukan wayang itu sendiri sebenarnya masih tetap berpegang pada pola serta struktur pementasan wayang kulit tradisional Bali (wayang Parwa). Pementasan Wayang Cupak melibatkan sekurangnya 12 orang pemain yang terbagi menjadi:

  1. 1 dalang
  2. 2 pembantu dalang
  3. 9 penabuh gamelan batel gender wayang.

Di antara lakon-lakon yang biasa diperankan dalam pementasan wayang Cupak, adalah:

  1. Matinya Raksasa Benaru
  2. Cupak Dadi Ratu
  3. Cupak Nyuti Rupa (Cupak ke sorga)

            Ada yang khas dari pertunjukan wayang Cupak ini teman-teman. Kekhasan utamanya adalah pada seni vokalnya yang selalu memakai tembang-tembang macapat (ginada). Selain itu, wayang ini sangat menonjolkan penampilan tokoh-tokoh Bondres. Wayang Cupak ini sangat populer hanya di daerah Kabupaten Tabanan. Semoga keberadaannya lebih banyak dilirik masyarakat dan pemerintah, sehingga para pelaku atau penggiat wayang ini semakin bersemangat untuk berkarya dan mengembangkan kesenian wayang daerah Bali ini.

  1. D.    Wayang Kayu

            Setelah berbagai wayang kulit tercipta, para pecinta senipun berinovasi untuk terus mencipta. Sehingga lahirlah wayang kayu dengan berbagai variasi sesuai asal daerah wayang. Diantaranya wayang-wayang berikut ini:

         1.      Wayang Golek

         2.      Wayang Menak

         3.      Wayang Papak / Wayang Cepak

         4.      Wayang Klithik

  1. Wayang Golek

            Wayang Golek atau wayang kayu yang satu ini sepertinya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Namun, hanya beberapa dari kita yang tergerak untuk lebih jauh mengenalnya. Baiklah, untuk itu mari bersama mengenali khazanah kebudayaan Indonesia, wayang Golek ini. Wayang golek di Indonesia memiliki beberapa macam tipe, diantaranya ada wayang golek Sunda, dan wayang golek Menak.

Wayang Golek Sunda

Wayang Golek Sunda memiliki keunikan tersendiri. Wayang yang terbuat kayu ini dimodifikasi menjadi boneka dengan lakon cerita dari serial Ramayana dan Mahabarata. Konsep pertunjukan Wayang Golek Sunda tak pernah lepas dari iringan seperangkat gamelan, lengkap dengan pesindennya. Namun, Wayang Golek Sunda ini, tidak lagi menggunakanperlengkapan kelir (satir) sehingga penonton dapat leluasa menonton para tokoh pewayanganyang sedang diperankan oleh dalang, tidak lagi melihat bayangan­nya saja.

Kesenian wayang yang satu ini tersebar hampir di seluruh Jawa Barat.Selain Wayang Golek Purwa Sunda, masyarakat Jawa Barat juga mengenal Wayang Golek Pakuan yang menceritakan berbagai legenda dan sejarah Tanah Pasundan. Namun dalam buku ini, penulis hanya akan membahas wayang golek Sunda dan wayang golek Menak.

Wayang Golek Menak

Seperti halnya wayang golek lainnya. Jika diihat dari bentuknya dalam gambar, wayang golek menak juga memiliki kelucuan tersendiri dari segi bentuknya. Wayang golek menak yang juga disebut dengan wayang tengul, juga menggunakan peraga berbentuk boneka kecil  atau golek.

 

Sumber: http://heritageofjava.com/portal/article.php?story=20090310004240873

Menurut pewayangan Jawa, sebenarnya induk cerita wayang  ini adalah dari Kitab Menak,bukanlah diambil dari Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sedangkan setting cerita Menak adalah negeri Arab, pada masa perjuangan Nabi Muhammad SAW sebagai media penyebaran agama Islam. Peraga Wayang Golek Menak ini memakai pakaian yang mirip dengan Wayang Kulit Purwa, antara lain dengan memberinya jamang, kuluk, sumping,, dan sebagainya, ditambah dengan tubah dan sorban Arab. Beberapa sumber mengatakan bahwa wayang ini diciptakan oleh seorang dalang dari Baturetno, Surakarta, pada zaman pemerintahan Mangkunegoro VII, yaitu Ki Trunadipa.

  1. Wayang Papak / Wayang Cepak

            Wayang Kayu Papak merupakan seni pedalangan di daerah Cirebon. Wayang Kayu Papak sering disebut dengan Wayang Cepak, karena mempunyai kemiripan arti istilah “papak” dalam bahasa Sunda berarti “Cepak”. Ini membuktikan bahwa wayang Papak berkembang juga di Sunda. Dalam Wayang Papak menyampaikan cerita babad, legenda, mitos, riwayat para leluhur di Jawa Barat atau di Jawa pada umumnya. Cerita-cerita Panji dan Menak sering kali ditampilkan.

            Nah, untuk siapa dan kapan Wayang Golek Papak diciptakan, sama halnya dengan wayang gambuh, belum ada sumber yang menyebutkan dan mengakui secara pasti hal ini. Diperkirakan Wayang Golek Papak berkaitan dengan penyebaran Agama Islam oleh para Wali. Atas prakarsa Sunan Gunung Jati, Wali Sanga menciptakan beberapa jenis kesenian dan dipimpin oleh Sunan Kalijaga. Diantara kesenian yang diciptakan yaitu Pakeliran Wayang Kulit, Topeng, Barongan, Wayang Wong, Wayang Golek Papak, Wayang Golek Purwa, Reyog dan sebagainya. Diharapkan kesenian yang diciptakan tersebut dapat menjadi sarana dalam pengembangan Islam. Selanjutnya, pakeliran wayang kulit dikembangkan di keraton Cirebon, disamping Wayang Wong dan Wayang Papak.

            Awalnya, wayang Papak diselenggarakan sebagai upacara ketika seseorang masuk Agama Islam. Orang yang akan masuk Islam itu harus dipapak (disunat), giginya juga harus dipapak (diratakan) dan rambutnya juga harus dipapak (dicukur). Dari fungsi pertunjukkan tersebut kemudia disebut dengan wayang Papak.

            Dugaan lain, asal mula wayang Papak seperti yang diceriterakan oleh Bapak Tunggal Gunawijaya (alm) berasal dari Pangeran Sutajaya. Ia adalah salah seorang Senapati Kesultanan Carbon dalam pemerintahan Panembahan Adiningrat Kusumah (1649-1655). Pangeran Sutajaya bergelar Pangeran Papak. Ia pernah memberikan seperangkat wayang Golek kepada kepada salah satu bawahannya yang bernama Ki Prengut dengan harapan untuk menyebarkan Agama Islam. Selanjutnya, wayang tersebut dinamakan dengan Wayang Papak.

  1. Wayang Klithik

Wayang Klitikterbuat dari kayu pipih yang dibentuk dan disungging menyerupai Wayang Kulit Purwa. Bedanya, bagian tangan peraga wayang itu bukan dari kayu pipih melainkan terbuat dari kulit, agar lebih awet dan ringan menggerakkannya. Sedangkan, pada Wayang Klitik, cempuritnya merupakan kelanjutan dari bahan kayu pembuatan wayangnya. Wayang ini diciptakan orang pada tahun 1648.Pementasan Wayang Klitik juga diiringi oleh gamelan dan pesinden, tetapi tanpa menggunakan kelir sehingga penonton dapat melihat secara langsung.

  1. Wayang Beber

            Dalam perkembangannya, selain terdapat wayang kertas, wayang golek, wayang potehi hingga wayang suket atau wayang rumput, kita juga mengenal wayang beber. Wayang beber ini bisa dibilang wayang paling tua. Wayang beber sebenarnya merupakan satu istilah wayang yang dibuat dengan cara digambarkan pada selembar kain dan berisi tentang sebuah alur cerita yang disimbolisasi oleh tokoh-tokoh yang terlukis di dalam kain tersebut.

            Tidak ada sumber yang pasti tentang keberadaan pertama kali wayang beber dibuat dan dimainkan. Tapi yang pasti,  wayang ini lebih merupakan sebuah seni wayang yang muncul dan kemudian berkembang di pulau Jawa pada masa Pra-Islam dan sampai hari ini masih bertahan di beberapa daerah tertentu terutama diwilayah pegunungan di sepanjang Jawa Dwipa ini.

            Namun sumber dari Wikipedia menyebutkan, menurut Kitab Sastro Mirudo, wayang beber dibuat pada tahun 1283 dengan Condro Sengkolo, Gunaning Bujonggo Nembah Ing Dewo (1283) kemudian dilanjutkan oleh Putra Prabu Bra-wijaya. Di zaman Raden Sungging Prabangkara, pembuatan wayang beber semakin artistik melebihi keindahan lukisan kubisme Pablo Picaso, jika dibandingkan untuk ukuran masa kini.

            Di zaman itu, wayang beber lebih banyak memuat cerita Raden Panji khususnya kisah cinta Panji Asmoro Bangun dengan Dewi Sekartaji, putri dari kerajaan Jenggolo yang keelokan parasnya mampu membuat pria tergila-gila ditambah kepribadiannya yang murni dan santun.

            Hal ini bisa dibuktikan pada dialog romantis antara Panji Asmoro Bangun dengan Dewi Sekartaji ketika memadu cinta. Kala itu Dewi Sekartaji ditanyakan tentang kedalaman cintanya kepada sang terkasih Panji Asmoro. Ternyata Jawabannya “hanya seujung kuku hitam” begitu jawab Sekartaji. Terhenyak Panji Asmoro, merah padam wajahnya karena marah yang tertahan. Menyimak wajah sang suami nan membara, Sekartaji-pun menjabarkan maksud perkataannya dengan kelembutan budinya bahwa ujung kuku adalah simbul kewantekan cinta yang takkan pudar maupun sirna.

            Kuku hitam tiap kali dipotong akan tumbuh terus tiada henti, begitulah cinta Dewi Sekartaji kepada sang suami Panji Asmoro Bangun akan senantiasa terus bersemi. Merasa kalah cerdas, Raden Panji Asmoro kemudian mohon ijin kepada istrinya untuk pergi berkelana mencari ilmu memperluas wawasan hingga ke penjuru dunia. Sang dewipun mengijinkan dan tetap menanti dengan setia.

            Kembali ke pembahasan inti. Seperti sebutannya kata beber sebenarnya diambil dari sebutan beber yang artinya kain yang direntangkan atau dibeberkan. Biasanya ukurannya selebar 80 sentimeter dan panjangnya bisa mencapai 12 meter. Konon awalnya wayang beber dilukis dilembaran daun, tapi begitu kain ditemukan alih mediapun dilakukan dengan menjadikan kain sebagai wadah untuk melukis.

            Cara memainkan wayang beber memang dari  lembaran-lembaran kain yang dibeberkan (beberan). Kain tersebut  digambar atau dilukis tokoh-tokoh pewayangan yang menjadi inti cerita. Biasanya ceritanya mengambil cuplikan babad Mahabharata maupun kisah Ramayana juga kisah-kisah duniawi. Rata-rata setiap rangkaian cerita dalam selembar kain berisi 16 adegan. Sementara cara penyajiannya berupa narasi/kisah yang disampaikan oleh dalang atau orang yang memainkan kain berisi lakon wayang tersebut.

            Konon  para walisongo khususnya Sunan Kalijaga  menjadikan  wayang beber sebagai media untuk berdakwah dan mengenalkan Islam kepada masyarakat Jawa. Untuk memudahkan wayang beber ini kemudian dimodifikasi dalam bentuk wayang kulit dengan bentuk-bentuk yang bersifat ornamentik yang lebih mudah dikenal seperti sekarang ini. Hal ini  lebih karena ajaran Islam yang mengharamkan bentuk gambar makhluk hidup  seperti manusia, hewan maupun patung.

            Untuk mempermudah dan menarik penonton juga ditambahkan tokoh-tokoh  yang dulunya tidak ada pada wayang babon atau wayang dengan tokoh asli India seperti Semar dan anak-anaknya sipunakawan bagong, gareng, petruk, serta Pusaka Hyang Kalimusada. Hasilnya penonton semakin tertarik dan pagelaran wayang menjadi satu hiburan yang sangat dicari.

            Namun wayang beber yang masih asli sampai sekarang masih bisa dilihat. Wayang beber yang masih asli bisa ditemui dan dilihat di daerah Pacitan, Donorojo.  Wayang ini dipegang oleh seseorang yang secara turun-temurun dipercaya untuk memeliharanya karena mereka percaya bahwa wayang beber merupakan sebuah amanat luhur yang harus dipelihara. Selain di Pacitan juga  masih tersimpan dengan baik dan masih dimainkan  di wilayah Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo, Karangmojo Gunungkidul juga di Surakarta.

 

BAB IV

TOKOH-TOKOH PEWAYANGAN

 

Wayang sebagai dihargai sebuah karya seni yang penuh simbol dan potret tentang kehidupan manusia. Ia banyak melukiskan gambaran kehidupan manusia baik sebagai individu maupun warga masyarakat luas. Wayang mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang universal dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat pada zamannya. Menurut sejarahnya, wayang banyak dipengaruhi oleh cerita Ramayana dan Mahabarata di India dan kini telah melewati serangkaian proses penyempurnaan dalam penyampaiannya.

  Karakter setiap tokoh pewayangan merupakan lambang dari berbagai pewatakan yang ada dalam kehidupan manusia. Misal watak baik, buruk, kesetiaan dan lain-lain. Ada banyak tokoh wayang dalam seri Ramayana dan Mahabarta. Dalam buku ini, kami mengklasifikasikan tokoh-tokoh pewayangan dalam tiga kategori, yaitu Mahabarata I, Mahabarata II, dan Ramayana.

  1. TOKOH PEWAYANGAN MAHABHARATA I
  2. 1.      ABIMANYU

 

Wayang kulit purwa tokoh Abimanyu koleksi Tembi Rumah Budaya buatan Kaligesing
Purworejo (foto: Sartono)

 

Tokoh pewayangan Mahabharata yang pertama adlah Abimanyu. Abimanyu adalah seorang yang istimewa, karena banyak para ahli yang mengatakan bahwa ia adalah seorang kekasih Dewata. Keistimewaan ini sudah ia dapatkan sejak dalam kandungan ibunya. Ia mendapatkan wahyu pertama dalam kandungan yang disebut sebagai wahyu hidayat. Wahyu hidayat inilah yang membuatnya memiliki kemampuan mengerti dalam segala hal.

Kalau kita mengenal Abimanyu, pastilah kita mengenali Angkawijaya, Jayamurcita, Jaka Pangalasan, Partasuta, Kirityatmaja, Sumbadraatmaja, Wanudara, dan Wirabatana. Karena semua ini adalah nama julukannya yang ia dapatkan selama menjalani proses kehidupan. Abimanyu terlahir dari pasangan Arjuna, salah satu dari lima satria Pandawa, dengan Dewi Sumbadra, putri Prabu Basudewa, raja Negara Mandura dengan Dewi Badrahini. Karena Ia dilahirkan dari rahim salah satu istri terbaik Arjuna, iapun mempunyai tiga belas saudara dari lain ibu, yaitu: Bambang Irawan, Kumaladewa, Sumitra, Kumalasakti, Endang Pregiwa, Bratalaras, Endang Pregiwati, Prabakusuma, Wijanarka, Wisanggeni, Wilungangga, Anantadewa, dan Bambang Sumbada.

Kedewasaannya mengantarkan ia mendapatkan anugerah wahyu yang kedua yaituWahyu Cakraningrat.Karena wahyu inilah Abimanyu mendapatkan kemampuan dan kekuasaan sehingga ia dapat menurunkan raja-raja besar. Namun, meskipun Abimanyu memiliki banyak wahyu, Ia tetap seorang yang memiliki perawakan protagonis. Ia tak pernah menyombongkan diri, halus, baik tingkah laku, ucapannya terang, hatinya keras, besar tanggung jawab, dan pemberani. Ayahnya mengajari banyak hal tentang keprajuritan. Sedangkan kakeknyapun begitu, Abiyasa adalah seorang kakek yang baik hati dan penyayang. Ia mengajarkan seorang Arjuna melakukan olah ilmu kebatinan.

        Abimanyu bukanlah orang yang lalai dalam keluarga. Ia memiliki dua orang istri, yaitu: 1. Dewi Siti Sundari, putri Prabu Kresna, Raja Dwarawati dengan Dewi Pratiwi, dan 2. Dewi Utari, putri Prabu Matswapati dengan Dewi Ni Yutisnawati, dari negara Wirata, dan memiliki putra Parikesit. Mereka tinggal bersama di Kesatrian Palangkawati, setelah Abimanyu dapat mengalahkan Prabu Jayamurcita. Namun, tak semua yang ia dapatkan kan kekal, karena Abimanyu telah gugur dalam Perang Bharatayuda oleh gada Kiai Glinggang milik Jayadrata, satria Banakeling.

 


 

  1. 2.      DEWI AMBA

Inilah tokoh wanita dalam dunia pewayangan Mahabharata. Kisah Dewi Amba ini bisa dibilang kisah yang tragis dalam dunia pewayangan. Dewi Amba adalah putri dari Prabu Darmahumbara, yaitu seorang raja di negara Giyantipura dengan permaisuri Dewi Swargandini. Dewi Amba adalah putri sulung dari tiga bersaudara. Ia memiliki du orang adcik perempuan yang bernama Dewi Ambika atau Ambalika dan Dewi Ambiki (Ambaliki). Cukup terkenal bukan!

Ternyata, Dewi Amba adalah seorang yang sangat hebat. Ia telah berhasil memenangkan sayembara tanding di negara Giyantipura. Dengan jalan membunuh Wahmuka dan Arimuka. Hal inilah yang membuatnya dan kedua adiknya diangkat menjadi putri boyongan Resi Bisma (Dewabrata), putra Prabu Santanu dengan Dewi Jahnawi atau yang biasa kita kenal dengan sebutan Dewi Gangga dari negara Astina. Meskipun telah menjadi putri boyongan, Ia tak sepenuhnya tunduk dan menerima keadaan begitu saja. Karena Ia merasa sebelumnya telah dipertunangkan dengan Prabu Citramuka, seorang raja di negara Swantipura, memohonlah Dewi Amba kepada Dewabrata agar bisa kembali kepada Prabu Citramuka.

Namun, ketika Ia telah membuka mulutnya, persoalanpun mulai timbul. Prabu Citramuka tak lagi menginginkannya. Dewi Ambapun ditolak oleh Prabu Citramuka karena telah menjadi putri boyongan. Tak hanya itu, Iapun tak bisa lagi ke Astina, karena keinginannya ikut ke Astina juga ditolak Dewabarata. Tak pernah menyerah,  Dewi Amba tak henti-hentinya mendesak dan memaksanya.Dan akhirnya, suatu hal yang tragispun terjadi. Tanpa sengaja, Dewi Ambapun tewas oleh panah Dewabrata yang semula hanya bermaksud untuk menakut-nakutinya.

 Sebelum meninggal, sang  Dewi Amba telah mengeluarkan kutukan. Ia berjanji akan menuntut balas kematiannya dengan perantaraan seorang prajurit wanita. Dan, suatu hal terjadi. Kutukan Dewi Amba terhadap Dewabrata berbuah kenyataan. Perang Bharatayuda menjadi momen yang sangat buruk bagi Resi Bisma (Dewabrata). Arwah Dewi Amba menjelma ke dalam tubuh Dewi Srikandi. Dan, iapun berhasil menewaskan Resi Bisma/Dewabrata.

 

 

 

  1. 3.      DEWI ANGGRINI

Tokoh wanita selanjutnnya yang harus kita kenal adalah Dewi Anggrini. Dewi Anggriniadalah sosok istri teladan, yang sangat diimpikan pria. Ia setia terhadap suami. Bahkan, Ia rela mati sebagai lambang kesetiaan seorang istri terhadap suaminya. Keteguhan cintanya diuji dalam menghadapi godaan yang berwujud keindahan dan kelebihan orang lain. Dewi Anggraini tetap teguh dalam cinta dan kesetiannya sebagai permaisuru dari Prabu Ekalaya atau Palgunadi, seorang raja di negara Paranggelung.

Wajahnya yang cantik secantik hatinya, selembut jiwanya.Ia adalah putri dari hapsari atau bidadari Warsiki. Perlu diketahui, keteladanan yang dapat kita ambil dari sosoknya sangatlah banyak. Dari segi sifat dan perawakan khususnya. Dewi Anggraini adalah sosok yang memeiliki sifat dan perwatakan baik budi, menarik hati, sabar, setia, murah hati, dan jatmika (selalu dengan sopan santun). Kelebihannya ia tempatkan untuk sepenuhnya berbakti terhadap suami.

Suatu ketika, datang masa ketika Dewi Anggraini benar-benar diuji. Yaitu, ketika terjadi permusuhan antara Prabu Ekalaya dengan Arjuna. Akibat dari perbuatan Arjuna yang menggangu Dewi Amba dan suaminya, Prabu Ekalayapun mati dibunuh Resi Drona. Ia dibunuh dengan cara yang tidak sopan. Ibu jari tangan kanannya yang memakai cincin sakti Mustika Ampal dipotong begitu sadis. Dan disini sang istri diuji. Dewi Anggraini menunjukan kesetiaannya sebagai istri sejati. Bela patipun dilakukannya. Ia bunuh diri untuk kehormatan suami dan dirinya sendiri.Dewi  Anggrainipun mati sebagai lambang kesetiaan seorang istri terhadap suaminya.

  1. 4.      ANTABOGA

Mahabharata pertama memiliki tokoh perkasa. Yaitu Sang Hyang Antaboga atau Sang Hyang Nagasena atau Sang Hyang Anantaboga atau Sang Hyang Basuki. Ia perkasa karena terlahir sebagai dewa penguasa dasar bumi. Sejarah mengatakan, sebagai Sang Hyang Basuki, ia ditempatkan dalam istana di Kahyangan Saptapratala, atau lapisan ke tujuh dasar bumi.

Sang Hyang Antaboga terlahir dari sosok Ibu yang bernama Dewi Wasu, putri Anantaswara. Ayahnya bernama Anantanaga. Sang Hyang Antaboga sama halnya dengan wujud   keadaan biasa. Namun, ketika ia dalam keadaan triwikrama, tubuhnya berubah menjadi ular naga yang besar. Umurnya sangat panjang. Dan, setiap 1.000 tahun sekali, Sang Hyang Antaboga mengalami pergantian kulit (mlungsungi) seperti ular pada umumnya.

Sama halnya dengan manusia biasa, Ia juga memiliki seorang istri yang bernama Dewi Supreti. Dan dianugerahi seorang anak yang bernama Dewi Nagagini dan Naga Tatmala. Dewi Nagagini menikah dengan Bima, yaitu orang kedua dalam keluarga Pandawa. Dan mendapaykan cucunya yang bernama Antareja atau Anantaraja. Dalam pewayangan disebutkan, letak tak begitu membedakan dengan yang lainnya.Artinya, walaupun Sang Hyang terletak di dasar bumi, keadaan di Saptapratala tidak jauh berbeda dengan di kahyangan lainnya.

Diceritakan oleh dalang dalam, bahwa Sang Hyang Antaboga memiliki kesaktian khusus yaitu aji Kawastrawam. Aji inilah yang membuatnya dapat menjelma menjadi apa saja, sesuai dengan kehendak hatinya. Salah satu penjelmaan yang sudah pernah dilakukannya antara lain, ia pernah menjelma menjadi garangan putih (semacam musang hutan atau cerpelai). Ialah yang menyelamatkan Pandawa dan Kunti dari kobaran api dalam peristiwa Bale Sigala-gala.

Sebagai seorang Sang Hyang, Sang Hyang Antaboga mendapatkan anugerah lebih. Bukan hanya aji Kawastrawan, ia juga memiliki kemampuan menghidupkan orang mati yang kematiannya masih belum digariskan, karena ia memiliki air suci Tirta Amerta. Air sakti itulah yang kemudian diberikan kepada cucunya Antareja. Sebelumnya, Sang Hyang pernah memanfaatkan kesaktian ini untuk menghidupkan Dewi Sumbadra yang mati karena dibunuh Burisrawa dalam lakon Sumbadra Larung.

Selain itu, Tirta Amerta pernah juga dimanfaatkan oleh istri Sang Hyang Antaboga ketika suaminya dimintai tolong oleh Bhatara Guru untuk menangkap dan membunuh Bambang Nagatatmala, anak Bhatara Guru sendiri. Ketika kepergok, ternyata Nagatatmala sedang berkasih-kasihan dengan Dewi Mumpuni, istri dari Batara Yamadipati. Tapi, para dewa gagal menangkapnya karena kalah sakti dengannya.

Akhirnya Sang Hyang Antaboga terpaksa menangkapnya atas perintah Bhatara Guru. Bhatara Guru dengan tegas menjatuhkan hukuman mati pada Nagatatmala karena Ia memang bersalah, meskipun itu adalah anaknya. Dewa Ular tidak menyangka Bhatara Guru akan menjatuhkan hukuman mati pada anaknya, dengan memasukkannya ke Kawah Candradimuka. Untunglah istrinya, Dewi Supreti kemudian menghidupkan kembali Bambang Nagatatmala dengan Tirta Amerta.Bhatara Guru juga pernah menciptakan mahluk ganas yang bernama Candrabirawa dari sisa kulit Sang Hyang Antaboga ketika mlungsungi.

Ketika masih muda, Sang Hyang Antaboga dikenal sebagai Nagasesa. Ayahnya bernama Antawisesa adalah seorang naga. Walaupun ia cucu Sang Hyang Wenang, wujudnya tetap seekor naga, karena ayahnya juga seekor naga. Nagasesa memiliki Ibu yang bernama Dewi Sayati, putri Sang Hyang Wenang.

Karena begitu mempesonanya keistimewaan Tirta Amerta, suatu ketika para dewa berusaha mendapatkan TirtaAmerta. Mereka berkeinginan bisa menghidupkan orang mati. Para dewa harus mengebor dasar samudra hanya karena hasrat memperoleh Tirta Amerta. Berbagai upaya dilakukan, mereka mencabut Gunung Mandira dari tempatnya, membawanya ke samudra, dan membalikkannya sehingga puncaknya berada di bawah, lalu memutarnya untuk melubangi dasar samudra itu. Tapi,para dewa ternyata tidak berfikir ulang sebelum membalikkan gunung. Sehingga mereka tak bisa mengembalikan gunung tersebut ke posisi semula. Padahal, ketika mereka tak bisa membalikkannya, mustahil mereka akan medapatkan Tirta Amerta.

Dalam kebingungan itulah, Nagasesa datang membantu mereka. Nagasesa melingkarkan badannya yang panjang ke gunung itu dan membetotnya ke atas. Ia berhasil menjebol Gunung Mandira, kemudian menempatkannya di tempat semula. Dengan demikian para dewa dapat mengambil Tirta Amerta yang mereka inginkan. Itulah sebabnya, Nagasesa yang kelak lebih dikenal dengan nama Sang Hyang Antaboga juga memiliki keistimewaan Tirta Amerta. 

       Nagasesa juga berjasa ketika ia menyerahkan Cupu Linggamanik kepada Bhatara Guru. Para dewa memang sangat menginginkan cupu mustika Linggamanik itu. Saat itu Nagasesa sedang bertapa di Guwaringrong dengan mulut yang terbuka.

Ditengah pertapaannya,seberkas cahaya terang melesat. Cahaya itu kemudian memasuki mulutnya ketika Nagasesa mengatupkan mulutnya dan saat itulah muncul Bhatara Guru. Ia menanyakan kemana perginya cahaya berkilauan yang memasuki Guwaringrong. Nagasesa menjawab, cahaya mustika itu ada pada dirinya dan akan diserahkan kepada Bhatara Guru, bilamana pemuka dewa itu mau memeliharanya baik-baik. Bhatara Guru menyanggupinya, sehingga ia mendapatkan Cupu Linggamanik yang semula berwujud cahaya itu.

Semua Dewa Kahyangan merasa sangat berhutang budi kepada Nagasesa. Kebaikannya membuat para Dewa dapat memiliki Cupu Linggamanik yang sangat bernilai bagi para dewa, karena benda itu sangat berkhasiat dalam menciptakan  ketenteraman di kahyangan. Oleh sebab itulah, akhirnya semua dewa di kahyangan  menghadiahi Nagasesa kedudukan yang sederajat dengan para dewa. Bukan hanya itu, karena jasa-jasanya, akhirnya Nagasesa juga diberi gelar bhatara atau sang hyang. Sejak itu, Nagasesa memiliki nama dan gelar baru yaitu Sang Hyang Antaboga. Nama Antaboga atau Anantaboga artinya “kelokannya tidak mengenal batas”. Kata an artinya tidak; anta artinya batas; sedangkan boga atau bhoga atinya kelokan. Yang kelokannya tidak mengenal batas, maksudnya adalah ular naga yang besarnya luar biasa.

Sang Hyang Antaboga diberi kekuasaan oleh para dewa dan memiliki hak sebagai penguasa alam bawah tanah. Berbagai penghargaan diterima Sang Hyang Antaboga, sampai ia juga mendapatkan aji Kawastram yang membuatnya sanggup mengubah wujud dirinya menjadi manusia atau mahluk apapun yang sekehendak hatinya. Para dewa begitu mempercayakan berbagai keistimewaan itu pada Sang Hyang Antaboga.

Hadiah yang paling istimewa dari dewata adalah seorang bidadari bernama Dewi Supreti, para dewa menghadiahkannya untuk menjadi permaisuri Sang Hyang Antaboga. Hal ini dilakukan para dewa untuk membangun ikatan keluarga.Ia memiliki seorang cucu yang bernama Antareja, yang menurut para ahli pewayangan Indonesia, ia hanya terdapat dalam pewayangan di Indonesia. Tak pernnah disebutkan dalam Mahabharata, karena tokoh Antareja memang tak pernah ada dalam Mahabharata, Ia memang asli ciptaan nenek moyang orang Indonesia.

Suatu ketika, Ia melakukan sebuah kekhilafan. Tokoh Sang Hyang Antaboga dalam sebuah lakon carangan diceritakan telah terbujuk hasutan Prabu Boma Narakasura yaitu cucunya, untuk meminta Wahyu Senapati pada Bhatara Guru. Berangkatlah Antaboga ke kahyangan bersama dengan menantunya, Prabu Kresna, suami Dewi Pertiwi. Dan ternyata Bhatara Guru tak bersedia memberikan wahyu tersebuat kepada Boma, cucunya. Bhatara Guru menganggap bahwa Gatotkaca lebih pantas dan lebih berhak. Keduanya berselisih paham, Sang Hyang Antaboga tetap bersikeras. Silang pendapat itu reda setelah Batara Narada mencoba menjadi penengah. Dan keputusannya, Wahyu Senapati tetap diperuntukkan bagi Gatotkaca.

  1. 5.      ANATAREJA

Dalam pewayangan asli Indonesia Anantareja atau Antarejamerupakan anak dari seorang Bima yang sering kita dengar dengan sebutan Werkudara. Antareja juga seorang cucu dari Sang Hyang Antaboga. Werkudara adalah salah satu dari lima satria Pandawa yang menikah dengan Dewi Nagagini, putri Hyang Anantaboga dengan Dewi Supreti dari Kahyangan Saptapratala.Gatotkaca (putra Bima dengan Dewi Arimbi) dan Arya Anantasena (putra Bima dengan Dewi Urangayu) adalah dua saudara tirinya dari lain ibu.

Ia  adalah salah satu cucu kesayangan Sang Hyang Antaboga.Sejak kecil Anatareja tinggal bersama kakek dan ibunya di dalam Saptapratala (dasar bumi).  Anantareja mendapatkan ajian Upasanta pemberian Hyang Anantaboga. Karena ajian ini, lidahnya menjadi sangat sakti. Keistimewaan ini membuat makhluk apa pun yang dijilat telapak kakinya akan menemui kematian. Ia memiliki ciri khusus, yaitu kulitnya yang berupanapakawaca, Antareja menjadi kebal terhadap senjata. Selain itu, cincin Mustika bumipun didapatkannya dari ibunya. Cincin ini memiliki keistimewaan yang dapat menjauhkannya dari kematian selama masih menyentuh bumi atau tanah, dan dengan cicncin ini pula, Ia dapat menghidupkan kembali kematian di luar takdir. Karena Sang Hyang Antaboga,Antareja juga memiliki Kesaktian lain yaitu hidup dan berjalan didalam bumi.

Dalam dunia pewayangan, Antareja dikenal sebagai tokoh protagonis. Ia berperawakan pendiam, jujur, sayang kepada yang muda, berbakti pada yang lebih tua. Ia juga rela berkorban, dan sangat besar kepercayaannya kepada Sang Maha Pencipta. Ia mendapatkan permaisuri Dewi Ganggi. Dewi Ganggi adalah putri dari Prabu Ganggapranawa, seorang raja ular atau taksaka di Tawingnarmada. Raja Prabu Ganggapranawa memiliki putra bernama Arya Danurwenda. Karena sifat-sifat terpujinya itulah, kemudian Anantareja diangkat menjadi seorang raja di negara Jangkarbumi. Ia mendapatkan gelar Prabu Nagabaginda. Antareja menjalankan roda pemerintahan dengan semangat tampuk pemerintahannya yang luar biasa. Segala bentuk pengabdiannya sebagai raja membuatnya harus meninggal atas kemauannya sendiri. Tepatnya menjelang perang Bharatayudha. Ia meninggal dengan cara menjilat telapak kakinya sebagai suatu bentuk tawur (korban untuk kemenangan) untuk keluarga Pandawa dalam suatu pertempuran besar, Perang Bharatayuda.

  1. 6.      ANTASENA

Setelah mengenal tokoh Antareja, marilah kita mengenal lebih jauh siapakah yang disebutkan sebagai Antasena atau Antasena yang merupakan saudaratiri Antareja. Ia adalah adalah Putra Bima atau Werkundara, salah satu dari lima satria Pandawa, dengan Dewi Urangayu, putri Hyang Mintuna (Dewa Ikan Air Tawar) di Kisiknarmada. Selain Antareja (putra Dewi Nagagini), Antasena juga mempunyai saudara seayah lain ibu lain, yaitu Gatotkaca (putra Dewi Arimbi).

            Sama halnya dengan Antareja, sejak kecil Anantasena tinggal bersama ibu dan kakeknya di Kisiknarmada. Ia memiliki badan yang keseluruhannya berkulit sisik ikan atau udang. Sisik-sisik ini yang kemudian membuatnya kebal terhadap senjata. Anantasena memiliki beberapa keistimewaan, Ia dapat hidup di darat dan di dalam air. Mulutnya yang sakti membuat smua mahluk apapun yangterkena bisanya akan menemui kematian.

            Kejujurannya, serta sifat terus terangnya yang bersahaja, berani kerena membela kebenaran. Ia tidak pernah berdusta.Pantaslah Ia memiliki pusaka Cupu Madusena, yang dapat mengembalikan kematian di luar takdir. Ia tidak dapat mati selama masih bersinggungan dengan air atau uap air.Keistimewaan yang dimilikinya tak menjadikan ia lalim. Sehingga, setelah dewasa, Anantasena menjadi raja di negara Dasarsamodra, bekas negaran Prabu Ganggatrimuka yang terbunuh ketika peperangan. Antasena meninggal dengan cara mati moksa (lenyap dengan seluruh raganya) atas kehendak atau kekuasaan Sang Hyang Wenang sebelum terjadi peperangan.

  1. 7.      ARIMBI

Dewi Arimbi atau Hidimbi ini adalah tokoh wayang wanita yang terlahir dari pasangan Prabu Arimbaka, raja raksasa negara Pringgandani, dengan Dewi Hadimba. Ia memiliki banyak saudara baik wanita maupun pria. Yaitu Arimba (Hidimba), Arya Prabakesa, Brajadenta, Brajamusti, Brajalamatan, Brajawikalpa, dan Kalabendana. Mereka semua adalah tujuh saudara kandung Arimbi.

        Dewi Arimbi memiliki anak bernama Gatotkaca, setelah menikah dengan Bima (Werkudara), salah seorang Pandawa, putra Prabu Pandu, raja negara Astina dari permaisuri Dewi Kunti.

Meskipun seorang wanita, Dewi Arimbi seorang yang maskulin juga. Ia sangat bakat memimpin, sehingga menjadi raja negara Pringgandani. Setelah Prabu Arimba tewas dalam peperangan melawan Bima, Ialah yang menggantikan kedudukan kakaknya, Prabu Arimba.Ia menjadi Raja Pringgodani karena ia lebih sering tinggal di Kesatrian Jodipati mengikuti suaminya. Turun temurun dari Brajadenta sampai Gatotokaca dewasa dan diangkat menjadai raja negara Pringgandani. Gatotkaca mendapatkan gelar Prabu Kacanegara.

Siapa yang memiliki kesaktian dapat beralih rupa dari wujudnya raksasa menjadi putri cantik jelita?. Ialahsosok yang jujur, setia, berbakti, dan sangat sayang terhadap putranya, Dewi Arimbi. Dunia pewayangan cukup merindukannya setelah Ia gugur di medan Bharatayuda membela putranya yaitu Gatotkaca kecil. Ia meninggal karena semacam panah Kunta milik Adipati Karna, Raja Awangga.

  1. 8.      ARJUNA

 

http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/26/mengenal-lagi-budaya-indonesia-tokoh-wayang-pandawa-lima/

Phandawa memilikisosok yang gemar menuntut ilmu seperti Arjuna. Sama halnya dengan Bima, Arjuna terlahir dari rahim Dewi Kunti/Dewi Prita dari Mandura. Ayahnya bernama Prabu Pandu Dewanata, raja negara Astinapura. Arjuna adalah saudara kandung dari Puntadewa dan Bima atau Werkudara. Arjuna sendiri merupakan anak ketiga dari lima bersaudara satu ayah, yang dikenal dengan Pandawa. sedangkan dua saudara lain ibu, putra Pandu dengan Dewi Madrim adalah Nakula dan Sadewa.

         Arjuna seorang satria yang gemar berkelana, bertapa, dan menuntut ilmu. Selain menjadi murid Resi Drona di Padepokan Sukalima, ia juga menjadi murid Resi Padmanaba dari Pertapaan Untarayana.

        Arjuna mendapatkan gelar Bagawan Ciptaning, Ia pernah menjadi Pandita di Goa Mintaraga. Arjuna dinobatkan sebagai raja di Kahyangan Kaindran dan bergelar Prabu Karitinkarena Ia dijadikan jago kadewatan membinasakan Prabu Niwatakawaca, raja raksasa dari negara Manimantaka. Atas jasanya, Arjuna mendapatkanbeberapa anugrah pusaka sakti dari para dewa, antara lain: panah Cundamanik (dari Bhatara Narada), Gendewa (dari Bhatara Indra), panah Ardadadali (dari Bhatara Kuwera).

Ia memilikibeberapa pusaka lain, diantaranya panah Sangkali (dari Resi Drona), keris Kiai Kalanadah, panah Sirsha, panah Candranila, keris Kiai Sarotama, keris Kiai Baruna, terompet Dewanata, cupu Minyak Jayengkaton (pemberian Bagawan Wilawuk dari pertapaan Pringcendani), keris Pulanggeni (diberikan pada Abimanyu), dan kuda Ciptawilaha dengan cambuk Kiai Pamuk. Ia juga memiliki beberapa ajian seperti:ajian Panglimunan, Tunggengmaya, Sepiangin, Mayabumi, Pengasih, dan Asmaragama.

Arjuna mempunyai 15 orang istri dan 14 orang anak, yakni:

  1. Dewi Sumbadra, berputra Raden Abimanyu;
  2. Dewi Larasati, berputra Raden Sumitra dan Bratalaras;
  3. Dewi Srikandi, tidak berputra;
  4. Dewi Ulupi/Palupi, berputra Bambang Irawan;
  5. Dewi Jimambang, berputra Kumaladewa dan Kumalasakti;
  6. Dewi Ratri, berputra Bambang Wijanarka;
  7. Dewi Dresanala, berputra Raden Wisanggeni;
  8. Dewi Wilutama, berputra Bambang Wilugangga;
  9. Dewi Manuhara, berputra Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati;
  10. Dewi Supraba, berputra Raden Prabakusuma;
  11. Dewi Antakawulan, berputra Bambang Antakadewa;
  12. Dewi Maeswara;
  13. Dewi Retno Kasimpar;
  14. Dewi Juwitaningrat, berputra Bambang Sumbada;
  15. Dewi Dyah Sarimaya.

Arjuna adalah seorang Raja sangat baik dalam berpakaian, sehingga Iapun memiliki beberapa pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu: kampuh atau kain Limarsawo, kalung Candrakanta, ikat pinggang Limarkatanggi, gelung Minangkara, dan cincin Mustika Ampal (dahulunya milik Prabu Ekalaya, Raja Paranggelung). Arjua mempunyai banyak nama julukan, antara lain: Ciptaning Mintaraga (pendeta suci), Pandusiwi, Parta (pahlawan perang), Janaka (memiliki banyak istri), Permadi (tampan), Dananjaya, Kumbaljali, Indratanaya (putra Bhatara Indra), Jahnawi (gesit trengginas), Palguna, Danasmara (perayu ulung), dan Margana (suka menolong).

Arjuna adalah orang yang cerdik, pendiam, teliti, pandai, sopan-santun, berani, dan suka melindungi yang lemah. Ia menggunakan semua sifat baiknya dan mengkolaborasikannya dalam strategi memimpin Kadipaten Madukara, dalam wilayah negara Amarta. Sebelum moksa bersama Pandhawa lain, Arjuna menjadi raja di Negara Banakeling, bekas kerajaan Jayadrata.

    9.            ARYA PRABU RUKMA

Arya Prabu Rukma adalah tokoh pewayangan yang mempunyai watak: berani, cerdik pandai, trengginas, mahir mempergunakan senjata panah dan ahli strategi perang. Ia adalah dari putra Prabu Basukunti, raja di negara Mandura. Ibunya bernama Dewi Dayita, putri Prabu Kunti, raja Boja.

Ia memperoleh dua anak dari pernikahannya dengan Dewi Rumbini, putra Prabu Rumbaka, raja Negara Kumbina. Anak-anaknya bernama Dewi Rukmini dan Arya Rukmana. Tidak hanya dengan Dewi Rumbini, secara tidak resmi Arya Prabu Rukma juga menikahi Ken Sagupi, swaraswati keraton Mandura. Ia mendapat anugerah seorang putri bernama Ken Rarasati atau Dewi Larasati.

Arya Prabu Rukma mendapatkan gelar Prabu Bismaka, Prabu Wasukunti atau Prabu Hirayana setelah diangkat menjadi raja di negara Kumbina menggantikan Prabu Rumbaka, mertuanya. Ia gugur di medan perang setelah melawan Prabu Bomanarakasura, raja negara Surateleng.

  1. 10.            ASWATAMA

Tokoh pewayangan selanjutnya yaitu Bambang Aswatama. Ia adalah putra Resi Drona dari padepokan Sokalima. Ibunya bernama Dewi Krepi, putri Prabu Purungaji dari negara Tempuru. Ia memiliki postur unik, berambut dan bertelapak kaki kuda. Konon ceritanya, ketika awal mengandung dirinya, Dewi Krepi sedang beralih rupa menjadi kuda Sembrani dalam upaya menolong Bambang Kumbayana atau Resi Drona terbang menyeberangi lautan.

Ketika ayahnya menjadi guru Keluarga Pandawa dan Kurawa di negara Astina, Aswatama ikut serta dalam mengikuti pendidikan ilmu olah keprajuritan. Ia memiliki sifat cerdik dan pandai mempergunakan segala macam senjata. Dari ayahnya, Aswatama mendapat pusaka yang sangat sakti berupa panah bernama Cundamanik.

Aswatama memutuskan mundur dari kegiatan Bharatayuda, karena kecewa dengan sikap Prabu Duryudana yang terlalu membela Prabu Salya yang dituduhnya sebagai penyebab gugurnya Adipati Karna. Setelah Perang Bharatayuda berakhir dan keluarga Pandawa pindah dari Amarta ke Astina, secara sembunyi Aswatama masuk menyelundup ke dalam istana Atina. Dan akhirnya Drestadyumna (pembunuh ayahnya), Pancawala (putra Prabu Puntadewa), Dewi Banowati (janda Prabu Duryudana), dan Dewi Srikandi, berhasil dibunuhnya. Namun dalam peperangan tersebut, Bima menghantamnya dengan Rujakpala, sehingga Aswatamapun meninggal tragis.

  1. 11.            BAGASPATI

Bagawan Bagaspati mempunyai watak sabar, ikhlas, percaya akan kekuasaan Tuhan, rela berkorban, dan sangat sayang pada putrinya. Bagaspati yang sewaktu mudanya bernama Bambang Anggana Putra ini adalah putra Resi Jaladara dari Pertapaan Dewasana dengan Dewi Anggini, keturunan Prabu Citragada, raja negara Magada. Pada mulanya Bambang Anggana Putra berwujud satria tampan, tetapi karena terkena kutukan Sang Hyang Manikmaya tatkala akan memperistri Dewi Darmastuti (seorang hapsari atau bidadari) wujudnya berubah menjadi raksasa. Akhirnya, Ia kemudian menjadi brahmana di pertapaan Argabelah, dan Bagawan Bagaspati adalah gelarnya.

Ia adalah Brahmana yang memiliki aji Candrabirawa. Aji ini bisa membuatnya terhindar dari kematian, sehingga tidak bisa mati kecuali atas kehendak dirinya. Ia memiliki putri bernama Dewi Pujawati dari istrinya Dewi Dharmastuti. Bagaspati sangat menyayangi putrinya. Ia memiliki sahabat karib seorang saudara seperguruan yang menjadi raja di negara Mandara, yaitu Prabu Mandrapati.

Sayangnya, dalam cerita ia harus digariskan dengan kematian di tangan Narasoma, menantunya sendiri. Ia rela dibunuh karena cinta yang dalam dan demi kebahagiaan putrinya, Dewi Pujawati. Akhirnya Ia menyerahkan aji Candrabirawa kepada Narasoma.

  1. 12.            BAGONG

Siapakah Bagong? Ada yang tahu? Namanya sudah tak lagi asing di telinga para penonton seperti kita. Sebuta-butanya kita terhadap dunia pewayangan, tetaplah banyak orang yang sudah mengenal sosok Bagong ini. Meskipun hanya sekedar mendengar, tidak begitu tahu. Tapi yang jelas, dalam Mahabharata, Indonesia memunyai icon tokoh pewayangan yang satu ini. Dalam pedalangan Jawa, Bagong juga dikenal dengan nama Bawor, Carub, Astrajingga (di Jawa Barat: Cepot). Bagong yang kita kenal di Indonesia mempunyai tabiat yang lagak, dan katanya kekanak-kanakan, lucu, suara besar, tindakannya seperti orang bodoh, kata-katanya menjengkelkan, tetapi selalu tepat.

Tahukah, ternyata Bagong atau cepot terlahir dari bayangan Sang Hyang Ismaya atas sabda dari Sang Hyang Tunggal, ayahnya. Ceritanya begini teman-teman. Waktu itu diceritakan bahwa Sang Hyang Ismaya sebelum menjalankan tugasnya, sempat meminta pada ayahnya Sang Hyang Tunggal. Sebelum di Arcapada, ia mohon pada sang Ayah untuk memberikan seorang kawan yang akan menemani Ismaya selama bertugas mengawasi trah keturunan Witaradya. Ismaya merasa tidak sah apabila sesuatu persaksian hanya dilakukan oleh dirinya. Sang Hyang Tunggal mengabulkannya, dan bersabda, kemudian menyuruh Sang Hyang Ismaya menoleh ke belakang, dalam sekejab tiba-tiba telah ada seseorang yang bentuk tubuhnya hampir menyerupai dirinya, Ialah Bagong.

Dengan kekocakan dan kekhasan lainnya, Bagongpun menikah dengan Endang Bangnyawati, anak dari Prabu Balya raja Gandarwa di Pucangsewu. Pernikahannya ternyata bertepatan dengan perkawinan Semar dengan Dewi Kanistri dan perkawinan Resi Manumayasa dengan Dewi Kaniraras, kakak Dewi Kanistri, putri Bhatara Hira. Bagong memiliki umur yang sangat panjang, seperti halnya Semar. Ia hidup sampai zaman Madya.

  1. 13.            BALADEWA

Dalam cerita pewayangan Mahabharata I, Baladewa dikenal sebagai tokoh yang berwatak keras hati, mudah naik darah tapi pemaaf dan arif bijaksana. Sewaktu mudanya bernama Kakrasana. Ia seorang putra dari Prabu Basudewa, raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Mahendra (Maekah: Jawa). Ia mempunyai adik kembar yang bernama Narayana. Ia juga mempunyaii adik dari lain ibu, bernama Dewi Sumbadra atau Dewi Lara Ireng, putri Prabu Basudewa dengan permaisuri Dewi Badrahini. Baladewa juga memiliki saudara laki-laki dari lain ibu bernama Arya Udawa, putra Prabu Basudewa dengan Ken Sagupi, seorang swarawati keraton Mandura.

Prabu Baladewa sangat mahir dalam olah ketrampilan mempergunakan gada. Ia memiliki murid yaitu Bima dan Duryudana. Ia juga mempunyai dua pusaka sakti pemberian Bhatara Brahma, yaitu Nangggala dan Alugara. Ia memiliki kendaraan gajah bernama Kiai Puspadenta.

Sebelumnya, Prabu Baladewa pernah menjadi pendeta di pertapaan Argasonya. Ia diberi gelar Wasi Jaladara dan menikah dengan Dewi Erawati, putri Prabu Salya dengan Dewi Setyawati/Pujawati dari negara Mandaraka. Wisata dan Wimuka adalah dua orang putra buah pernikahannya.

Dalam cerita, Prabu Baladewa diyakini sebagai titisan dari Sang Hyang Basuki, Dewa keselamatan. Ia memiliki umur sangat panjang. Ia baru meninggal setelah punahnya seluruh Wangsa Yadawa. Sebelum meningga, menjadi pamong dan penasehat Prabu Parikesit, raja negara Astina setelah Prabu Kalimataya/Prabu Puntadewa, dan mendapatkan gelar Resi Balarama dalam Perang Bharatayuda, Prabu Baladewa menjadi.

  1. 14.            BANOWATI

Dewi Banowati adalah wanita dalam pewayangan Indonesia yang memiliki watak jujur, penuh belas kasih, jatmika (selalu dengan sopan santun), dan agak sedikit genit. Ia adalah putri dari Prabu Salya, raja negara Mandaraka dengan permaisuri Dewi Pujawati atau Setyawati putri tunggal Bagawan Bagaspati dari pertapaan Argabelah. Empat saudara kandungnya adalah Dewi Erawati, Dewi Surtikanti, Arya Burisrawa, dan Bambang Rukmarata.

Dewi Banowati menikah dengan Prabu Suyudana/Duryadana, raja di negara Astina, putra Prabu Drestarasta dengan Dewi Gandari. Dua orang putra, Leksmana Mandrakumara dan Dewi Laksmanawati menjadi anugerah terpenting dalam hidupnya. Dan diceritakan, Dewi Banowati mati tragis karena dibunuh oleh Aswatama putra Resi Durna, yaitu setelah berakhirnya Perang Bharatayuda, ditengah menunggu pindahan keluarga Pandawa dari Negara Amarta ke negara Astina.

  1. 15.            BASUDEWA

Tokoh pewayangan Mahabharata I ini bernama Prabu Basudewa. Ia dikenal sebagai tokoh yang sangat sayang kepada keluarganya. Ia memiliki kepandaian olah keprajuritan dan mahir memainkan senjata panah dan lembing. Prabu Basudewa mempunyai Ayah yang bernama Prabu Basukunti, seorang raja di negara Mandura. Ia juga mempunyai ibu yang bernama Dewi Dayita, putri dari Prabu Kunti, raja Boja. Dari merekalah Basudewa mempunyai tiga orang saudara kandung yaitu Dewi Prita atau Dewi Kunti, Arya Prabu Rukma, dan Arya Ugrasena. Ia memiliki tiga orang istri dan empat orang putra. Ia mempunyai putra yang bernama Kangsa dari Dewi Mahira atau Maerah yang sebenarnya, Kangsa bukanlah putranya, melainkan putra dari Prabu Gorawangsa, seorang raja raksasa di negara Gowabarong yang dengan beralih rupa menjadi Prabu Basudewa palsu dan berhasil mengadakan hubungan asmara dengan Dewi Mahira.

Kakrasana dan Narayana adalah dua orang putra kandung yang sebenarnya, buah pernikahannya dengan permaisurinya Dewi Mahindra atau Maerah. Sedangkan dengan permaisuri keduanya, Dewi Badrahini ia berputra Dewi Wara Sumbadra atau Dewi Lara Ireng. Prabu Basudewa juga mengawini Ken Sagupi, seorang swaraswati Keraton Mandura secara tidak resmi. Ia mendapatkan seorang putra bernama Arya Udawa.

Kerajaan Mandura diserahkan kepada putra pertamanya dari Dewi Mahirah, yaitu Kakrasana, karena usianya yang lanjut. Iapun hidup dalam pengabdian terakhirnya sebagai pendeta di Pertapaan Randugumbala. Prabu Basudewa wafat saat negara Mandura diserbu Prabu Sitija atau Bomanarakasura, seorang raja Negara Surateleng.

  1. 16.            BASURATA

Raja pertama negara Wirata adalah Basurata atau Bathara Srinada pada masa mudanya. Ia adalah putra mahkota Kahyangan. Ayahnya bernama Bhatara Wisnu yang bertakhta di Kahyangan Untarasegara. Ibunya adalah Dewi Srisekar. Dua orang saudara kandungnya bernama Bhatara Srigati dan Bhatara Srinadi.

Prabu Basurata memiliki permaisuri bernama Dewi Bramaniyuta. Ia adalah Putri Bathara Brahma dengan Dewi Sarasyati dari Kahyangan Daksinageni. Perkawinannya dengan Dewi Bramaniyuta melahirkan dua orang putra yaitu Arya Basupati atau Basuparicara dan Dewi Bramananeki. Ia kemudian menyerahkan takhta dan negara Wirata kepada putra sulungnya, Arya Basupati. Dan mengakhiri masa rentanya dengan moksa bersama sang istri setelah menikahkan anak-anaknya.

  1. 17.            BASUKESTI

Tokoh Mahabharata yang satu ini mungkin kurang akrab di telinga kita. Prabu Basukesti adalah seorang putra dari Prabu Basupati atau Basuparicara, raja negara Wirata. Ia memiliki Ibu bernama Dewi Anganti atau Dewi Girika, seorang putri Bagawan Kolagiri dengan Dewi Suktimati. Prabu Basukesti mempunyai dua orang saudara kandung yang bernama Arya Basunanda dan Arya Basumurti.

Tahta raja negara Wirata diserahkan kepada kakanya yang bernama Arya Basunanda. Prabu Arya Basukesti baru menjadi raja negara Wirata untuk menggantikan kedudukan kakaknya yang mengundurkan diri karena ingin hidup sebagai brahmana.

Suatu ketika, Prabu Basukesti pergi bertapa sebagai ruwat atas nasibnya karena setiap memiliki permaisuri selalu saja meninggal, ia meninggalkan takhta Wirata. Takhta kerajaan ia serahkan kepada Arya Basumurti untuk sementara waktu. Prabu Basukesti kembali ke istana beberapa tahun kemudian. Kemudian Ia mendapatkan seorang gadis cantik jelita yang dijadikannya permaisuri, gadis itu bernama Dewi Adrika atau Dewi Pancawati. Mereka dikaruniai tiga orang putra, Dewi Basuwati, Dewi Basutari, dan Arya Basukiswara. Sang Prabu Basukesti meninggal dalam usia yang cukup renta. Sebagai penggantinya, Arya Basukiswara diangkat menjadi raja negara Wirata.

  1. 18.            BASUKISWARA

Secara turun-temurun kerajaan Wirata diperintah oleh keturunan raja sebelumnya. Prabu Arya Basukiswara adalah seorang pewaris tahta kerajaan negara Wirata, yang Ia dapatkan dari ayahnya, Prabu Basukesti. Ia adalah putra bungsu prabu Basukesti, raja negara Wirata dengan permaisuri Dewi Adrika/Dewi Pancawati. Dua orang kakak kandungnya masing-masing bernama Dewi Pasuwati dan Dewi Basutari.

Selama memerintah negara Wirata, Ia dikenal sebagai sosok emimpin teladan, panutan yang arif dan bijaksana, adil, dan sangat memerhatikan kehidupan rakyatnya. Ia menikah dengan Dewi Kiswati, dan mempunyai dua orang putra bernama Arya Basuketi dan Arya Kistawan. Ia memutuskan untuk hidup sebagai brahmana, setelah merasa cukup tua. Dan akhirnya, seluruh Tahta dan negara Wirata diserahkan kepada putra sulungnya yang bernama Arya Basuketi.

  1. 19.            BASUKUNTI

Selanjutnya adalah Prabu Basukunti atau Wasukunti. Sewaktu muda, Ia bernama Suradewa. Ia memiliki seorang ayah yang bernama Prabu Wasukunteya, raja Negara Mandura. Ibunya bernama Dewi Sungganawati. Karena Ia sebagai anak Sulung Prabu Wasukunteya, maka Ialah yang ditunjuk untuk menggantikan tahta sebagai raja di negara Mandura. Adik kandungnya bernama Kuntadewa, yang setelah menjadi raja negara Boja bergelar Prabu Kuntiboja.

Prabu Basukunti mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi Dewi Dayita, putri Prabu Kunti, raja Boja. Arya Basudewa, Dewi Prita/Dewi Kunti, Arya Prabu Rukma dan Arya Ugrasena adalah empat orang putra sebagai anugerah terbesar dari perkawinannya.

Sebagai Raja, Prabu Basukunti dikenal dengan perwatakan yang berani, cerdik pandai, arif bijaksana, dan suka menolong. Faktor usianya yang sudah cukup renta, sehingga Ia akhirnya menyerahkan takhta Mandura kepada putra sulungnya, Arya Basudewa, dan hidup sebagai brahmana sampai meninggal.

  1. 20.            BASUPATI

Tokoh Mahabharata I selanjutnya bernama Prabu Basupati yang dikenal pula dengan nama Prabu Basuparicara (Mahabharata). Prabu Basupati adalah putra darip pasangan Bhatara Srinada atau Prabu Basurata, raja negara Wirata yang pertama dengan permaisuri Dewi Bramaniyuta, putri dari Bhatara Brahma. Adik kandungnya bernama Bramananeki.

Prabu Basupati adalah orang yang tekun. Ia berhasil menjadi tokoh yang sangat sakti buah dari ketekunannya selama ini. Bukan hanya itu, Ia juga memiliki kemampuan yang tak semua tokoh pewayangan bisa memiliki kemampuan yang sama, yaitu keahlian mengetahui segala bahasa binatang. Karena hal itulah, Ia mendapatkan anugerah dari Bhatara Indra. Ia mendapatkan hadiah sebuah kereta sakti yang bernama Amarajaya, lengkap dengan bendera perangnya yang membuatnya kebal terhadap segala macam senjata. Prabu Basupati tidak pernah menyiakan anugerah ini, ia menggunakannya untuk menaklukkan tujuh negara, dan masuk ke dalam wilayah kekuasaan negara Wirata.

Perjalanan masa mudanya dirasa sudah cukup matang. Sehingga Ia melabuhkan hatinya pada Dewi Angati atau Dewi Girika (Mahabharata), putri Bagawan Kolagiri dengan Dewi Suktimati. Dari perkawinan tersebut, ia mendapatkan tiga orang putra bernama yang bernama Arya Basunada, Arya Basukesti, dan Arya Bamurti. Kertaka usianya telah lanjut, Ia menyerahkan tahta Kerajaan Wirata kepada Arya Basunada, kemudian memilih jalan terakhir hidup sebagai brahmana sampai meninggal dalam keadaan bermudra.

  1. 21.            YUDHISTIRA

 

Sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/26/mengenal-lagi-budaya-indonesia-tokoh-wayang-pandawa-lima/

Kita mengenal tokoh Pandawa dalam dunia pewayangan. Pandawa yang pertama memiliki istri dewi drupadi dan memiliki anak raden pancawala. Gambar diatas adalah Yudhistira. Yudhistira memiliki jimat jamus kalima sada. Darah yang mengalir dalam tubuhnya berwarna putih. Menurut cerita pedalangan Jawa, Pandawa adalah raja jin negara Mertani, sebuah Kerajaan Siluman yang dalam penglihatan mata biasa merupakan hutan belantara yang sangat angker. Ia adalah jelmaan dari Dewa Yama dan lahir dari Kunti.

Ia memiliki watak yang sangat bijaksana, tidak mempunyai musuh, dan hampir tak pernah berdusta seumur hidupnya. Memiliki moral yang sangat tinggi dan suka mema’afkan serta suka mengampuni musuh yang sudah menyerah. Sehingga, ia mendapatkan banyak julukan kehormatan, seperti Dhramasuta (putera Dharma), Ajathasatru (yang tidak memiliki musuh), dan Bhārata (keturunan Maharaja Bharata). Kehebatan Yudistira mengantarnya menjadi seorang Maharaja dunia setelah perang akbar di Kurukshetra berakhir. Ia mengadakan upacara Aswamedha demi menyatukan kerajaan-kerajaan India Kuno agar berada di bawah pengaruhnya.

 

  1. 22.            BIMA

 

Sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/26/mengenal-lagi-budaya-indonesia-tokoh-wayang-pandawa-lima/

Nah, siapa yang pernah dengar nama tokoh wayang yang satu ini? Bima atau Werkudara dikenal pula dengan nama Balawa, Bratasena, Birawa, Dandunwacana, Nagata, Kusumayuda, Kowara, Kusumadilaga, Pandusiwi, Bayusuta, Sena, atau Wijasena. Ia tak asing lagi ditelinga kita. Sifat dan perwatakan yang gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur membuatnya lebih familier di tengah penonton wayang. Putra kedua dari Prabu Pandu, raja Negara Astina dan Dewi Kunti, putri Prabu Basukunti dengan Dewi Dayita dari negara Mandura ini mempunyai dua orang saudara kandung bernama: Puntadewa dan Arjuna, serta 2 orang saudara lain ibu, yaitu ; Nakula dan Sadewa.

Ia adalah seorang ahli permainan ganda. Ia bak kolektor senjata, karena berbagai senjata menjadi koleksinya, antara lain; Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala, Alugara, Bargawa (kapak besar) dan Bargawasta. Ia lebih gagah berani dengan ketiga ajian yang dimilikinya, yaitu Aji Bandungbandawasa, Aji Ketuklindu dan Aji Blabakpangantol-antol.

Ia mempunyai pakaian yang melambangkan kebesaran yaitu Gelung Pudaksategal, Pupuk Jarot Asem, Sumping Surengpati, Kelatbahu Candrakirana, ikat pinggang Nagabanda dan Celana Cinde Udaraga. Semangat hidup membara tak ubahnya sebagai api membara yang tak henti-hentinya menjadi motivator setiap langkahnya. Ia adalah tokoh yang banyak menorehkan prestasi. Berbagai penghargaan Dewata yang telah diterimanya antara lain, Gelang Candrakirana, Kalung Nagasasra, Kampuh (kain Poleng Bintuluaji), Sumping Surengpati dan pupuk Pudak Jarot Asem. Ia tinggal di kadipaten Jodipati, di wilayah negara Amarta dengan tiga orang isteri dan tiga orang anaknya, yaitu             1.Dewi Nagagini, berputra Arya Anantareja, 2.Dewi Arimbi, berputra Raden Gatotkaca dan 3.Dewi Urangayu, berputra Arya Anantasena. Bima diceritakan mati sempurna (moksa) bersama ke empat saudaranya setelah akhir perang Bharatayuda.

  1. 23.            NAKULA

Tokoh nakula ini merupakan tokoh yang paling sering kita dengar seperti halnya Sadewa. Sampai saat ini, nama nakula dan sadewa masih sering digunakan dalam dunia perfilman Indonesia. Mereka digambarkan sebagai tokoh yang kembar.  Nakula adalah putra keempat Prabu Pandudewanata, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Madrim, putri Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati, dari negara Mandaraka. Kemahirannya adalah dalam menunggang kuda dan pandai mempergunakan senjata panah dan lembing.

 

 

 

 

 

 

 

Sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/26/mengenal-lagi-budaya-indonesia-tokoh-wayang-pandawa-lima/

 

Nakulamemiliki Aji Pranawajati, sehingga Ia tidak akan dapat lupa tentang segala hal yang diketahui, karena ia pemberian Ditya Sapujagad, Senapati negara Mretani. Ia adalah penjelmaan Dewa kembar bernama Aswin, Sang Dewa pengobatan. Saudara kembarnya bernama Sadewa, yang lebih kecil darinya, dan merupakan penjelmaan Dewa Aswin juga. Setelah kedua orangtuanya meninggal, ia bersama adiknya diasuh oleh Kunti, istri Pandu yang lain.

Dropadi berkata bahwa Nakula merupakan pria yang paling tampan di dunia dan merupakan seorang ksatria berpedang yang tangguh. Ia giat bekerja dan senang melayani kakak-kakaknya. Dalam masa pengasingan di hutan, Nakula dan tiga Pandawa yang lainnya sempat meninggal karena minum racun, namun ia hidup kembali atas permohonan Yudistira. Dalam penyamaran di Kerajaan Matsya yang dipimpin oleh Raja Wirata, ia berperan sebagai pengasuh kuda.

  1. 24.            SADEWA

Sadewa adalah orang yang sangat rajin dan bijaksana yang ahli dalam ilmu astronomi. Ia sangat rajin bekerja dan senang melayani kakak-kakaknya. ia putra kelima atau bungsu Prabu Pandudewanata, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Madrim, putri Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati dari negara Mandaraka. Sadewa adalah adik dari Nakula. Mereka berdua adalah tokoh kembar dalam pewayangan. Ia mempunyai sifat jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia.

 

Sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/26/mengenal-lagi-budaya-indonesia-tokoh-wayang-pandawa-lima/

Dalam dunia pewayangan, Ia merupakan penjelmaan Dewa kembar bernama Aswin, Sang Dewa pengobatan. Sama halnya dengan saudara kembarnya yang bernama Nakula, yang merupakan penjelmaan Dewa Aswin juga. Setelah kedua orangtuanya meninggal, ia bersama kakaknya diasuh oleh Kunti, istri Pandu yang lain.

  1. 25.            BOGADATTA

Baiklah, sekarang kita mempelajari siapa sebenarnya tokoh Bogadatta ini. Bogadatta atau Bogadenta adalah putra mahkota seorang Raja negara Astina, yaitu Prabu Drestarasta. Ibunya bernama Dewi Gandari, putri Prabu Gandara dengan Dewi Gandini dari negara Gandaradesa. Ia terlahir dari keluarga terdahsyat, dengan jumlah saudara sebanyak seratus orang dengan rincian sebanyak 99 orang pria dan 1 orang wanita yang disebut Sata Kurawa.

 Menurut pedalangan Sata Kurawa adalah Duryudana (raja Negara Astina), Bomawikata, Citraksa, Citraksi, Carucitra, Citrayuda, Citraboma, Durmuka, Durmagati, Dursasana (Adipati Banjarjungut), Durgempo, Gardapati (raja Negara Bukasapta), Gardapura , Kartamarma, (raja negara Banyutinalang), Kartadenta, Surtayu, Surtayuda, Wikataboma, Widandini (raja negara Purantara) dan Dewi Dursilawati. Namun, tidak semuanya disebutkan dalam pendalangan ini.

Kembali pada Bogadatta, ternyata ia adalah seorang raja di negara Turilaya yang pandai bermain gada. Ia memiliki kendaraan gajah bernama Murdiningkung dengan srati atau pawang seorang prajurit wanita bernama Murdiningsih. Bogadatta memang tokoh yang sakti karena memiliki tingkat fokus yang tinggi. Ketika berada dalam sebuah peperangan, ia tak terkalahkan bersama gajah Murdiningkung dan srati Murdiningsih. Dalam perang Bharatayuda, mereka semua mati dalam peperangan oleh panah Trisula milik Arjuna.

  1. 26.            BOMANTARA

Pewayangan Indonesia menceritakan tentang Bomantara sebagai raja negara Trajutisna atau Prajatisa. Karena ketekunanya berlatih fokus dalam dunia bertapa, ia menjadi sangat sakti. Bomantara kurang disenangi masyarakat pecinta seni, apalagi penonton yang baru fresh dalam dunia pewayangan karena wataknya yang buruk, jahat, angkara murka, kejam, bengis dan selalu menurutkan kata hatinya.

Hidupnya diperuntukkan sebagai jalan kekacauan. Kesaktiannya disalahgunakan untuk serangkaian penyerangan. Prabu Bomantara pernah menyerang Suralaya dan mengalahkan para Dewa. Tak puas, Ia menyerang negara Gowasiluman, menewaskan Prabu Arimbaji untuk menguasai wilayah hutan Tunggarana. Belum puas dengan kekuasaan yang dimiliki, Prabu Bomantara kemudian menyerang negara Surateleng.  Begitulah Bomantara, selalu tak puas atas apa yang telah diperolehnya. Ia seakan tak ingin ada orang yang menyaingi kehebatannya. Sampai akhirnya Prabu Bomantara tewas dalam pertempuran melawan Prabu Narakasura.

 

  1. 27.            BRAJADENTA

Belum habis sampai disini. Brajadenta masihlah seorang tokoh dalam Mahabharata I yang terlahir dari pasangan wayang Prabu Arimbaka, raja raksasa negara Pringgandani dengan Dewi Hadimba. Ia masih saudara dengan Arimba atau Hidimba, Dewi Arimbi, Arya Prabakesana, Brajamusti, Brajalamatan, Brajawikalpa dan Kalabendana. Wataknya yang keras hati, ingin menangnya sendiri, berani serta ingin selalu menurutkan kata hatinya. Seperti halnya Bomantara, Brajadenta sangat sakti. Dewi Arimbi menunjuknya sebagai wakil raja negara Pringgandani selama Dewi Arimbi ikut suaminya.

Hidupnya selalu saja berselisih paham dengan kakaknya, sehingga pada akhir riwayatnya diceritakan, ketika mendengar Gatotkacalah yang dipilih untuk menjadi raja Pringgadani, Bajadenta dengan dibantu oleh ketiga adiknya, Brajamusti, Brajalamatan dan Brajawikalpa, melakukan pemberontakan karena ingin secara mutlak menguasai negara Pringgandani.

Gatotkaca tetap tenang, dan berhasil mangatasi hal ini dengan tewasnya Brajalamatan dan Brajawikalpa. Brajadenta dan Brajamusti melarikan diri dan berlindung pada kemenakannya, Prabu Arimbaji, putra mendiang Prabu Arimba yang telah menjadi raja di negara Gowasiluman di hutan Tunggarana.

Keinginannya yang kuat, tidak ingin terkalahkan membuatnya kembali memasuki negara Pringgandini dengan dibantu oleh Bathari Durga, untuk membunuh Gatotkaca. Lagi-lagi gagal, Brajadentapun tewas, dan arwahnya menjelma menjadi ajian/keaktian dan merasuk/menunggal dalam gigi Gatotkaca. Ajian ini yang membuat Gatotkaca memiliki kesaktian; barang siapa kena gigitannya pasti binasa.

  1. 28.            BRAJALAMATAN

Kita akan mencoba berkenalan dengan sosok antagonis dalam dunia pewayangan Mahabharata I Indonesia. tokoh yang satu ini mempunyai nama Brajalamatan. Ia dikenal sebagai tokoh yang berwatak keras hati dan agak berangasan, mudah marah, pemberani dan sangat sakti. Brajalamatan adalah putra keenam yang terlahir dari pasangan Prabu Arimbaka, raja raksasa negara Pringgandani dengan Dewi Hadimba. Tujuh orang saudara kandungnya, masing-masing bernama Arimba atau Hidimba, Dewi Arimbi, Brajadenta, Arya Prabakesa, Brajamusti, Brajawikalpa dan Kalabendana.

Sama halnya dengan Brajadenta, Brajalamatan sangat menentang keputusan Dewi Arimbi yang akan menyerahkan tahta kerajaan Pringgandani kepada Gatotkaca, putranya dengan Bima. Ia ikut terlibat langsung dalam gerakan pemberontakan dengan Brajadenta dan Brajamusti dalam upaya merebut tahta kerajaan Pringgandani dari tangan Gatotkaca. Di tangan Gatotkaca, Brajalamatan akhirnya mati, arwahnya menjelma menjadi ajian kesaktian manunggal di tangan kirinya.

  1. 29.            BRAJAMUSTI

Brajamusti komplotan yang tidak setuju atas penunjukan Gatotkaca sebagai raja Pringgadani. Ia dan Brajadenta adalah orang yang berhasil lolos ketika perang dengan Gatotkaca. Ia berlindung pada kemenakannya, Prabu Arimbaji, putra mendiang Prabu Arimba yang telah menjadi raja negara Guwasiluman di hutan Tunggarana.

Ia adalah putra ke-lima Prabu Arimbaka, raja raksasa negara Pringgandani dengan Dewi Hadimba. Bathari Durga membantunya kembali beraniat membunuh Gatotkaca melalui tangan ketiga. Caranya, dengan menjelma menjadi Gatotkaca palsu dan menganggu Dewi Banowati, istri Prabu Duryudana, raja negara Astina. Gatotkaca yang sangat saktipun mengatahui rencana liciknya. Brajamustipun tewas dalam petempuran melawan Gatotkaca, dan arwahnya menjadi ajian/kesaktian merasuk/menunggal dalam tangan kanan Gatotkaca.

  1. 30.            BRAJAWIKALPA

Brajawikalpa mempunyai perwatakan pemberani, tangguh, setia, sedikit serakah dan tidak mempunyai pendirian yang tetap. Ia adalah putra ketujuh Prabu Arimbaka, raja raksasa negara Pringgandani dengan Dewi Hadimba yang juga mendukung Brajadenta dan saudara-saudaranya yang lain ketika menentang Dewi Arimbi yang akan mengangkat Gatotkaca sebagai raja Pringgandani. Brajawikalpa tewas dalam pertempuan melawan Gatotkaca. Arwahnya menjelma menjadi ajian atau kesaktian berwujud perisai yang manunggal dalam punggung Gatotkaca.

  1. 31.            ARYA BURISRAWA

Tokoh ini bernama Arya Buriswara Burisrawa. Ia memiliki postur setengah raksasa, gagah perkasa dan sangat sakti. Wataknya sangat sombong, senang menurutkan kata hatinya,, pembawa onar, dendam, tak pernah mau mengalah, dan menyelesaikan segala sesuatu dengan jalan kekerasan. Putra ke-empat Prabu Salya, raja negara Mandaraka dengan permaisuri Dewi Pujawati atau Setyawati, putri tunggal Bagawan Bagaspati dari pertapaan Argabelah ini merupakan tokoh antagonis dalam dunia pewayangan. Dewi Erawati, Dewi Surtikanti, Dewi Banowati dan Bambang Rukmarata adalah empat saudara kandungnya.

Arya Burisrawa melabuhkan masa lajangnya dengan menikahi Dewi Kiswari, putri Prabu Kiswaka, raja dari negara Cedisekar atau Cindekembang. Ia memiliki putra bernama Arya Kiswara. Ia sangat akrab dengan saudara-saudara iparnya seperti Prabu Baladewa, raja Mandura, Prabu Duryudana, raja Astina dan Adipati Karna, raja Awangga. Ia ikut dipihak Kurawa dalam perang Bhratayuda. Dan gugur dalam peperangan melawan Arya Setyaki, putra Prabu Setyajid/Ugrasena, raja di negara Lesanpura.

  1. 32.            CAKIL

 Nama yang sangat singkat, mudah diingat. Kalau kita dengar nama ini, Cakil atau Gendirpenjalin, maka ingatlah wujudnya yang seperti raksasa dengan gigi tonggos berpangkat tumenggung. Tokoh ini dekat dengan cerita pendalangan Jawa. Ia dikenal dengan sifatnya yang pemberani, tangkas, trengginas, banyak tingkah dan pandai bicara, kejam, serakah, selalu menurutkan kata hati dan mau menangnya sendiri.

Raksasa hutan ini selalu ada dan hidup di setiap negara raksasa. dengan tugas merampok para satria atau merusak dan mengganggu ketenteraman kehidupan para brahmana di pertapaan. Dalam setiap peperangan Cakil mesti menemui ajalnya, karena  menurut cerita, ia dan anak buahnya merupakan lambang nafsu angkara murka manusia yang memang harus dilenyapkan.

  1. 33.            DADUNGAWUK

Dadungawuk dikenal sebagai penggembalakan kerbau atau Andanu (Jawa) yang indah milik Bathari Durga. Ia memiliki tubuhh paling kerdil, sanagt berbeda dengan raksasa yang lain. Anak buah dari Bhatara Durga ini adalah raja semua makhluk siluman yang bertahta di Kahyangan Setragandamayit. Tinggalnya di hutan Krendayana. Ia memelihara kerbau Bhatara Durga yang tubuhnya berwarna hitam, namun kakinya berwarna putih, sangat menarik perhatian.

Karena indahnya, kerbau ini pernah dipinjam keluarga Pandawa untuk memenuhi persyaratan permintaan Dewi Sumbadra, putri Prabu Basudewa dengan permaisuri Dewi Badrahini dari negara Mandura, ketika dipinang oleh Arjuna.

Semula, Dadungawuk bersikeras menolak. Ia tetap tak terkoyahkan, memegang teguh sikapnya. Namun goyah setelah suatu hal. Andanu baru diperbolehkan dipinjam ketika Ia telah dikalahkan oleh Bima. Andanu akan digunakan untuk memeriahkan pawai perkawinan Dewi Subadra dengan Arjuna di negara Dwarawati. Dan, Dadungawuk sendiri bertindak sebagai pawangnya atas izin Bhatari Durga. Setelah pesta perkawinan selesai, Dadungawuk dan Andanu kembali kehutan Kerndayana.

  1. 34.            ARYA DANANJAYA

Siapakah Arya Dananjaya?. Dalam cerita pedalangan Jawa, Ia dikenal sebagai lakon yang sangat sakti. Ia memiliki pusaka berupa jala sutra yang berwujud emas. Pantaslah Ia sakti, karena Ia adalah raja Jin negara Madukara, di kawasan hutan Mertani. Dua kakak kandungnya bernama Prabu Yudhistira, raja Jin negara Mertani dan Arya Dandunwacana yang bersemayam di kesatrian Jodipati. Dua saudara seayah lain ibunya bernama Ditya Sapujagad yang bertempat tinggal di kesatrian Sawojajar, dan Ditya Sapulebu di kesatrian Baweratalun.

Suatu ketika, Ia bersama kakaknya, Arya Danduwacana, Arya Dananjaya menjadi benteng disebuah kerajaan siluman yang dalam penglihatan mata biasa merupakan hutan belantara yang sangat angker. Ia juga menjadi senapati perang negara Mertani.

Hutan Mertani berhasil ditaklukan keluarga Pandawa. Ini semua diceritakan berkat daya kesaktian minyak Jayengkaton yang diperoleh Arjuna dari Bagawan Wilawuk. Naga bersayap dari pertapaan Pringcendani, Arya Dandunwacana yang kalah dalam peperangan melawan Bima atau Werkudara menyerahkan hak memakai nama Arya Dandunwacana, pusaka Jala Sutra Emas, negara Madukara beserta seluruh balatentaranya kepada Arjuna. Ia juga menjelma atau sejiwa dengan Arjuna. Nama Dananjaya menjadi nama sebutan Arjuna, dan memberi saran kepada Arjuna untuk mengawini Dewi Ratri, putri Prabu Yudhistira dengan Dewi Rahina yang sesungguhnya pewaris tunggal negara Madukara.

  1. 35.            ARYA DANDUNWACANA

Banyak raja jin dalam dunia pewayangan. Karena memang semula dunia pewayangan merupakan semacam media upacara sakral penghormatan terhadap arwah nenek moyang. Namun, dunia pewayangan sekarang telah banyak mengalami pergeseran. Dalam pewayangan Jawa diceritakan, ara sosok raja jin yang menguasai negara Mertani. Ia bersemayam di kesatrian Jodipati.  Arya Dandunwacana adalah adik Prabu Yudhistira. Ia mempunyai adik kandung bernama Arya Dananjaya yang bersemayam di kesatiran Madukara. Dua saudaranya seayah lain ibu bernama Ditya Sapujagad, bertempat tinggal di kesatiran Sawojajar dan Ditya Sapulebu yang bertempat tinggal di kesatiran Baweratalun.

Tubuhnya yang tinggi besar, gagah perkasa. Selaras dengan wataknya yang dikenal sebagai pemberani, jujur, setia dan memiliki rasa tanggung jawab yang besar. Di negara Mertani, sebuah kerajaan siluman yang dalam penglihatan mata biasa merupakan sebuah hutan belantara yang angker, Ia bersama adik-adiknya menjadi senapati perang.

Hutan Mertani berhasil ditaklukan keluarga Pandawa, putra Prabu Pandu raja negara Astina, berkat daya kesaktian Minyak Jayengkaton milik Arjuna pemberian dari Bagawan Wilawuk. Naga bersayap dari pertapaan Pringcendani, Arya Dandunwacana yang kalah dalam peperangan melawan Bima/Werkudara akhirnya menjelma atau sejiwa dengan diri Bima. Kepada Bima, Arya Dandunwacana menyerahkan; hak memakai nama Arya Dandunwacana, negara Jodipati, gada pusaka bernama Rujakpala dan seluruh balatentaranya antara lain para putra Slagahima (Podangbinurehan, Dandangminangsi, Jangettinelon, Celengdemalung, Menjanganketawang dan Cecakandon) dan Patih Gagakbaka.

  1. 36.            DANURWENDA

Sekarang kita ke negara Jangkarbumi, tempat dimana Arya Danurwena dengan permaisuri Dewi Ganggi, putri Prabu Ganggapranawa dari negara Tasikraja memimpin kerajaan. Ketika Arya Danurwenda masih kecil, ia tak enghiraukan adanya perang Bharatayudha, Ia tetap tinggal di kahyangan Saptapratala bersama kakeknya, Hyang Anantaboga.

Arya Danurwenda adalah seorang raja yang memiliki sifat dan perwatakan; jujur, pendiam, sangat berbakti pada yang lebih tua dan sayang kepada yang muda, rela berkorban dan besar kepercayaannya kepada Sang Maha Pencipta. Ia mendapatkan seorang istri yang cantik, bernama Dewi Kadriti, cucu Prabu Kurandageni dari negara Tirtakandasan. Seorang putra bernama Nagapratala, telah menghiasi harinya di kerajaan. Kulit Danurwenda yang Napakawaca, membuatnya kebal terhadap segala macam senjata. Danurwenda juga mewarisi cincin Mustikabumi dari ayahnya, Anantareja, yang mempunyai kesaktian, menjauhkan dari kematian selama masih menyentuh bumi atau tanah, dan juga dapat digunakan untuk menghidupkan kembali kematian di luar takdir.  Dalam hal kekuasaan, Ia memilih menjadi patih negara Astina di bawah pemerintahan Prabu Parikesit, dan menyerahkan Jangkarbumi kepada putranya, Nagapratala.

  1. 37.            PRABU DARMAHAMBARA

Setelah ke Jangkarbumi, kita jalan-jalan ke negara Giyantipura. Disana lahirlah Prabu Darmahambara sebagai raja negara Giyantipura. Permaisurinya bernama Dewi Swargandini, dan tiga orang putri kandungnya bernama Dewi Amba, Dewi Ambika dan Dewi Ambalika atau Ambiki. Suatu hari, Ia berniat untukmenikahkan putri-putrinya yang bernama Ambika dan Dewi Ambiki. Prabu Darmahambara menyelenggarakan sayembara tanding pilih menantu untuk dua orang putrinya saja, Dewi Ambika dan Dewi Ambiki. Karena Putri sulungnya, Dewi Amba telah bertunangan dengan Prabu Citramuka, raja negara Srawantipura, maka Ia tak ikut dipertaruhkan.

Dewabrata atau Bisma dari negara Astina dapat memenangkan sayembara tanding setelah mengalahkan dua raksasa kembar, Wahmuka dan Arimuka dua orang jagoan negara Giyantipura. Namun, ketiga putri Prabu Darmahambara mengalami nasib yang berbeda. Dewi Amba tewas oleh Dewabrata secara tidak sengaja. Dewi Ambiki dengan Prabu Wicitrawirya, dan Dewi Ambika menikah dengan Prabu Citragada keduanya putra Prabu Santanu dengan Dewi Durgandini dari negara Astina.

Prabu Citragada dan Prabu Wicitrawirya meninggal. Setelah itu Dewi Ambika menikah dengan Arya Drestarasta dan Dewi Ambiki dengan Pandu. Keduanya putra Dewi Durgandini dengan Bagawan Abiyasa, dari pertapaan Retawu. Dewi Ambika menurunkan keluarga Kurawa sedangkan Dewi Ambiki menurunkan keluarga Pandawa.

  1. 38.            DEWI DEWAYANI

Sekarang, kita mencoba berkenalan dengan  tokoh pewayangan yang sudah cukup tua yaitu Dewi Dewayani. Ia merupakan putri tunggal Resi Sukra, seorang brahmana mahasakti yang menjadi guru para daitya atau raksasa di negara Sakiya. Ibunya bernama Dewi Jayanti, putri Sanghyang Indra. Dan Ia adalah nenek-moyang keluarga wangsa Yadawa, Wresni dan Andaka. Dewayani menikah dengan Prabu Yayati, raja negara Astina. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra lelaki, masing-masing bernama Yadu dan Turwasu. Kedua putranya tersebut kelak menurunkan golongan wangsa Yadawa, Wresni dan Andaka (keluarga Mandura, Lesanpura, Kumbina dan Dwarawti).

Bagaimana dengan Resi Sukra yang bertapa memuja Bathara Prameswara selama l.000 tahun?. Ia mendapat ilmu Sanjiwani, mantra sakti yang dapat menghidupkan orang mati karena menghendaki kemenangan para daitya.

Ketakutan yang tinggi terhadap kutuk pastu Resi Sukra, membuat Prabu Wrisaparwa dan Dewi Sarmista memohon ampun dan bersedia memenuhi serta melaksanakan apa yang diminta atau dikehendaki Dewayani. Dewayani melakukan permintaan agar Sarmista menjadi budaknya. Dengan senang hati Sarmista memenuhi permintaan tersebut. Dewayani dimadu dengan Dewi Sarmista yang diperistri Prabu Yayati, dan berputra tiga orang lelaki, masing-masing bernama ; Druhyu, Anu dan Puru (menurunkan wangsa Kuru/Pandawa-Kurawa).

  1. 39.            ARYA DRESTADYUMNA

Arya Drestadyumna atau Trustajumena adalah lahir sebagai putra bungsu Prabu Drupada, raja negara Pancala. Ibunya bernama Dewi Gandawati, putri Prabu Gandabayu dengan Dewi Gandini. Dua orang kakak kandungnya masing-masing bernama Dewi Drupadi, istri Prabu Yudhistira, raja Amarta, dan Dewi Srikandi, istri Arjuna.

Drestadyumna adalah sosok yang berwajah tampan, memiliki sifat pemberani, cerdik, tangkas dan trenginas. Ia terlahir dari tungku pedupaan hasil pemujaan Prabu Drupada kepada Dewata yang menginginkan seorang putra lelaki yang dapat membinasakan Resi Drona yang telah mengalahkan dan menghinanya. Ia menikah dengan Dewi Suwarni, putri Prabu Hiranyawarma, raja negara Dasarna. Ia mendapat dua orang putra lelaki bernama; Drestaka dan Drestara.

 Drestadyumna ikut tampil sebagai senapati perang Pandawa, menghadapi senapati perang Kurawa, yaitu Resi Drona dalam kancah perang Bharatayuda. Pada saat itu roh Ekalaya, raja negara Parangggelung yang ingin menuntut balas pada Resi Drona menyusup dalam diri Drestadyumna. Resi Drona dapat dibinasakan oleh Drestadyumna dengan dipenggal lehernya setelah melalui pertempuran sengit. Drestadyumna mati setelah berakhirnya perang Bharatayuda karen dibunuh Aswatama, putra Resi Drona, yang berhasil menyusup masuk istana Astina dalam usahanya membunuh bayi Parikesit.

 

  1. 40.            RESI DRONA

Tak hanya orang yang memiliki nama muda, tokoh wayang yang satu ini juga memiliki nama muda. Resi Drona atau Durna yang waktu mudanya bernama Bambang Kumbayana adalah putra Resi Baratmadya dari Hargajembangan dengan Dewi Kumbini. Saudaranya seayah seibu bernama Arya Kumbayaka dan Dewi Kumbayani.  

Resi Drona menikah dengan putri Prabu Purungaji, raja negara Tempuru, yaitu Dewi Krepi dan memperoleh seorang putra bernama Bambang Aswatama. Ia berhasil mendirikan padepokan Sokalima setelah berhasil merebut hampir setengah wilayah negara Pancala dari kekuasaan Prabu Drupada.

Resi Drona ini dikenal sebagai lakon yang berwatak; tinggi hati, sombong, congkak, bengis, banyak bicaranya, tetapi kecakapan, kecerdikan, kepandaian dan kesaktiannnya luar baisa serta sangat mahir dalam siasat perang. Drona dipercaya menjadi guru anak-anak Pandawa dan Kurawa karena kesaktian dan kemahirannya dalam olah keprajuritan. Ia memiliki senjata pusaka sakti berwujud keris bernama Cundamanik dan panah Sangkali (diberikan kepada Arjuna).

Resi Drona diangkat menjadi Senapati Agung Kurawa dalam peran Bharatayuda setelah gugurnya Resi Bisma. Ia sangat mahir dalam siasat perang dan selalu tepat menentukan gelar perang. Namun, Resi Drona gugur di medan pertempuran oleh tebasan pedang Drestadyumna, putra Prabu Drupada, yang memenggal putus kepalanya. Konon kematian Resi Drona akibat dendam Prabu Ekalaya raja negara Parangggelung yang arwahnya menyatu dalam tubuh Drestadyumna.

  1. 41.            DRUPADA

Prabu Drupada, sanagt berbeda dengan namanya sewaktu masih muda.  Sewaktu mudanya, Ia bernama Arya Sucitra. Ia memiliki ayah yang bernama Arya Dupara dari Hargajambangan, turunan ke tujuh dari Bathara Brahma. Saudara sepupunya adalah Bambang Kumbayana atau Resi Drona dan menjadi saudara seperguruan ketika berguru pada Resi Baratmadya.

Arya Sucitra pergi meninggalkan Hargajembangan, untuk mengabdi dan mencari pengalaman hidup ke negara Astina, tepatnya  ke hadapan Prabu Pandu- dewanata. Seluk beluk tata kenegaraan dan tata pemerintahan , Ia tekuni dengan baik. Ia sangat memegang prinsip sikap patuh dan baktinya. Karena kepatuhan dan kebaktiannya kepada negara, oleh Prabu Pandu ia di jodohkan atau dikawinkan dengan Dewi Gandawati, putri sulung Prabu Gandabayu dengan Dewi Gandarini dari negara Pancala. Tiga orang putra menjadi pelipur hatinya, masing-masing bernama Dewi Drupadi, Dewi Srikandi dan Arya Drestadyumna.

Arya Sucitra dinobatkan menjadi raja Pancala dengan gelar Prabu Drupada menggantikan Prabu Gandabayu yang mangkat. Ia dipilih karena putra mahkota Prabu Gandabayu, Arya Gandamana menolak menjadi raja. Prabu Drupada berselisih dengan Resi Drona dalam masa kekuasaanya, dan setengah dari wilayah negara Pancala direbut secara paksa melalui peperangan oleh Resi Drona dengan bantuan anak-anak Pandawa dan Kurawa. Prabu Drupada tampil sebagai senapati perang Pandawa dalam perang besar Bharatayuda. Dan gugur melawan Resi Drona terkena panah Cundamanik.

  1. 42.            DEWI DRUPADI

 

http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/26/mengenal-lagi-budaya-indonesia-tokoh-wayang-pandawa-lima/

 

Tokoh yang cantik jelita, berambut hitam satu ini bernama Dewi Drupadi atau Dewi Kresna. Ia juga dikenal pula dengan nama Pancali (Mahabharata) adalah putri sulung Prabu Drupada, raja negara Pancala. Ibunya bernama Dewi Gandawati, Putri Prabu Gandabayu dengan Dewi Gandini. Selain cantik, Ia dikenal dengan keluhuran budinya, bijaksana,sabar, teliti dan setia. Ia selalu berbakti terhadap suaminya. Dua orang adik kandungnya bernama  Dewi Srikandi dan Arya Drestadyumna.

Dalam pedalangan Jawa diceritakan, Dewi Drupadi ini menikah dengan Prabu Yudhistira atau Puntadewa, seorang raja negara Amarta dan memiliki putra bernama Pancawala. Dalam cerita lain Mahabharata, Dewi Drupadi digambarkan telah menikah dengan lima orang satria Pandawa, Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa. Dengan lima orang putra, yaitu; 1.Partawindya dari Yudhistira. 2. Srutasoma dari Bima. 3. Srutakirti dari Arjuna 4. Srutanika dari Nakula 5. Srutawarman dari Sahadewa. Dewi Drupadi mati moksa bersama-sama dengan kelima satria Pandawa setelah berakhirnya perang Bharatayuda pada akhir riwayatnya.

  1. 43.            DURSALA

Selama ini, dunia pewayangan menceritakan Dursala sebagai tokoh antagonis yang memiliki sifat-sifat buru. Sifatnya yang mencolok adalah  takabur, besar kepala dan senang meremehkan orang lain, ia sangat sakti. Ia memiliki ayah yang bernama Arya Dursasana, Adipati Banjarjumut yang merupakan salah satu dari seratus orang keluarga Kurawa dengan Dewi Saltani. Badannya besar, gagah dan bermulut lebar.

Dursala juga menjadi murid kesayangan Bagawan Pisaca, seorang pendeta raksasa dari pertapaan Carangwulung di hutan Wanayasa,  selain pernah berguru pada Resi Drona. Ia diberi Aji Gineng oleh Bagawan Pisaca yang memiliki kesaktian  akan menghancurkan siapa saja yang digertak badannya olenya.

Ia menikah dengan Dewi Sumini. Putranya bernama Arya Susena. Pada akhirnya diceritakan bahwa Dursala tewas dalam pertempuran melawan Gatotkaca tatkala ia bermaksud menguasai negara Amarta. Badannya hancur terkena hantaman Aji Narantaka.

  1. 44.            DURSASANA

Dursasana adalah sosok antagonis dalam dunia pewayangan. Ia berbadan besar, gagah dan bermulut lebar, mempunyai watak dan sifat takabur, gemar bertindak sewenang-wenang, besar kepala, senang meremehkan dan menghina orang lain. Ia memiliki ayah bernama Prabu Drestarasta, raja di negara Astina. Dan  ibunya bernama Dewi Gandari, putri Prabu Gandara dengan Dewi Gandini dari negara Gandaradesa.

Ia tergolong sebagai Sata Kurawa (bersaudara 100 orang dengan 99 orang pria dan 1 orang wanita). Diantaranya yang disebutkan dalam pewayangan Jawa adalah Duryudana (raja Negara Astina), Bogadatta (raja negara Turilaya), Bomawikata, Citraksa, Citraksi, Carucitra, Citrayuda, Citraboma, Durmuka, Durmagati, Durgempo, Gardapati (raja Negara Bukasapta), Gardapura , Kartamarma, (raja negara Banyutinalang), Kartadenta, Surtayu, Surtayuda, Wikataboma, Widandini (raja negara Purantara) dan Dewi Dursilawati.

Dursasana menikah dengan putri Adipati Banjarjungut, Dewi Saltani. Seorang lelaki bernama Dursala adalah putranya dengan Dewi Saltani. Ia mempunyai sebuah keris pusaka yang luar biasa besarnya bernama Kyai Barla.

Dursasana mati dalam keadaan sangat menyedihkan di medan perang Bharatayuda oleh Bima atau Werkudara. Dadanya dibelah dengan kuku Pancanaka. Darah yang menyembur ditampung Bima untuk memenuhi sumpah Dewi Drupadi. Ia bersumpah akanmemakai kramas dan mencuci rambutnya. Kematian yang tragis dengan anggota tubuh dan kepala Dursasana hancur berkeping-keping, dihantam gada Rujakpala.

  1. 45.            DURSILAWATI       

 

Sumber: http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://2.bp.blogspot.com/

 

Inilah tokoh yang tercantik dari Saka Kurawa. Menurut cerita, Dewi Dursilawati adalah satu-satunya wanita dari 100 (seratus) orang putra Prabu Drestarasta, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Gandari, putri Prabu Gandara dengan Dewi Gandini dari negara Gandaradesa. Satu-satunya kurawa wanita yang terbentuk dari bagian daging terkecil. Ia memiliki suami Jayadrata yang dijodohkan oleh Sangkuni untuk menarik Jayadrata ke pihak Kurawa. Pedalangan mengenal Dursilawati sebagai penggoda dan pernah mendekati Arjuna walaupun gagal.

Tokoh Kurawa yang lain ada Hayabahu, Pandikunda, Prabhata, Pramathi, Rodrakarma, Sala, Tandasraya, Ugra, Sama, Satwa, Satyasanda, Senani, Sokarti, Subahu Jalasandha, Jarasanda, Jayawikata, Kanakadhwaja, Suhasta, Sukasananda, Kanakayu, Kawacin, Krathana, Kundabhedi, Kundadhara, Mahabahu, Mahacitra, Nandaka, , Sudatra, Suddha, Sugrama, Sulokacitra, Surasakti, Winda, Wirabahu, Wirada, Wisakti, Wiwitsu, Ugrasena, Ugrasrayi, Ugrayudha, Upacitra, Upanandaka, Urnanaba, Wedha, Wicitrihatana, Wikala, Wikatanana, Winda, Wirabahu, Wirada, Wisakti, Wiwitsu, dan Wyudoru

  1. B.     TOKOH PEWAYANGAN (MAHABHARATA II)
  2. 1.      PRABU GANDABAYU

Kali ini kita akan mencoba lebih mengenal tokoh-tokoh dalam Pewayangan Mahabharata II. Yang pertama adalah Prabu Gandabayu. Diceritakan dalam sejarah, bahwa Ia  adalah raja negara Pancala Prabu Gandabayu yang berwatak gagah berani, teguh sentosa, bersahaja, pendiam, dan sakti. Ia termasuk keturunan Resi Suksrana, murid Resi Boma. Dewi Gandarini adalah istri dan ibu dari dua orang putranya yang bernama Dewi Gandawati dan Arya Gandamana.

Hubungan yang sangat karibnya dengan Prabu Pandudewanata, raja negara Astina, membawa berkah ikatan keluarga antara keduanya. Mereka menikahkan Dewi Gandawati dengan Arya Sucitra, punggawa dan murid kesayangan Prabu Pandu Dewanata.

  1. 2.      GANDAMANA

Kalau kita sudah mengenal Gandabayu, maka kita juga harus mengenal lakon putra mahkota dari nagara Pancala, Arya Gandamana ini.  Kedua orang tuanya bernama Putra Prabu Gandabayu dan Dewi Gandarini.  Arya Gandamana  adalah tokoh yang sangat tampan, gagah, tegap, pendiam, pemberani, kuat dan sakti. Ia adalah Kakak kandung Dewi Gandawati yang terkenal sebagai ksatria yang tiada tandingannya.

Ia pernah mendapatkan ujian penyakit yang tak dapat disembuhkan. Ia dapat sembuh karena sumpahnya untuk tidak akan menjadi raja sesuai wangsit Dewata.  Iapun pergi mengabdikan ke negara Astina ke hadapan Prabu Pandu. Sumpahnya ternyata mendatangkan hikmah, selain kesembuhannya, iapun diangkat menjadi patih negara Astina.

Keteguhan sumpahnya sungguh mengagumkan. Meskipun Ia harus meninggalkan negara Astina karena pengkhianatan Sakuni (Sangkuning) dan ayahnya, Prabu Gandabayu meninggal. Ia adalah orang yang sangat ikhlas, Ia rela menyerahkan haknya menjadi raja kepada kakak iparnya, Arya Sucitra, menjadi raja Pancala bergelar Prabu Drupada.

Sayangnya, nyawanya harus tiada saat tewas dalam peperangan melawan Bima. Tepatnya saat terjadi penyerbuan anak-anak Kurawa dan Pandawa ke negara Pancala atas perintah Resi Drona. Versi lain mengatakan, Gandamana tewas dalam peperangan melawan Bima saat ia melakukan sayembara tanding dalam upaya mencarikan jodoh untuk Dewi Drupadi.

  1. 3.      DEWI GANDARI

Dewi Gandari disini sebagai lakon yang selalu iri hati, mementingkan diri sendiri dan pendendam. Dalam pewayangan ia diceritakan sebagai Putra dari Prabu Gandara, raja negara Gandaradesa dengan seorang permaisuri Dewi Gandini. Tiga orang yang menjadi saudara kandungnya bernama Arya Sakuni, Arya Surabasata, dan Arya Gajaksa.

Prabu Drestarasta putra dari pasangan Prabu Kresna Dwipayana atau Bagawan Abiyasa dan Dewi Ambika adalah seorang raja di negara Astina yang juga menjadi suaminya. Mereka adalah keluarga yang sangat romantis dan harmonis. Keharmonisannya membuahkan anugerah 100 (seratus) orang anak yang dikenal dengan nama Sata Kurawa. Sebenarnya, pada waktu dilahirkan, berwujud gumpalan darah kental, oleh Dewi Gandari dicerai beraikan menjadi seratus potongan, dan atas kehendak Dewata menjelma menjadi bayi normal.

Di antara mereka yang terkenal dalam pedalangan adalah: Durmagati, Durgempo, Widandini (Raja Purantara), Gardapati (Raja Bukasapta), Gardapura, Kartamarma (Raja Banyutinalang), Duryudana (Raja Astina),  Kartadenta, Surtayu, Bogadatta, (Raja Turilaya), Carucitra, Citrayuda, Citraboma, Dursasana (Adipati Banjarjungut), Durmuka, Kartadenta, Surtayu, Surtayuda, Wikataboma, dan Dewi Dursilawati (satu-satunya perempuan).

Ia pernah mendendam terhadap Pandu, karena tak jadi diperistri oleh Pandu, melainkan diperistri oleh kakak Pandu yaitu Drestarasta yang buta. Sehingga, hal inilah yang  menjadi penyebab utama kebencian anak-anaknya, Kurawa terhadap Pandawa. Pada akhirnya, Ia mati terjun ke dalam pancaka atau api pembakaran jenazah bersama Dewi Kunti dan Prabu Drestarasta setelah berakhirnya Perang Bharatayuda.

  1. 4.      GANDAWATI

Dewi Gandawati dikenal sebagai seorang putri yang cantik jelita, luhur budinya, bijaksana, sabar, teliti, serta setia. Ia sangat berbakti terhadap suaminya. ia  terlahir sebagai putri sulung Prabu Gandabayu, raja negara Pancala atau Pancalaradya (Jawa). Ibunya bernama Dewi Gandarini. Ia memiliki adik kandung bernama Arya Gandamana, seorang patih negara Astina pada zaman pemerintahan Prabu Pandu.

 

 

Sumber: http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://3.bp.blogspot.com /Gandawati-Solo-01.jpg&imgrefurl=http://tokohwayangpurwa.blogspot.com/2010

 

Suaminya bernama Arya Sucitra, putra Arya Sangara dari Hargajambangan yang telah lama mengabdi dan berguru pada Prabu Pandu di negara Astina. Sepeninggal Prabu Gandabayu, Gandamana ditunjuk untuk menggantikan kedudukan raja. Karena Gandamana menolak untuk dinobatkan menjadi raja, maka Arya Sucitra naik tahta menjadi raja kerajaan Pancala. Iapun mendapatkan gelar Prabu Drupada.

Dewi Gandawati mendapatkan anugerah tiga orang putra yang bernama: 1. Dewi Drupadi atau Pancali (Mahabharata) yang kemudian menjadi istri Prabu Yudhistira, raja negara Amarta. 2. Dewi Srikandi, yang kemudian menjadi istri Arjuna, 3. Dretadyumna atau Trustajumena, yang dalam Perang Bharatayuda berhasil membunuh Resi Drona. Di akhir hidupnya, Dewi Gandawati diceritakan ikut belapati, terjun ke dalam pancaka (api pembakaran jenasah) Prabu Drupada, suaminya yang gugur di medan Bharatayuda melawan Resi Drona.

  1. 5.      PRABU GARBANATA

Sekarang saatnya kita berkenalan di negara Garbaruci. Dunia pewayangan memperkenalkan Prabu Garbanata sebagai raja negara Garbaruci, didampingi permaisutinyayang bernama Dewi Danawati, putri Prabu Kalayaksa, raja negara Garbasumanda. Putrinya bernama Dewi Garbarini. Menurut cerita, Prabu Garbanata ini masih tergolong keturunan Prabu Kalaruci, seorang raja negara Karanggubarja, yang telah tewas dalam peperangan melawan Prabu Pandu saat menyerang Suralaya, karena keinginannya untuk memperistri bidadari Dewi Wersini.

Prabu Garbanata ingin merebut kembali negara Karanggubarja yang kini telah berganti nama menjadi negara Lesanpura dan dikuasai oleh Prabu Setyajid atau Arya Ugrasena dan Terdorong oleh rasa dendam terhadap keluarga Mandura. Akibatnya, penyerangan besar-besaranpun dilakukan terhadap negara Lesanpura. Prabu Garbanata kalah dalam peperangannya melawan Arya Setyaki, putra Prabu Setyajid dengan Dewi Wersini, yang memiliki senjata gada Wesikuning peninggalan Arya  Singamulangjaya, senapati perang negara Dwarawati.

Negara Garbaruci dan Lesanpura akhirnya melakukan perjanjian damai. Merekapun berdamai dan untuk mengukuhkan tali persaudraan, Dewi Garbarini, putri Prabu Garbasumanda kemudian dijodohkan dengan Arya Setyaki.

  1. 6.      GARDAPATI

Gardapati termasuk salah satu Kurawa bersaudara yang memiliki watak keras hati, congkak, cerdik dan licik. Ia sangat pandai dalam mempergunakan senjata gada dan lembing. Ia memiliki Ayah bernama Prabu Drestarasta, raja negara Astina. Ibunya adalah Dewi Gandari, putri Prabu Gandara dengan Dewi Gandini dari negara Gandaradesa.

Ia berhasil merebut negara Bukasapta dengan kesaktiannya dan mengangkat dirinya menjadi raja dengan gelar Prabu Gardapati. Gardapura, adik kesayangannya diangkat menjadi raja muda bergelar Prabu Anom Gardapura.

Gardapati dinobatkan sebagai senapati perang Kurawa dan senapati pendamping Prabu Wresaya, raja di negara Glagahtinalang saat berlangsungnya Perang Bharatayuda. Gardapati tewas dengan tubuh hancur dihantam gada Rujakpala dalam peperangan melawan Bima.

  1. 7.      GARDAPURA

Siapakah Gardapura dalam tokoh pewayangan Mahabharata?. Tokoh yang satu ini sangatlah licik, sifat sombongnya tak tertandingi. Ia juga sangat keras kepala, dan  cerdik. Ia adalah salah seorang dari Kurawa bersaudara yang dilahirkan sebagai putra dari Prabu Drestarasta, seorang  raja di negara Astina dan ibunya bernama Dewi Gandari, putri dari Prabu Gandara dengan Dewi Gandini dari negara Gandaradesa. Ia memiliki kepandaian dalam menggunakan senjata gada dan panah. Dalam cerita, Gardapura dikisahkan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan kakaknya, yaitu Gardapati. Kedekatannya ini sangat terlihat terutama ketika Ia diangkat menjadi raja pendamping dengan gelar Prabu Anom Gardapura ketika Gardapati menjadi raja di negara Bukasapta.

Perang Bharatayuda menjadi saksi akhir riwayatnya, ketika perang berlangsung, Gardapura diangkat menjadi senapati pendamping, mendampingi Resi Drona yang berkedudukan sebagai Senapati utama. Ia tewas dengan kepala hancur dihantam gada Rujakpala dalam peperangan melawan Bima.

  1. 8.      GARENG

Tokoh punakawan yang satu ini sangat istimewa. Ia diciptakan lengkap dengan filosofi tersendiri.  Gareng disebut-sebut sebagai anak Semar, Ia adalah punakawan kedua setelah semar. Gareng memiliki nama asli Bambang Sukskati. Ia memiliki Bapak yang bernama Resi Sukskadi dari padepokan Bluluktiba. Ia memiliki bentuk tubuh yang tidak begitu sempurna. Matanya juling, para ahli memberi filosofi nilai untuk selalu menjaga pandangan, artinya tidak mau melihat hal-hal yang mengundang kejahatan atau tidak baik. Sikil gejik seperti pincang pertanda tindakan yang waspada. Tangan ceko (melengkung) mempunyai makna dalam, yaitu tidak mau mengambil atau merampas hak orang lain.

 

 

Sumber: www.wayangprabu.com

 

Seorang Gareng, tetaplah Gareng. Gareng yang senang bercanda, setia kepada tuannya, dan gemar menolong. Ia sakti mandraguna, semua raja ditaklukkannya semenjak ia selesai bertapa. Kesaktian yang Ia miliki sekarang ini sebenarnya adalah buah dari pertapaannya selama bertahun-tahun di bukit Candala.

Sedangkan, matanya yang juling, hidung bulat bundar, tak berleher, perut gendut, dan kaki pincang, tangannya bengkok/tekle/ceko (Jawa), itu disebabkan karena sabda Semar atau Sang Hyang Ismaya, sehingga merubah wujudnya menjadi sangat jelek.  Hal ini dilakukan Semar untuk melerai perkelahian antara Bambang Sukskati (Gareng) dengan Bambang Panyukilan, putra Bagawan Salantara dari padepokan Kembangsore. Karena sama-sama congkaknya dan sama-sama mempertahankan pendiriannya Mereka juga tak mau berhenti berkelahi walau tubuh mereka telah saling cacad tak karuan. Terpaksa semar mengeluarkan sabdanya. Sang Hyang Ismayapun mengganti namanya menjadi Nala Gareng, sedangkan Bambang Panyukilan menjadi Petruk.

Nala Gareng memiliki istri yang bernama Dewi Sariwati, putri Prabu Sarawasesa dengan permaisuri Dewi Saradewati dari negara Salarengka. Ia mendapatkannya atas bantuan Resi Tritusta dari negara Purwaduksina. Nala Gareng berumur sangat panjang, konon ia hidup sampai zaman Madya.

  1. 9.      GATOTKACA

 

Sumber: http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://wayang.files.wordpress.com

 

Siapa yang tak mengenal Gatotkaca,  Ia bagaikan robot terkuat dalam dunia kini. Disamping sebagai kesatria perkasa berotot, Ia juga berkawat dan bertulang besi karena begitu kuatnya. Putra dari Bima dan Dewi Arimbi  ini mendapat tempat sebagai seorang raja muda dalam dunia pewayangan. Ia menjadi raja di Pringgadani, yang rakyatnya hampir seluruhnya terdiri atas bangsa raksasa. Sebelumnya, kakak ibunya yang bernama Arimba, menjadi raja di negeri itu.kesimpulannya,  Negeri ini diwarisi Gatotkaca dari pihak ibunya. Selama menjadi raja, Gatotkaca banyak dibantu oleh patihnya, Brajamusti, adik Arimbi. Karena, dirasa bahwa Gatotkaca masih membutuhkan banyak bimbingan, dan saran, terutama dari orang yang lebih tua atau yang dituakan untuk mendukungnya dalam tampuk kekuasaan sebagai raja muda di Pringgadani,.

Sejak di alam natal (kelahiran) Gatotkaca telah membuat panik semua orang di sekelilingnya. Ketika pemotongan tali pusarnya, ternyata tidak dapat diputus. Berbagai macam pisau dan senjata tak mampu memotong tali pusar itu. Akhirnya dipilihlah seorang Arjuna dari keluarga Pandawa  untuk mencarikan senjata yang paling ampuh.

Sementara itu para Dewa mengetahui hal tersebut. Bhatara Guru mengutus Bhatara Narada turun ke bumi membawa senjata pemotong tali pusar Gatotkaca. Namun keliruanpun dilakukan oleh Bhatara Narada. Senjata, yang bernama Kunta Wijayandanu, itu bukan diserahkan pada Karna yang wajah dan penampilannya mirip Arjuna, bukanlah pada Arjuna.

Terpaksa Arjuna mencoba merebut senjata itu dari tangan Karna untuk memperoleh senjata pemberian dewa itu. Ternyata usahanya hanya sia-sia. Bilah senjata Kunta tetap dilarikan Karna, Arjuna hanya dapat merebut sarung (warangka) senjata sakti itu. Untunglah ternyata sarung Kunta itu pun dapat digunakan memotong tali pusar Gatotkaca. Namun, begitu tali pusar itu putus, warangka Kunta langsung melesat masuk ke dalam pusar bayi itu.

Setelah tali pusarnya putus, Gatotkaca dibawa Bhatara Narada ke Kahyangan untuk menghadapi Kala Sakipu dan Kala Pracona yang mengamuk. Bima dan keluarga Pandawa lainnya mengizinkan, meskipun awalnya Bima dan Dewi Arimbi tidak merelakan anaknya yang baru lahir itu dibawa Narada. Namun, setelah mendengar penjelasan bahwa menurut ramalan para dewa, Kala Sakipu dan Kala Pracona memang hanya dikalahkan oleh bayi yang dinamakan Tutuka itu, Bima dan Arimbipun memberi izin.

Bayi Tutuka pun ditaruh di hadapan kedua raksasa sakti itu setelah tiba di Kahyangan. Kala Sakipu langsung mengambil bayi itu dan mengunyahnya. Tutuka ternyata bukanlah bayi biasa. Tubuhnya tetap utuh, walau raksasa itu mengunyah kuat-kuat. Akhirnya, bayi itu dibantingnya sekuat tenaga ke tanah karena kesal atas kejadian tersebut. Tutuka pun pingsan. Bayi Tutuka diambil oleh Batara Narada, dan dimasukkan ke Kawah Candradimuka setelah ditinggal pergi oleh kedua raksasa itu. Kawah ini menjadi saksi Gatotkaca ktika digembleng oleh Empu Bhatara Anggajali. Setelah penggemblengan selesai, bayi itu sudah berubah wujud menjadi kesatria muda yang perkasa begitu muncul kembali dari Kawah Candradimuka. Ia mengenakan penutup kepala gaib yang menyebabkannya tidak akan kehujanan dan tidak pula kepanasan, yaitu caping Basunanda, serta terompah Padakacarma yang jika digunakan menendang, musuhnya akan mati. Para dewa lalu menyuruhnya berkelahi melawan balatentara raksasa pimpinan Prabu Kala Pracona dan Patih Kala Sakipu lagi. Gatotkaca ternyata sanggup menunaikan tugas itu dengan baik. Kala Pracona dan Kala Sakipu dapat dibunuhnya.

Ternyata, Gatotkaca memiliki tiga orang istri yang bernama Dewi Pregiwa sebagai istri pertama. Dewi Sumpani sebagai istri keduanya dan Dewi Suryawati, putri Bhatara Surya sebagai istri ketiga.

Ia hanya memiliki tiga orang putra dari masing-masing istrinya. Sasikirana dari perkawinan dengan Pergiwa.Arya Jayasumpena, anaknya dengan Dewi Sumpani. Sedangkan Suryakaca adalah anaknya dengan Dewi Suryawati.Gatotkaca diangkat menjadi senapati dan gugur pada hari ke-15 oleh senjata Kunta yang dilemparkan Karna dalam cerita Bharatayuda. Senjata Kunta Wijayandanu menembus perut Gatotkaca melalui pusarnya dan masuk ke dalam warangkanya.

Gatotkaca gugur saat ia mendapati senjata sakti Kunta yang dilempar Karna itu terus saja memburunya, meskipun Ia terbang amat tinggi. Ketika jatuh ke bumi, Gatotkaca berusaha agar terjatuh tepat pada tubuh Adipati Karna. Namun, senapati Kurawa itu dengan cepat melompat menghindar sehingga yang hancur hanyalah kereta perangnya. Sebagai raja muda Pringgadani, Gatotkaca memiliki gelar Prabu Anom Kacanagara. Namun, gelar ini hampir tidak pernah disebut dalam pergelaran wayang.

Sebenarnya Gatotkaca mempumyai nama lain dalam dunia pewayangan, yang lebih terkenal adalah Tutuka, Guritna, Gurubaya, Purbaya, Bimasiwi, Krincingwesi, Arimbiatmaja, dan Bimaputra. Nama Kalananata, Kancingjaya, Trincingwesi, dan Mladangtengah sering disebutkan dalam wayang golok Sunda. Gatotkaca adalah lakon yang amat sayang pada sepupunya, Abimanyu. Sewaktu Abimanyu hendak menikah dengan Siti Sundari, Gatotkaca banyak memberikan bantuannya.

Berbagai lakon yang melibatkan Gatotkaca:
1. Gatotkaca Lahir;
2. Pregiwa – Pregiwati;
3. Gatotkaca Sungging;
4. Gatotkaca Sewu;
5. Gatotkaca Rebutan Kikis;
6. Wahyu Senapati;
7. Brajadenta – Brajamusti;
8. Kalabendana Lena;
9. Gatotkaca Rante;
10. Sumbadra Larung;
11. Aji Narantaka;
12. Gatotkaca Gugur.

  1. 10.  DEWI HANGYANAWATI

Dewi Hangyanawati atau Yadnyanawati berwajah sangat cantik dan memiliki sifat yang lembut, sederhana, baik budi, penuh belas kasih, dan teguh dalam pendirian. Ia adalah putri raja negara Surateleng, Prabu Narakasura, dan Dewi Yadnyagini. Dewi Hagnyanawati adalah istri Bhatara Derma titisan Bhatari Derma, yang menitis pada Raden Samba/Wisnubrata, putra Prabu Kresna dengan permaisuri Dewi Jembawati.

Dewi Hagnyanawati sendiri diperistri oleh Bambang Sitija yang setelah menjadi raja negara Surateleng dan Prajatisa bergelar Prabu Bomanarakasuira. putranya  Arya Watubaji. Sesuai dengan ketentuan dewata, karena tiba saatnya titis Bhatari Dermi harus bersatu kembali dengan titis Bhatara Derma, suaminya, dengan bantuan Dewi Wilutama, Dewi Hagnyanawati dipertemukan dengan Raden Samba, di keputrian negera Surateleng. Setelah ada kesepakatan, mereka kemudian meninggalkan keputrian Surateleng pergi ke negara Dwarawati.

Perbuatan Dewi Hangnyawati dan Raden Samba ini membangkitkan kemarahan Prabu  Bomanarakasura, yang segera menyerang negara Dwarawati untuk merebut kembali Dewi Hangnyanawati istrinya. Prabu Bomanarakasura tewas dalam peperangan melawan Prabu Kresna, ayahnya sendiri. Dewi Hagnyanawati kemudian menjadi istri Raden Samba, sesuai dengan takdir dewata.

Diceritakan, Dewi Hagnyanawati mati bunuh diri terjun ke dalam pancaka (api pembakaran jenazah) bela mati atas kematian Raden Samba yang tewas dalam peristiwa perang gada sesama Wangsa Yadawa

  1. 11.  BAMBANG IRAWAN

Bambang Irawan lahir di pertapaan Yasarata. Diceritakan bahwa Ia adalah putra Arjuna, salah satu dari lima satria Pandawa. Ibunya bernama Dewi Ulupi, putri dari Bagawan Kanwa dari pertapaan Yasarata. Sejak kecil, Ia tinggal di pertapaan bersama ibu dan kakeknya. Ia adalah lakon yang tenang, tekun, jatmika, dan wingit. Ia bersama dengan 13 orang saudaranya seayah namun lain ibu, yakni Abimanyu, Sumitra, Bratalaras, Kumaladewa, Kumalasakti, Wisanggeni, Wilungangga, Endang Pregiwa, Endang Pregiwati, Prabukusuma, Wijanarka, Antakadena, dan Bambang Sumbada.

Alkisah, pendalangan menceritakan bahwa Irawan telah tewas dalam peperangan melawan putra Prabu Jatagempol dengan Dewi Jatagini dari negara Gowabarong, yaitu Ditya Kalasrenggi, menjelang pecahnya perang Bharatayuda.

  1. 12.  JAHNAWI

Dari namanya, kita sudah bisa menebak kira-kira siapakah tokoh Dewi Jahnawi ini.  Pewayangan Mahabharata sering memperkenalkannya sebagai Dewi Gangga. Ia adalah wanita yang terlahir sebagai seorang hapsari atau bidadari yang turun ke Arcapada karena kutukan Bhatara Brahma. Suaminya yang telah digariskan, bernama Bhatara Mahabhima.  Ia juga terkena kutukan nantinya, karena kutukan Bhatara Brahma, Bhatara Mahabhima menjelma menjadi Prabu Santanu, raja di negara Astina, putra Prabu Pratipa dan Dewi Sumanda. Perkawinan yang membawa anugerah. Ia memperoleh delapan orang putra. Namun, ketujuh putranya ditakdirkan begitu lahir, langsung dibuang ke Sungai Gangga. Hanya seorang yang ia kehendaki hidup dan diberi nama Dewabrata (kelak lebih dikenal sebagai Resi Bisma). Dewi Jahnawi kembali ke kahyangan, dan hidup normal sebagai hapsari atau bidadari begitu kelahiran Dewabrata. Hal ini sesuai dengan perjanjiannya terhadap Prabu Santanu. sedangkan    bayi Dewabrata ia serahkan pada asuhan Prabu Santanu.

  1. 13.  JARAMEYA dan JURANGMEYA

Jarameya dan Jurangmeya ditakdirkan menjadi makhluk siluman dalam dunia pewayangan. Jarameya dan Jurangmeya terkenal sebagai siliman yang sangat sakti. Ia adalah raksasa kembar yang menghuni hutan Krendayana. Sesuai dengan kodratnya, mereka hanya bisa disakiti, dikalahkan, tetapi tidak bisa mati, bertugas atas perintah Bhatari Durga, raja siluman yang bertakhta di Kahyangan Setragandamayit. Dengan tugas yang utama adalah mengganggu para kesatria yang sedang bertapa

  1. 14.  PRABU JARASANDA

Dalam dunia pewayangan, Prabu Jarasanda dikenal berperawakan tinggi besar, gagah, perkasa dan berwajah setengah raksasa. Ia sangatlah begis, angkara murka, dan ingin menang sendiri. Hidupnya ditakdirkan sebagai penganiaya yang keras hati, serta selalu menurutkan kata hati. Ia menjadi raja negara Magada. Masih berdarah keturunan raja raksasa dari negara Widarba, yaitu Prabu Darmawisesa. Kesaktiannya tak tertandingi. Sehingga, Prabu Jarasanda berkeinginan untuk menjadi raja besar yang menguasai jagad raya. Keinginannya ini didukung oleh sahabat karibnya yang juga sekutunya, raja negara Kadi, yaitu Prabu Supala.

Ambisi tamak dan jahatnya tersebut bertentangan dengan kodrat hidup dan dapat merusak ketenteraman jagad raya. Awalnya saja, Prabu Jarasanda bermaksud menyelenggarakan persembahan darah seratus orang raja kepada Bhatari Durga. Tak ayal jika ia harus berhadapan dengan Bhatara Wisnu. Nasib tak pernah diduga datangnya, Prabu Jarasanda akhirnya tewas dalam pertempuran melawan Bima atau Werkudara dengan tubuh yang hancur terkena hantaman gada Rujakpala.

  1. 15.  PRABU JATAGEMPOL

Prabu Jatagempol i ni adalah lakon yang sangat tekun bertapa. Sehingga,  Prabu Jatagempol menjadi sangat sakti, berwatak angkara murka, bengis dan selalu ingin menang sendiri. Ia diangkat menjadi raja raksasa di negara Guwabarong karena Ia masih termasuk keturunan Prabu Kalasasradewa, raja raksasa di negara Guwamiring yang tewas dalam pertempuran melawan Prabu Pandu.

Ia pernah berupaya untuk merebut Dewi Arumbini, istri Arya Prabu Rukma. Namun akhirnya, Prabu Jatagenpol menikah dengan Dewi Jatagini, dan mempunyai seorang anak yang bernama Kalasrenggi. Ia memiliki dendam kesumat terhadap keluarga Pandawa. Ia ingin membinasakan keluarga Pandawa yang merupakan keturunan Prabu Pandu untuk membalas dendam kematian Prabu Kalasasradewa, ayahnya. Prabu Jatagempol menyerang negara Amarta, dan akhirnya Ia harus tewas dalam pertempuran melawan Arjuna dengan tubuh yang hancur terkena panah Kiai Sarotama.

  1. 16.  ARYA JAYADRATA

Arya Jayadrata mempunyai sifat perwatakan berani, penuh kesungguhan, dan setia. Menurut cerita, Ia mahir mempergunakan panah dan sangat ahli bermain gada.  Nama aslinya adalah Arya Tirtanata atau Bambang Sagara. Ia hidup dengan ayah angkatnya yang bernama Resi Sapwani atau Sempani dari padepokan Kalingga, yang tercipta dari bungkus Bima atau Werkudara. Ia memiliki gelar Prabu Sinduraja setelah dinobatkan sebagai raja negara Sindu.

Prabu Sinduraja pergi ke negara Astina untuk berguru dan memperdalam pengetahuannya dalam bidang tata pemerintahan dan tata kenegaraan pada Prabu Pandu Dewanata. Ia kemudian menukarkan namanya dengan nama Jayadrata yang menjadi patihnya untuk menjaga kehormatan dan harga diri.  Di negara Astina, Ia diambil menantu oleh Prabu Drestarasta setelah bertemu dengan keluarga Kurawa dan dikawinkan dengan Dewi Dursilawati (bungsu Kurawa).

Selain itu, Ia juga diangkat sebagai Adipati Buanakeling. Dua orang putranya bernama Arya Wirata dan Arya Surata. Ia mendapatkan pusaka gada bernama Kiai Glinggang dari Resi Sapwani. Namun. Jayadrata tewas oleh Arjuna di medan Bharatayuda sebagai senapati perang Kurawa dengan kepala yang terpangkas lepas dari badannya oleh panah sakti Pasopati.

  1. 17.  PRABU JAYAMURCITA

Di negara Plangkawati, kita akan berkenalan dengan Prabu Jayamurcita. Ia menjadi raja di negara ini, sedangkan adik kandungnya yang bernama Jayasemadi menjadi patihnya. Menurut cerita pendalangan, mereka berdua masih termasuk keturunan raja negara Madukara (lama), yaitu Prabu Kumbala.

Suatu ketika, Prabu Jayamurcita yang merasa sangat sakti mengutus adiknya yang bernama Patih Jayasemedi untuk pergi ke negara Madukara dengan tujuan melamarkan Dewi Sumbadra, istri dari Arjuna. Tindakan gila dan sangat lancang ini begitu memancing kemarahan seorang putra tunggal Dewi Sumbadra dengan Arjuna yaitu Abimanyu.

 Akhirnya Abimanyu menyerang negara Plangklawati dengan bantuan saudara sepupunya, Raden Gatotkaca, raja negara Pringgandani. Prabu Jayamurcita tewas oleh Abimanyu oleh tusukan keris Pulanggeni. Sedangkan Patih Jayasemedi tewas dalam peperangan melawan Gatotkaca. Prabu Jayamurcita menyerahkan kekuasaan negara Plangkawati beserta seluruh balatentaranya dan gelar keprabuannya kepada Abimanyu sebelum menemui ajalnya. Kemudian Prabu Jayamurcita mati moksa, dan sukmanya manunggal dalam tubuh Abimanyu.

  1. 18.  JAYASUPENA

Seperti Ayahnya, Arya Jayasupena atau Jayasumpena adalah tokoh yang perlu diteladani dari segi tabiatnya. Kesetiaan, keberanian, dan kegagahannya tak berbeda dengan Ayahnya, Gatotkaca yang berani, cerdik pandai, waspada, teguh, tangguh, cerdik pandai, waspada, gesit, tangkas dan terampil, tabah, dan memunyai rasa tanggung jawab yang besar. Ia adalah putra Gatotkaca, raja negara Pringgandani dan putri Prabu Sarawisesa dari negara Selarengka yaitu Dewi Sumpani. Dua orang saudaranya yang seayah namun lain ibu bernama Bambang Sasikirana (putra Dewi Pregiwa) dan Arya Suryakaca (putra Dewi Suryawati, putri Bathara Surya dengan permaisuri Dewi Ngruni).

Yang berbeda dari Jayasupena adalah dalam keahlian terbang. Jayasupena berbeda dengan ayahnya yang sangat mahir dalam hal terbang. Jayasupena tidak bisa terbang.

Ketika perang Bharatayuda berlangsung, Arya Jayasupena hanyalah seorang anak kecil yang masih kecil untuk ikut terjun ke kancah Bharatayuda. Arya Jayasupena diangkat menjadi panglima perang negara Astina dalam masa pemerintahan Prabu Parikesit, anak Abimanyu setelah berakhirnya Perang Bharatayuda. Sedangkan negara Astina kembali ke dalam kekuasaan Pandawa.

  1. 19.  JEMBAWATI

Namanya adalah Dewi Jembawati. Ia adalah pribadi yang memiliki kepribadian sabar, sangat berbakti,  jujur, setia, dan penuh belas kasih. Dewi Jembawati. Putrid tunggal yang satu ini memiliki ayah yang bernama Resi Jembawan (berwujud kera atau wanara) dari pertapaan Gadamadana. Ibunya bernama Dewi Trijata, seorang putri dari Gunawan Wibisana dan Dewi Triwati (seorang hapsari atau bidadari) dari negara Alengka atau Singgela.

Dalam kisah pewayangan, Ia diceritakan menikah dengan PPrabu Kresna. Ia bersuami sang Prabu sebagai janji dewata kepada Dewi Trijata, ibunya, Dewi Jembawati agar dapat bersuamikan Prabu Kresna, raja negara Dwarawati, titisan terakhir Sang Hyang Wisnu. Selama menjadi permaisuri Prabu Kresna, ia lebih sering tinggal di pertapaan Gadamadana mengasuh Gunadewa, daripada tinggal di istana Dwarawati  Dua orang putranya bernama: Samba, yang berwajah sangat tampan, dan Gunadewa. Ia memiliki wujud sebagai kera, karena garis keturunan dari Resi Jembawan. Ia meninggal dalam usia lanjut dan dimakamkan di pertapaan Gadamadana.

  1. 20.  PRABU JUNGKUNGMADEYA

Nama tokoh ini hanya ada di dalam cerita pewayangan Jawa. Dalam cerita, Negara Awu-awulangit dipimpin oleh sang raja yang bernama Prabu Jungkungmadeya. Lakon cocogan ini memiliki kekuatan yang sangatlah sakti. Ia dapat beralih rupa dan juga memiliki aji Sirep yang semakin memperbanyak kesaktiannya.

Ia pernah berhasil memasuki keputrian Pancala dan menculik Dewi Srikandi ketika lamarannya ditolak. Semua itu dilakukan dengan ajiannya yang dapat beralih muka menjadi siapapun.  Ia berubah menjadi Arya Drestadyumna (adik Dewi Srikandi) palsu. Prabu Jungkungmardeya memang bercita-cita ingin memperistri putri kedua Prabu Drupada dengan Dewi Gandawati dari negara Pancala yaitu Dewi Srikandi ini. Drestadyumna mengetahui gelagatnya. Ia berusaha merebut Dewi Srikandi dari tangan Prabu Jungkungmardeya. Namun, ironisnya, Iapun akhirnya tewas terbunuh dalam peperangan.

Prabu Drupada meminta bantuan keluarga Pandawa dalam upaya pembebasan Dewi Srikandi. Karena mati sebelum takdir, Drestadyumna dapat dihidupkan kembali. Dewi Srikandi yang tadinya diculik, akhirnya ditemukan oleh Arjuna yang sedang mengejar ke negara Awu-awulangit. Dalam peperangan melawan Arjuna, Prabu Jungkungmardeya akhirnya tewas dengan panah Pasopati.

  1. 21.  ARYA KALABENDANA

Ada lagi tokoh protagonis dunia pendalangan. Ia bernama Arya Kalabendana. Arya Kalabendana memiliki sifat yang melekat dalam pribadinya, yaitu setia, jujur, suka berterus terang dan tidak bisa menyimpan rahasia. Ia hidup bersama ayah dan Ibunya sebagai putra bungsu. Ayahnya bernama Prabu Arimbaka, seorang raja raksasa di negara Pringgandani. Ibunya adalah Dewi Hadimba. Tujuh orang saudara kandungnya bernama Arimba atau Hidimba, Dewi Arimbi, Brajadenta, Prabkesa, Brajamusti, Brajalamatan, dan Brajawikalpa.

Dalam pewayangan diceritakan kisahnya yang berakhir dengan kematian tanpa unsur kesengajaan. Kalabendana meninggal mendadak karena pukulan ketidaksengajaan seorang Gatotkaca. Tamparan Gatotkaca ke kepala Kalabendana tak sengaja membunuhnya. Padahal, tamparan Gatotkaca hanya bermaksud menghentikan teriakan Kalabendana. Teriakan Kalabendana memang sangat mengagetkan, yang membuka rahasia perkawinan Abimanyu dengan Siti Sundari (putri Prabu Kresna dengan Dewi Pratiwi) tatkala Abimanyu akan menikah dengan Dewi Utari (putri bungsu Prabu Matswapati dengan Dewi Ni Yutisnawati) dari Wirata.

Saat berlangsung Perang Bharatayuda, dendam Kalabendana terhadap Gatotkaca pun terlampiaskan. Arwahnya secara tepat menuntun senjata Kunta yang dilepas Adipati Karna, Raja Awangga masuk ke dalam pusar Gatotkaca. Gatotkaca pun kesakitan dan akhirnya mengakibatkan kematian baginya.

  1. 22.  KALAKATUNG

Raksasa hutan yang satu ini bernama Kalakatung atau sering pula disebut dengan Butaterong. Ia adalah tokoh pewayangan yang memiliki pembawaan agak tolol, bertubuh gemuk pendek, kepala gundul, dan berhidung besar bulat seperti terong. Oleh karena itu, Ia disebut sebagai Butaterong. Biasanya, dalam cerita pewayangan, Kalakatung  ditampilkan sebagai anak buah Yayahgriwa atau Cakil.

Suaranya yang bindeng (memiliki suara hidung yang setengah tersendat) membuat Kalakatung tampak lucu.  Meskipun daya berpikirnya sangat lambat, namun Ia memiliki kelebihan mampu bergerak dengan cekatan. Ia selalu menjadi bahan ejekan para punakawan, karena pembawaannya yang agak tolol ini. Kalakatung dalam peperangan biasanya mati oleh Gareng atau Petruk.

  1. 23.  KALARUCI

Di Negara Karanggubarja, kita mengenal Prabu Kalaruci sebagai raja raksasa yang masih keturunan Bathara Kalagotama. Kalaruci dikenal sebagai putra pasangan wayang Dewi Pramuni dari kahyangan Setragandamayit dengan Bathara Kala. Kalayaksadewa adalah saudara kandungnya yang menjadi raja di negara Gowamiring.

Memang, Prabu Kalaruci adalah lakon yang sangat sakti. Karena kesaktiannya tersebut, Ia jadi berani datang ke Suralaya untuk meminang Dewi Wersini, seorang bidadari keturunan Sang Hyang Pancaresi, yang waktu itu telah diperjodohkan dengan putra keempat Prabu Basukunti, dari negara Mandura yaitu Arya Ugrasena. Dan Arya Ugrasena yang didatangan ke Suralaya, ternyata tak mampu mengalahkan Prabu Kalaruci. Sehingga waktu itu, Bhatara Narada turun ke Arcapada untuk meminta bantuan Prabu Pandu atas perintah Bhatara Guru. Seluruh pasukan Astina di bawah pimpinan Patih Gandamana dan Arya Sucitra pun dikerahkan bersama Pandu untuk pergi ke Suralaya. Dalam peperangan tersebut, Prabu Kalaruci Dewi Wersini dan negara Karanggubarja kemudian disertahkan kepada Arya Ugrasena.

  1. 24.  KALASASRADEWA

Prabu Kalasasradewa masih termasuk keturunan Dewi Pramuni atau Bhatari Durga, Prabu Kalasasradewa. Ia adalah raja raksasa Negara Guwamiring yang sangat sakti. Pendalangan mengenal Kalasasradewa sebagai lakon yang berwatak angkara murka, serakah, tinggi hati, dan mau menang sendiri. Dua saudara kandungnya bernama Prabu Kalarodra, seorang raja di negara Girikadasar dan Prabu Kalayaksa yang menjadi raja di negara Garbasumanda. Mereka masih keturunan Bhatara Kalagotama, putra Bhatara Kala dengan Dewi Pramuni dari Kahyangan Setragandamayit.

Sifat mau menang sendiri tampak pada diri Kalasasradewa ketika Ia melakukan penyerangan terhadap negara Kumbina, hanya untuk merebut dan memperistri Dewi Rumbini, putri dari Prabu Rumbaka, yang sudah dipertunangkan dengan putra ketiga Prabu Basukunti dengan Dewi Dayita dari negara Mandura yaitu Arya Prabu Rukma. Peperangan antara Mandura melawan Gowamiring ini tak dapat terhindarkan. Prabu Kalasasradewa tak terkalahkan dalam peperangan tersebut. Termasuk semua putra-putra Mandura, seperti Arya Prabu Rukma, Arya Ugrasena, juga Prabu Basudewa tidak dapat mengalahkan Prabu Kalasasradewa. Prabu Kalasasradewa akhirnya tewas dalam peperangan melawan Prabu Pandu, raja negara Astina, suami dari Dewi Kunti (adik Prabu Basudewa).

  1. 25.  PRABU KALAYAKSA

Dalam dunia pewayangan kita mengenal Negara Garbasumanda. Negara ini dipimpin oleh seorang raja yang bernama Prabu Kalayaksa. Prabu Kalayaksa dikenal sebagai lakon yang memiliki watak bengis, suka menurutkan kata hati, kejam, serakah, mau menang sendiri, pemberani. Ia juga dikenal sebagai tokoh yang sangat sakti. Keluarga Prabu Kalayaksa masih mempunyai garis keturunan dengan Bathara Kalagotama, putra dari Bathara Kala dengan Dewi Pramuni atau Bathari Durga dari Kahyangan Setragandamayit. Termasuk dua saudara kandungnya yang bernama Prabu Kalarodra raja nergara Girikadasar dan Prabu Kalasasradewa yang menjadi raja di negara Guwamiring.

Prabu Kalayaksa memiliki hubungan yang tidak harmonis dengan negara Mandura. Mereka berseteru sejak jaman pemerintahan Prabu Baskunti. Hal ini dikarenakan Prabu Kalayaksa ingin merebut Dewi Badrahini, istri Prabu Basudewa. Peperangan demi peperangan dilancarkan.  Namun sebenarnya, peperangan yang dikerahkan dengan seluruh kekuatan tersebut bukan hanya bertujuan untuk hal itu, melainkan juga untuk membalas dendam atas kematian saudaranya, Prabu Kalasasradewa yang tewas dalam peperangan melawan Prabu Pandu di negara Mandura.

Prabu Kalayaksa mengalami nasib yang sama seperti Prabu Kalasasradewa yaitu tewas dalam pertempuran melawan Prabu Pandu, raja negara Astina. Namun, sebelum tewas, Prabu Kalayaksa berhasil menguasai sebagian wilayah negara Mandura, bahkan nyaris menguasai Kerajaan Mandura. Ini terjadi karena tak ada satupun putra-putra Mandura yang berhasil menandingi kesaktiannya. Kematian Prabu Kalayaksa bertepatan dengan kelahiran Raden Arjuna atau Permadi, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti.

  1. 26.  KANGSA

Kangsa namanya. Ia terlahir di negara Bombawirayang. Sejak kecil, Ia hidup dalam asuhan adik Prabu Gorawangsa yaitu Ditya Suratrimantra. Kangsa yang sering dipanggil Kangsadewa ini terlahira sebagai putra dari raja raksasa negara Gowabarong yang beralih rupa menjadi Prabu Basudewa, yaitu Gorawangsa. Ibunya adalah Dewi Mahira/ (Jawa: Maerah), seorang permaisuri dari Prabu Basudewa, raja Mandura. Ayah Kangsalah yang membuat Dewi Mahira terkecoh dengan penyamaran jitunya. Kangsa menjadi lakon wayang yang berwatak angkara murka, pengkhianat, keras hati, ingin menang sendiri,  dan selalu menurutkan kata hati.

Kangsa dibawa oleh Suratrimantra ke negara Mandura untuk menuntut haknya sebagai putra Prabu Basudewa setelah Ia tumbuh sebagai remaja. Prabu Basudewa yang tak tahu-menahu akhirnya bersedia mengakui Kangsa sebagi putranya karena takjub dengan kesaktian Kangsa. Kangsapun diberi kedudukan sebagai adipati di Kesatrian Sengkapura.

Kangsa yang berhianat berniat merebut takhta kekuasaan negara Mandura dari tangan Prabu Basudewa atas support dari pamannya yang sakti, Suratimantra. Pemberontakanpun diluncurkan. Namun, akhirnya pemberontakan Kangsa gagal. Iapun telah mati terbunuh ketika melawan Kakrasana dan Narayana, putra Prabu Basudewa dari permaisuri Dewi Mahendra. Sama halnya dengan sang paman, Suratimatra. Para ahli pewayangan menceritakan bahwa Ia akhirnya tewas dalam peperangannya melawan putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti yaitu Bima atau Werkudara.

  1. C.    TOKOH PEWAYANGAN (RAMAYANA)
  2. 1.      ANOMAN

 

Sumber: http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://a6.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos

Setelah tahu tokoh-tokoh pewayangan versi Mahabharata II, sekarang kita juga berkenalan dengan tokoh-tokoh pewayangan ala Ramayana. Yang pertama yaitu Anoman atau Hanoman. Anoman adalah putra Bathara Guru dengan Dewi Anjani, putri sulung Resi Gotama dengan Dewi Windradi dari pertapaan Erriya/Grastina. Lakon ini sangat unik dan terkenal. Ia sering diperankan dalam teater-teater masa kini, tak terkecuali dunia pertelevisian yang menjadi obat bius paling ampuhdi dunia. Sehingga, Lakon ini sangat familier di telinga dan mata kita.

Hanoman atau Anoman berwujud seperti kera putih, namun dapat berbicara dan beradat-istiadat seperti manusia. Ia seorang pemberani, sopan-santun, tahu harga diri. setia, prajurit ulung, waspada, pandai berlagu. Ia juga memiliki sifat rendah hati, teguh dalam pendirian, kuat, dan tabah. Beberapa orang juga megenal nama Anoman sebagai Yudawisma (panglima perang), Haruta (angin), Anjanipura (putra Dewi Anjani), Bayudara (putra Bhatara Bayu), Bayusiwi, Guruputra (putra Bhatara Guru), Senggana (panglima perang), Suwiyuswa (panjang usia) Handayapati (berkekuatan yang sangat besar), Yudawisma (panglima perang), Haruta (angin), Maruti, Palwagaseta (kera putih), Prabancana, Ramandayapati (putra angkat Sri Rama), dan Mayangkara (roh suci, gelar setelah menjadi pendeta di Kendalisada).

Pendalangan menyebut Anoman sebagai makhluk suci, kekasih dewata. Ia ditakdirkan berumur panjang, hidup dari zaman Ramayana sampai zaman Mahabharata, bahkan sampai awal/memasuki zaman Madya. Oleh karena itu, Ia mendapat anugerah Cupumanik Astagina.

Ia adalah makhluk yang sakti. Ia memiliki beberapa ajian yang sangat terkenal dengan sebutan triwikrama, yaitu aji Sepiangin (dari Bhatara Bayu), aji Pameling (dari Bhatara Wisnu), dan aji Mundri (dari Resi Subali, uwaknya). Ia memiliki asesoris pakaian yang melambangkan kebesaran, antara lain kelat bahu Sigar Blibar, pupuk Jarotasem Ngrawit, gelang atau binggel Candramurti, gelung Minangkara, kampuh atau kain Poleng bewarna hitam, merah, dan putih, dan ikat pinggang Akar Mimang.

Ia memilikii tiga istri dengan tiga kali pernikahan. Istri pertamanya bernama Dewi Urangrayung, putri Bagawan Minalodra dari Kandabumi. Mereka dianugerahi putra yang berwujud kera putih, yaitu Trigangga atau Triyangga. Istri keduanya bernama Dewi Sayempraba, seorang putri raksasa Wisakarma dari Gowawindu. Dengan istri yang kedua ini, Ia tidak mempunyai anak. Anoman kemudian menikah dengan Dewi Purwati, seorang putri dari Resi Purwapada dari pertapaan Andonsumawi. Ia memiliki putra bernama Purwaganti. Anoman harus mati dengan cara moksa, raga dan sukmanya lenyap di pertapaan Kendalisada.

  1. 2.      DASAMUKA

Inilah tokoh yang terkenal dengan ajian pancasonanya, Dasamuka atau Rahwana. Ia berwatak angkara murka, ingin menang sendiri, penganiaya, dan pengkhianat. Berani dan selalu menurutkan kata hati. Ia sangat sakti, memiliki aji Rawarontek dari Prabu Danaraja dan aji Pancasona dari Resi Subali adalah putra Resi Wisrawa dengan Dewi Sukesi, putri Prabu Sumali, raja negara Alengka.

Ia mempunyai empat orang saudara. Tiga orang saudara kandungnya bernama Arya Kumbakarna, Dewi Sarpakenaka, dan Arya Wibisana. Sedangkan saudaranya seayah lain ibu bernama Wisrawana atau Prabu Danaraja raja negara Lokapala, putra Resi Wisrawa dengan Dewi Lokawati. Dasamuka sangat gila kekuasaan. Ia menjadi raja negara Alengka mengantikan kakeknya, Prabu Sumali dengan menyingkirkan pamannya, Prahasta. Ia membunuh Prabu Danaraja, kakak tirinya dan merebut negara Lokapala.

Dasamuka pernah berjuang mendapatkan Dewi Tari, putri dari Bhatara Indra dengan Dewi Wiyati dengan cara penyerangan terhadap Suralaya. Tak sia-sia, karena sang Dewi ternyata menjadi istrinya. Putranya bernama Indrajid atau Megananda. Dasamuka tiddak puas terhadap istri satu, akhirnya tidak lama kemudian, Iapun  menikah dengan Dewi Urangrayung, putri Bagawan Minalodra. Anak pertamanya bernama Pratalamayam. Dasamuka mempunyai putra yang banyak dari seluruh istrinya, antara lain Yaksadewa, Trisirah, Trimuka, dan Trimurda.

Tak puas sampai disitu, ternyata Dasamuka juga sangat ingin memperistri wanita titisan Bhatari Sri Widowati. Ia pernah mengejar-ngejar Dewi Kusalya, ibu Prabu Rama, dan kemudian menculik serta menyekap Dewi Sinta, istri Prabu Rama selama hampir 12 tahun di Taman Argasoka negara Alengka.

Siapa yang dapat menaglahkan Prabu Dasamuka. Tak ada yang dapat menaklukkan kesaktian dan keangkaramurkaan Prabu Dasamuka. Entah itu Prabu Arjuna Sasrabahu, raja negara Maespati, ataupun Resi Subali, brahmana kera dari pertapaan Sonyapringga. hanya Prabu Ramawijaya, satria titisan Bhatara Wisnu yang akhirnya bisa menaklukkan Dasamuka.

Suatu ketika, Ramawijaya menembakkan panah Gowawijaya pada Dasamuka. Anoman ikut mengejar Dasamuka ke mana pun lari ketika dikejar panah tersebut, hingga Dasamuka bersembunyi di kedua gunung kembar. Ternyata kedua gunung kembar tersebut adalah penjelmaan anak kembar Dasamuka sendiri yang dulu dipenggal kepalanya untuk mengelabui Dewi Sinta bahwa dua kepala yang dipenggal adalah kepala Ramawijaya dan Leksmana. Gunung kembar tersebut perlahan-lahan mendekati Dasamuka dan menghimpitnya. Dasamuka pun akhirnya terjepit untuk selama-lamanya, tidak mati namun juga tak bisa ke mana-mana lagi. Begitulah, kedua anak kembar tersebut telah menjalankan karmanya dengan melakukan “balas dendam” terhadap ayah mereka sendiri yang telah banyak membuat angkara murka.

  1. 3.      DITYA JAMBUMANGLI

Ditya Jambumangli adalah adik Prabu Sumali, raja negara Alengka. Ia adalah putra Ditya Maliawan. Ia adalah seorang raksasa yang bertubuh pendek, namun sakti mandraguna.

Ia memendam rasa cintanya terhadap Dewi Sukesi, putri Prabu Sumali, yang berarti saudara sepupunya sendiri. Ia ingin menikahinya, tetapi keinginan itu hanya disimpan dalam hati. Ia terlalu takut untuk berterus terang. Apalagi ketika Dewi Sukesi menjadi lamaran banyak satria dan raja-raja, dan Dewi Sukesi sendiri juga mengeluarkan persyaratan penjabaran ilmu Sastra Harjendra Yuningrat. Prabu Sumali telah mengetahui perasaannya terhadap sang Dewi. Jambumangli mengajukan persyaratan permohonan dan persetujuan kepada Prabu Sumali: bahwa hanya mereka yang dapat mengalahkannya yang berhak memperistri Dewi Sukesi.

Jambumangli menghembuskan nafas terakhirnya dalam pertempuran melawan Resi Wisrawa, seorang brahmana dari pertapaan Girijembatan yang datang melamar Dewi Sukesi untuk putranya, Prabu Danaraja raja di negara Lokapala. Resi Wisrawa juga berhasil menjabarkan ilmu Sastra Harjendra Yuningrat. Sangat tragis kematian yang dialami oleh Jambumangli. Semua bagian tubuhnya terpotong-poptong. Sebelum ajal merenggut jiawanya, Jambumangli mengeluarkan kutukan, bahwa kelak akan ada anak Wisrawa yang mati dengan cara yang sama seperti dirinya.

  1. 4.      KUMBAKARNA

Mari kita berkenalan dengan tokoh yang satu ini. Lakon yang berkedudukan di kesatrian atau negara Leburgangsa. Perkenalkan, seorang tokoh yang berwatak jujur, berani karena benar, dan cinta tanah air ini, Kumbakarna namanya. Resi Wisrawa memiliki putra kedua yang bernama Kumbakarna. Ia memiliki Ibu yang bernama Dewi Sukesi, putri Prabu Sumali, raja negara Alengka. Tiga orang saudara kandungnya memiliki nama: Dasamuka atauRahwana, Dewi Sarpakenaka, dan Arya Wibisana. Saudara lain ibu Kambakara bernama Wisrawana atau Prabu Danaraja raja negara Lokapala, putra Resi Wisrawa dengan Dewi Lokawati.

 Sewaktu muda, ia pernah melewatkan waktunya pergi bertapa dengan maksud agar dapat anugerah dewa berupa kejujuran dan kesaktian. Selain itu, ia juga pernah ikut serta Prabu Dasamuka dalam penyerangan Suralaya. Dari penyerangan ini, Ia mendapatkan Dewi Aswani sebagai istrinya. Dua orang putranya dengan Dewi Aswani bernama Kumba-kumba (Kumbaaswani) dan Aswanikumba.

Pada waktu pecah perang, negara Alengka diserang balatentara kera Prabu Rama di bawah panglima perang Narpati Sugriwa untuk membebaskan Dewi Sinta yang disekap Prabu Dasamuka, Kumbakana maju sebagai senapati perang. Ia berperang bukan membela keangkaramurkaan Prabu Dasamuka melainkan membela negara Alengka, tanah leluhurnya yang telah memberinya hidup.

Kumbakarna akhirnya gugur dalam pertempuran melawan Prabu Rama dan Laksmana. Tubuhnya terpotong-potong menjadi beberapa bagian oleh hantaman senjata panah yang dilepas secara bersamaan. Apa yang terjadi pada diri Kumbakarna merupakan karma perbuatan Resi Wisrawa, ayahnya tatkala membunuh Jambumangli.

  1. 5.      LEKSMANA

Siapa yang sudah mengenali Leksmana?. Mari kita share tentang Leksmana disini. Leksmana atau Laksmana Widagda bertempat tinggal di kesatrian Girituba. Ia adalah putra Prabu Dasarata, raja negara Ayodya. Ibunya bernama Dewi Sumitra, putri Prabu Ruryana raja negara Maespati. Ia adalah permaisuri kedua Prabu Dasarata. Leksmana mempunyai empat orang saudara seayah lain ibu bernama: Ramawijaya/Ramadewa (dari permaisuri Dewi Kusalya), Barata, Satrugna, serta Dewi Kawakwa (ketiganya dari permaisuri Dewi Kekayi).

Leksmana adalah seorang satria brahmacari (tidak kawin). Perwatakan halus, setia, dan tak kenal takut melekat dalam dirinya. Sejak kecil Leksmana sangat dekat dan sangat sayang kepada Ramawijaya. Dunia pewayangan menceritakan bahwa Leksmana diyakini sebagai titisan Bhatara Suman, pasangan Bhatara Wisnu. Sehingga karena itulah Leksmana setia mengikuti Ramawijaya, yang merupakan titisan Wisnu untuk menjalani pengasingan selama 13 tahun bersama Dewi Sinta. Leksmana juga membantu Ramawijaya dalam merebut dan membebaskan kembali Dewi Sinta dari sekapan Prabu Dasamuka di Taman Argasoka negara Alengka.

Dalam perang besar di Alengka, Leksmana banyak menewaskan senapati ulung andalan Alengka. Ia menewaskan Dewi Sarpakenaka serta Indrajid/Megananda, keduanya adik dan putra kesayangan Prabu Dasamuka.

Setelah berakhirnya perang dan Ramawijaya beserta Dewi Sinta kembali ke negara Ayodya, dengan setia Leksmana tetap membantu Prabu Ramawijaya mengatur tata pemerintahan negara Ayodya. Ia meninggal dalam usia lanjut, dan jenazahnya dimakamkan di Gunung Kutarunggu berdampingan dengan makam Prabu Ramawijaya.

  1. 6.      LEMBUSURA

Wayang satu ini dikenal sebagai seorang patih di negara Gowa Kiskenda yang berada di bawah pemerintahan seorang raksasa  dengan kepala kerbau., yaitu Prabu Maesasura bernama Lembusura. Dunia pendalangan memperkenalkan Patih Lembusura dengan bentuk yang berbeda dengan yang lain.  Gampang diingat, karena ia berwujud raksasa berkepala sapi (lembu) sesuai dengan namanya. Ia juga memiliki saudara seperguruan yang juga memiliki wujud raksasa, namun berkepala gajah yang bernama bernama Diradasura.

Patih Lembusura pergi ke Suralaya demi  melamar Dewi Tara, putri Sang Hyang Indra dan Dewi Wiyati. Ia pergi atas perintah Prabu Maesasura. Diradasura pergi juga untuk menemani Patih Lembusura. Lembusura dan Diradasura mengamuk di Suralaya ketika lamarannya ditolak oleh Bhatara Guru. Dengan wewenang yang diberikan rajanya, Ia juga berhasil mengalahkan para Dewa. Bhatara Narada turun ke Arcapada atas perintah Bhatara Guru. Ia pun tak segan meminta bantuan Sugriwa, putra Resi Gotama dan Dewi Windradi atau Indradi dari pertapaan Erraya/Grastina yang saat itu sedang bertapa ngijang di hutan Sunyapringga. Lambusura dan Diradasura akhirnya mati ditangan Sugriwa dalam pertempuran di Mrepatkepanasan (nama lapangan di Suralaya).

  1. 7.      PRABU MAESASURA

Prabu Maesasura tak jauh beda dengan Patih Lembusura. Sebagai seorang raja negara Gowa Kiskenda, ia sangat sakti, kemampuannya yang luar biasa selaras dengan wujudnya seperti raksasa dengan kepala kerbau. Prabu Maesasura adalah raja yang mempercayai Lembusura (raksasa berkepala lembu) untuk menjadi seorang patih. Kesaktian yang dimiliki Prabu Maesasura juga tak lepas dari saudara seperguruannya yang bernama Jatasura, yaitu seekor harimau dengan rambut gimbal di lehernya. Mereka bedua (Prabu Maesasura dan Jatasura) seolah-olah dua jiwa yang satu, keduanya tidak dapat mati, jika tidak kedua-duanya tewas bersama.

Prabu Maesasura datang ke Kahyangan Kaindran dengan percaya diri tinggi. Ia yakin luar biasa karena kesaktiannya. Ia menggunakan kelebihan tersebut untuk melamar putri sulung Bhatara Indra dan Dewi Wiyati, yaitu Dewi Tara,. Ia tak mau ditolak,karena kalau lamarannya ditolak, Prabu Maesasura dan Jatasura mengancam akan menghancurkan Kahyangan Keindran dengan seluruh bala tentaranya yang sangat kuat.

Sang Bhatara Indra meminta bantuan kepada kedua putra Resi Gotama dan Dewi Indradi dari pertapaan Grastina atau Erraya, yaitu Subali dan Sugriwa. Ia meminta bantuan mereka untuk menghadapi dan membunuh Prabu  Maesasura, Jatasura, dan Lembusura. Akhirnya Prabu Maesasura, dan Jatasura dapat dibinasakan oleh Subali yang menantang masuk ke dalam Gowa Kiskenda. Mereka tewas dengan perlakuan yang tidak diharapkan. Kepala Maesasura dan Jatasura diadu kumba (saling dibenturkan satu dengan yang lain) hingga pecah dan mati seketika di dalam saat yang bersamaan. Sedangkan patih Lembusura dapat dibinasakan oleh Sugriwa.

  1. 8.      PRABU DANARAJA

Prabu Danaraja  adalah pengganti ayahnya, Resi Wisrawa, yang mengundurkan diri jadi raja negara Lokapala dan memilih hidup sebagai brahmana di pertapaan Girijembatan. Ia sangat sakti karena memiliki aji Rawarontek dan pusaka Gandik Kencana. Dulu, ia bernama Wisrawana, ia juga dikenal sebagai Prabu Danapati dan Prabu Bisawarna. Sebagai putra tunggal Resi Wisrawa, raja negara Lokapala dan Dewi Lokawati, putri Prabu Lowana dengan Dewi Lokati, Ialah yang ditunjuk untuk menjadi pengganti ayahnya. Empat saudaranya seayah namun lain ibu bernama Rahwana atau Dasamuka, Arya Kumbakarna, Dewi Sarpakenaka, dan Arya Wibisana. Mereka adalah putra Resi Wisrawa dengan Dewi Sukesi, putri Prabu Sumali dari negara Alengka.

Prabu Danaraja melakukan penyerangan terhadap negara Alengka dan bertempur dengan ayahnya sendiri. Ia melakukannya saat merasa mengalami kegagalan dalam bercinta. Ia telah gagal memperistri Dewi Sukesi, putri Prabu Sumali raja negara Alengka karena Ia telah diperistri ayahnya sendiri, Resi Wisrawa, yang telah berhasil menjabarkan ilmu Sastra Harjendra Yuningrat dan membunuh Ditya Jambumangli. Dalam pertempuran tersebut, ia berhasil membunuh Resi Wisrawa. Ternyata perbuatannya terhadap sang ayah dibalas oleh Rahwana atau Dasamuka beberapa tahun kemudian. Ia tewas terbunuh dalam peperangan melawan Dasamuka. Namun, Prabu Danaraja terlebih dahulu menyerahkan aji Rawarontek dan pusaka Gandik Kencana kepada Dasamuka sebelum menemui ajalnya.

  1. 9.      PRAHASTA

Prabu Sumali memiliki putra yang berwatak jujur, setia, dan penuh pengabdian bernama Patih Prahasta. Ibunya bernama  Desidara, permaisuri di negara Alengka. Kakak kandungnya bernama Dewi Sukesi yang menjadi istri kedua Resi Wisrawa dari pertapaan Girijembatan, wilayah negara Lokapala.

Sebenarnya Ialah yang berhak menjadi pewaris tahta negara Alengka, karena Ia adalah putra mahkota negara Alengka. Namun, ketakutannya terhadap kesaktian yang dimiliki Rahwana, putra Dewi Sukesi dengan Resi Wisrawa, membuatnya merelakan tahta negara Alengka tak jatuh ke tangannya. Rahwana menjadi raja, dan dia bersedia menduduki jabatan patih.

Prahasta maju menjadi senapati perang setelah gugurnya Dewi Sarpakenak dalam pecahnya perang Alengka. Tak lagi terhitung berapa jumlah balatentara kera Prabu Rama yang mati oleh keganasan Prahasta. Anila, patih negara Kiskenda memberanikan diri, maju menghadapi keperkasaan Prahasta. Ia menggunakan strategi yang konyol namun berbeda dengan yang lain. Dengan siasat perangnya menghindar, mundur, dan balas menyerang, Ia mampu mengalahkan Prahasta yang terus mengejar Anila. Di tengah strategi pelariannya yang bertumpu sampai di tepi hutan, Anila tiba-tiba melihat sebuah patung batu dalam keadaan hampir terjebak. Dengan segenap tenaga, patung itu diangkat dan dihantamkan ke kepala Prahasta. Prahastapun tewas seketika dengan kepala hancur bersamaan dengan pecahnya tugu tersebut. Menurut cerita, tugu itu adalah penjelmaan Dewi Indradi, ibu dari Dewi Anjani.

  1. 10.  SARPAKENAKA

Seorang wanita dalam dunia pewayangan, puti ketiga Resi Wisrawa dengan Dewi Sukesi, putri Prabu Sumali, raja negara Alengka. Ia bernama Dewi Sarpakenaka.  Dari ayahnya, Ia mendapatkan empat orang saudara. Namun, saudara kandungnya hanya tiga, yaitu Dasamuka/Rahwana, Arya Kumbakarna, dan Arya Wibisana. Saudaranya yang lain ibu bernama Prabu Danaraja atau Danapati, raja negara Lokapala, putra Resi Wisrawa dengan Dewi Lokawati.

Sarpakenaka memiliki kuku yang berbisa ular dan merupakan senjata pusaka yang diandalkan. Karena kesaktiannya, ia menjadi tokoh pewayangana yang berwatak congkak, ganas, bengis, angkara murka, dan serakah. Suaminya tak hanya Ditya Kardusana, tapi juga Ditya Nopati.

Dewi Sarpakenaka memiliki karakter sangat agresif. Suatu ketika, dengan kesaktiannya, Ia pernah beralih rupa menjadi wanita jelita dan mulai merayu Leksmana di hutan Dandaka. Ia memaksa Leksmana untuk menjadi suaminya. Sayangnya, Leksmanamenolak lamarannya. Dewi Sarpakenaka tak peduli, Ia tetap memaksakan kehendak. Leksmana sangat marah dan mengambil langkah kekerasan dengan memangkas kutung hidungnya serata pipi.

Suatu ketika, penyerbuan oleh Prabu Rama dan tentara keranya menggemparkan negara Alengka. Mereka datang dengan tujuan untukmembebaskan Dewi Shinta yang diculik dan disekap Prabu Dasamuka. Kebetulan Leksmana menjadi salah satu panglima perangnya.  Dewi Sarpakenaka maju sebagai senapati perang Alengka.dan dengan penuh dendam ia bertempur melawan Laksmana. Sangat tragis, Sarpakenaka akhirnya mati terbunuh oleh panah sakti Surawijaya, setelah sebelumnya kuku saktinya dicabuti oleh Anoman.

  1. 11.  SINTA           

Tokoh yang satu ini merupakan tokoh yang banyak difavoritkan para pecinta cerita pewayangan. Dewi Sinta, namanya sering bergema di berbagai media, baik media cetak maupun media pertelevisian. Ia sering menjadi tokoh utama seri percintaan. Sehingga, sangat dekat dengan telinga masyarakat.

Dewi Sinta  terlahir sebagai putri Prabu Janaka, raja negara Mantili atau Mitila (Mahabharata). Pewayangan meyakini Dewi Sinta sebagai titisan Bhatari Sri Widowati, istri dari Bhatara Wisnu. Ia dikagumi karena kecantikan dan sifat baiknya yang lain. Selain sangat cantik, Dewi Sinta merupakan putri yang sangat setia, jatmika (selalu dengan sopan santun), dan suci trilaksita (ucapan, pikiran dan hati).

Hal inilah yang membuat Ramawijaya, putra Prabu Dasarata dengan Dewi Kusalya dari negara Ayodya terkagum-kagum. Sehingga Ia bertekad untuk memenangkan sayembara. Semangat kekuatannya membuat Rama berhasil memenangkan sayembara mengangkat busur Dewa Siwa di negara Mantili. Ia akhirnya mendapatkan Dewi Sinta, dan menikahinya. Dari perkawinan tersebut ia mendapatkan anugerah dua orang putra bernama Lawa dan Kusya.

Inilah istri yang sempurna. Kesetiaannya terhadap Rama, membuat Ia tergerak mengikuti suaminya, Ramawijaya, menjalani pengasingan. Meskipun sudak diperistri Rama, Dewi Sinta tetap menjadi incaran Prabu Dasamuka. Sehingga suatu ketika, karena terpesona oleh keindahan Kijang Kencana penjelmaan Ditya Marica, Dewi Sinta akhirnya diculik oleh Prabu Dasamuka dan ditawan di Taman Argasoka negara Alengka hampir 12 tahun lamanya. Ramawijaya yang kebingungan, tak bosan mencari dan mencari. Ia akhirnya bisa membebaskan Dewi Sinta setelah berhasil membinasakan Prabu Dasamuka dan semua senapati perang Alengka.

Dalam cerita Mahabharata lainnya, dijelaskan bahwa karena kecurigaan Prabu Rama terhadap kesucian Dewi Sinta,  membuat Dewi Sinta tidaklah lama tinggal di istana Ayodya sebagai permaisuri Prabu Rama. Walau hukum bakar di Alengka menjadi bukti kejujuran Dewi Sinta, tetap saja tak dihiraukan oleh Rama. Dewi Sinta kemudian diasingkan dari istana Ayodya, dan hidup di pertapaan Resi Walmiki. Di tempat itulah Dewi Sinta melahirkan kedua putra kembarnya yang bernama Lawa dan Kusya. Dan Akhir riwayatnya diceritakan, Dewi Sinta mati ditelan bumi saat akan boyong kembali ke istana Ayodya.

  1. 12.  SUKESI

Seorang yang terlahir dari negara Alengka, Dewi Sukesi adalah anak kandung dari Prabu Sumali, seorang raja negara Alengka dan Dewi Desidara. Ia juga memiliki seorang adik dari rahim ibu yang sama, bernama Prahasta. Dewi Sukesi berbeda dengan ayahnya yang memiliki wujud raksasa, Dewi Sukesi memiliki wajah cantik seperti ibunya, seorang hapsari atau bidadari. Sifatnya yang dewasa, dan bersahaja, jujur, setia, membuatnya selalu kuat dalam pendirian.

Ia cantik, betapa banyak para satria dan raja yang melamarnya. Ia melakukan sayembara untuk menetapkan pilihan. Dia akan memilih siapapun yang bisa menjabarkan ilmu Sastra Harjendra Yuningrat. Sayembara akhirnya berakhir setelah dimenangkan oleh Resi Wisrawa, brahmana dari pertapaan Girijembatan. Pernikahanpun terjadi. Resi Wiarawa menikahi Dewi Sukesi atas Prabu Wisrawana atau Danaraja, raja negara Lokapala.

 Tak hanya dapat menjabarkan ilmu Sastra Harjendra Yuningrat, ia juga berhasil membunuh Ditya Jambumangli. Dewi Sukesi menolak dinikahkan dengan Prabu Danaraja, lebih memilih menikah dengan Resi Wisrawa. Dari perkawinan tersebut, ia memperoleh empat orang putra, masing-masing: Rahwana, Arya Kumbakarna, Dewi Sarpakenaka, dan Arya Wibisana. Dewi Sukesi diceritakan meninggal karena sedih dan sakit setelah istana Alengka dibakar oleh Anoman.

  1. 13.  SUMALI

Tokoh wayang yang satu ini terlahir dari pasangan wayang Prabu Sukrasa dengan permaisuri Dewi Subakti bernama Sumali. Namanya Sumali, Sumali adalah lakon yang sangat berbeda dalam dunia pewayangan. Ia memiliki watak brahmana seperti ayahnya. Namun ayahnya mengundurkan diri sebagai brahmana. Ia adalah raja Aditya negara Alengka yang memerintah negara dengan arif dan bijaksana, adil dan jujur. Istrinya bernama Dewi Desidara, seorang hapsari keturunan Bhatara Brahma dari permaisuri Dewi Sarasyati. Dan Ia mendapatkan Dewi Sukesi dan Prahasta, dua orang putra hasil pernikahannya.

Suatu hari Ia menginginkan menantu yang bisa menjabarkan ilmu Sastra Harjendra Yuningrat atas permintaan Dewi Sukesi. Atas desakan Ditya Jambumangli, putra Ditya Maliawan, Prabu Sumali menyelenggarakan sayembara tanding untuk mencari jodoh bagi putrinya, Dewi Sukesi. Sayembara berakhira atas kemenangann di pihak Resi Wisrawa dari pertapaan Girijembatan wilayah negara Lokapala setelah menewaskan Ditya Jambumangli. Ia berhasil menjabarkan ilmu Sastra Harjendra Yuningrat atas permintaan Dewi Sukesi.

Kekuasaan kerajaan Alengka diserahkan kepada cucunya, Rahwana, putra Dewi Sukesi dengan Wisrawa setelah usia Prabu Sumali cukup renta. Dan Ia meninggal setelah peristiwa pembakaran istana Alengka oleh Anoman.

  1. 14.  WISWARA

Dunia pewayangan memperkenalkan seorang putra Resi Supadma dari pertapaan Giri Jembatan, yang bernama Wisrawa. Resi Wisrawa sangat sakti mandraguna. Ia terkenal dengan ilmu kasidannya. Resi Wisrawa masih tergolong keturunan Bhatara Sambodana, putra Bhatara Sambu. Ia dinikahkan dengan saudara sepupunya yang bernama Dewi Lokawati, putri Prabu Lokawana raja negara Lokapala. Dengan permaisuri Dewi Lokawati tersebut, Ia memeroleh seorang putra bernama Wisrawana.

Atas persetujuan Dewi Lokawati, Resi Wisrawa dilantik menjadi raja negara Lokapala setelah Prabu Lokawana, mertuanya mangkat. Namun, Ia tidak lama memerintah Lokapala. Putranya, Wisrawalah yang menggantikan takhta kerajaan. Wisrawana menjadi raja negara Lokapala, dan mendapatkan gelar Prabu Danaraja atau Danapati atau Prabu Wisawarna. Kemudian, Ia hidup sebagai brahmana di pertapaan Girijembatan.

Resi Wisrawa inilah yang diatas telah diceritakan menikah dengan Dewi Sukesi, putri Prabu Sumali raja negara Alengka dengan Dewi Desidara karena kemenangannya dalam sayembara. Atas usahanya berhasil menjabarkan ilmu Sastra Harjendra Yuningrat dan membunuh Ditya Jambumangli dalam sayembara memperebutkan Dewi Sukesi. Keempat orang putranya bernama Rahwana atau Dasamuka, Arya Kumbakarna, Dewi Sarpakenaka, dan Arya Wibisana.

Karena hal ini, Prabu Danapatipun marah. Ia adalah putra Resi Wisrawa yang juga menginginkan Dewi Sukesi. Ketika Ia mengetahui ternyata Dewi Sukesi diperistri oleh ayahnya sendiri, Ia segera melancarkan serangan ke negara Alengka. Ironisnya, karena wanita yang dicintainya, terjadilah pertempuran antara anak dan ayah yang menewaskan Resi Wisrawa.


 

BAB V

UNSUR PERTUNJUKAN WAYANG

Indonesia mengenal wayang sebagai salah satu artefak budaya yang telah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Dan ternyata berdasarkan beberapa penghargaan yang diperoleh, cukup membuktikan bahwa kesenian yang sangat berbeda ini hingga kini menjadi ciri khas Indonesia yang telah sangat dikenal dan digemari oleh dunia internasional. Seni wayang memiliki beberapa hal yang dapat menjadi pusat perhatian dunia Internasional. Keberadaannya tidak hanya memikat karena wujud seni cerita dan pertokohannya saja, namun mereka juga sangat tertarik dengan seni permainan boneka dan pentasnya, filsafat, seni sastra dan pesan-pesannya juga seni suara dalang maupun karawitannya. Semua hal inilah yang membuat pertunjukan wayang menjadi kemasan seni yang demikian indah, terkadang menghanyutkan. Keterpaduan seni wayang dengan berbagai disiplin ilmu seni acap kali mengantarkannya sebagai seni yang adiluhung.

Namun tidak dapat dipungkiri, kesenian wayang menjadi semakin pudar di mata masyarakat Indonesia pada umumnya dan orang jawa khususnya. Padahal, wayang menjadi icon penting seni pertunjukan karena ia menyuguhkan lakon cerita tentang kehidupan dan sejarah kemanusiaan, menjadi media transfer filosofi dan kearifan Jawa, dan menjadi media hiburan bagi warga di tengah keringnya kehidupan manusia akibat budaya kapitalis dan materialis.

Butuh tekad yang tinggi untuk memperjuangkan kesenian wayang ini, karena  perjuangan dalam dunia seni memang lebih sering menonjolkan nilai spirit panggilan nurani, daripada sekedar materi. Di Jogjakarta, beberapa komunitas pecinta wayang masih dapat bertahan semata-mata karena mereka selama ini telah bekerja keras serta melakukan segala usaha untuk menjaga kesenian ini tetap dapat hidup di tengah-tengah masyarakat.

Kesenian wayang memiliki potensi yang sangat berharga, sehingga sangatlah tidak bijak jika generasi muda yang masih menyala-nyala dengan kreatifitasnya malah meninggalkan kesenian yang sudah menjadi daya tarik global tersendiri. Wayang harus dikembangkan, mengingat bahwa wayang merupakan salah satu asset kesenian dan sudah menjadi budaya bangsa Indonesia yang penuh dengan makna filosofi dan pandangan hidup.Tak ada lagi ghirah pemuda yang benar-benar membara. Para generasi masa kini semakin menjauh dari segala hal yang berkaitan dengan kesenian wayang. Kenapa pemuda? Karena pemuda adalah para pewaris yang potensial untuk mengembangkan sayap kesenian wayang negeri ini agar lebih lebar daripada sebelumnya.  Disinilah pentingnya mendekatkan kesenian wayang bagi kalangan generasi penerus bangsa ini. Jangan sampai, keseluruhan pertunjukan wayang yang sudah mapan membuat pemuda mengikiskan minat terhadap pertunjukan wayang. Berikan ruang bagi pemuda untuk untuk membuat yang lebih bagus (dalam artian estetika keindahan).

Seiring dengan perkembangan zaman, maka kesenian ini juga berubah sesuai dengan kondisi sosial masyarakat. Oleh karena itu, keberlangsungan kesenian ini tergantung bagaimana ia mampu beradaptasi terhadap perubahan zaman. Wayang dikemas dengan suatu gaya pementasan. Suatu kesenian ketoprak memiliki unsur-unsur pementasan, dalam hal ini managemen pementasan ketoprak sangat menentukan diterima atau tidaknya kesenian ini dimata masyarakat. Sehingga, masyarakat dapat menikmati ketoprak dengan kehadiran hati.

Secara global, unsur-unsur ini sangat mendominasi dan saling menjalin antara satu medium dengan medium lainnya. Diantaranyayaitu dalang, cerita, dan boneka wayang, iringan audio visual (karawitan, perlengkapan non musik, alat musik, pesinden),gerak wayang, panggung, tata pentas, tata lampu dan tim produksi, penyelenggara, sikap serta citra dari setiap pendukung pentas (niyaga, para penyaji hidangan  atau sinoman, maupun para penontonnya).

Sebagai seni kolektif, pementasan seni wayang dilakukan oleh seorang dalang dengan secara bersama-sama, dan mengharuskan semuanya sejalan, seirama serta perlu harmonisasi dari keseluruhan tim. Karena pertunjukan ini merupakan proses seseorang atau sekelompok manusia dalam rangka mencapai tujuan artistik wayang secara bersama.

DALANG

Ini adalah unsur yang pasti ada dan harus ada. Karena tanpa dalang wayang tak dapat dimainkan.  Arti kata dalang adalah orang yang pekerjaannya memainkan lakon wayang. Dalam pertunjukan wayang, dalang menduduki kedudukan yang sentral. Ia dapat juga dianggap sebagi sutradara dan sekaligus sebagai pelaku utama dalam pertnjukan tersebut. Ungkapan Jawa “Dhalange mangkel, wayange dipendem” yang berarti “Dalangnya jengkel, wayangnya ditanam” merupakan suatu ungkapan yang dapat mewakili kedudukan sentral dalang dalam pertunjukan wayang.

Tidak hanya sampai disitu, dalang juga berperan sebagai penghubung antara manusia dan jagad raya besar antara komunitas dan dunia spiritual. Peranan seperti ini hanya terdapat dalam wayang yang digunakan sebagai sarana upacara keagamaan. Karena itu, terutama masa lalu, dalang mendapat tempat yang terhormat dalam masyarakat. Namun saat ini, di era pembangunan dalang memiliki kedudukan sebagai penyampai pesan komunikatif untuk menebarkan pesan-pesan pembangunan didalam masyarakat.

Pekerjaan sebagai dalang merupakan suatu tradisi turunan, umumnya dari ayah kepada anak laki-laki. Disamping pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai oleh mereka, misalnya tentang cerita, suluk, teknik pergelaran. Berikut ini adalah beberapa kriteria yang harus dimiliki oleh seorang dalang:

  1. Penjiwaan yang total

Dari berbagai sumber dijelaskan, bahwa seorang dalang yang kompeten harus memiliki penjiwaan yang total. Karena wayang bagi dalang bukanlah hanya sebagia ajang mencari nafkah. Namun, wayang adalah suatu sarana penyaluran bakat seni yang kental. Dan disinilah yang sangat penting, memandang dan memanfaatkan wayang sebagai wahana untuk mewujudkan cita pengabdiannya terhadap sesama.

           Totalitas peniwaan dalang dalam suatu pertunjukan menyebabkan pertunjukan wayang menjadi lebih hidup, komunikatif dan dapat menembus segi-segi hati nurani terdalam sehingga dalam segi-segi tertentu dalang membuat sensasi suasana menghanyutkan sehingga membuat penonton tak mampu menahan air matanya.

  1. Cita dan pandangan hidup

Setiap dalang bahkan setiap orang harus memiliki cita dan pandangan hidup. Hanya saja kadar pemantaannya yang berbeda-beda. Sebenarnya setiap kali kita menonton pementasan wayang, kita diajak untuk lebih arif dalam hidup, terutama tentang hakikat sebagai mahluk Tuhan YME, kita diajak untuk ikut  yakin terhadap hukumm Tuhan yakni hukum kepastian yaitu takdir. Inilah dalang yang sesungguhnya, setiap ungkapan yang terucap bukanlah merupakan suatu percakapan pakem atau hafalan, melainkan suatu hal yang sangat spotan.

  1. Bakat, kreativitas dan kesungguhan usaha.

Seorang dalang merupaka tokoh panutan, teladan. Bakat, kreativitas dan kesungguhan usaha itu tertanam dan terpupuk dalam jiwanya melalui suatu prosess panjang kehidupan.

  1. Sanggit

Sanggit adalah kemampuan dan kemahiran dalang dalam penyajian serta pengaturan dialog dan skenario untuk membentuk dan mengarahkan opini penonton terhadap jalannya cerita, sejalan dengan norma dan etika yang dianut oleh sang dalang. Makin tinggi dalang berarti ia memiliki derajat keilmuan yang semakin matang, semakin kokoh pula pandangannya tentang kehidupan. Dengan demikian, ia juga memiliki kemampuan sanggit yang kuat. Sebaliknya, dalang-dalang muda yang belum cukup pengalaman biasanya memiliki kemampuan sanggit yang masih lemah. Biasanya, sanggit juga dikenal sebagai kemampuan menggubah cerita.

  1. Kemampuan bahasa dan pengetahuan umum

Salah satu keunggulan yang harus dimiliki oleh seorang dalang adalah kemampuan dalam menggunakan bahasa dan pengetahuan umum. Menurut buku acuan pedalangan “Sastramiruda” seorang dalang seharusnya memenuhi syarat-syarat keterampilan bahasa sebagai berikut:

  1. Antawecana: dapat menyuarakan dengan tepat warna atau tipe suara masing-masing tokoh.
  2. Banyol: dapat membuat lelucon
  3. Hawicarita: pandai mendongeng
  4. Kawiradya: dapat membeda-bedakan janturan masing-masing tempat yang diceritakan.
  5. Renggep: dapat menyajikan tontonan yang mengasyikkan
  6. Mardibasa: dapat menguasai berbagai tingkat bahasa (ngoko, krama, krama-inggil, bagongan, dll
  7. Mardawalagu: pandai menembang, suluk kombangan, gendhing-gendhing, dll
  8. Nges: dapat membangkitkan rasa keterlibatan penonton atau dramatisasi.
  9. Paramengkawi: dapat menggunakan kata-kata Kawi dengan tepat dan indah
  10. Paramasastra: dapat menguasai sastra Jawa
  11. Sabetan: dapat memainkan boneka wayang dengan baik dan memikat
  12. Tutung: dapat menyajikan sebuah lakon dengan utuh-lengkap-tuntas

Seorang dalang sebaiknya tidak merusak hal yang perlu dipandang, tidak pernah pilih kasih terhadap boneka wayang, meninggalkan panggung dengan tertib, serta tidak menyindir penonton atau orang-orang tertentu. Ia memiliki pengetahuan umum yang luas, sehingga dapat mengkombinasikan gaya pertunjukan dengan baik, berpadu dengan lelucon sopan tidak secara vulgar diceritakan, atau menyinggung hal-hal yang sensitif.

  1. Pesan dan kritik

Sebagai tokoh panutan masyarakat, seringkali seorang dalang mendapat titipan pesan untuk disampaikan kepada masyarakat. Hal ini wajar ketika dihadapkan pada fungsi wayang sebagai wahana tuntunan bagi masyarakat. Seorang dalang harus mampu menyampaikan pesan secara halus dan enak, agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam penilaian oleh masyarakat. Dalang juga harus mau dan mampu menyampaikan kritik sosial yang sehat dan membangun, baik yang tertuju pada masyarakat maupun kepada pemerintah.

  1. Membaca dan mengarahkan selera publik

Semua penonton pasti ingin menonton pertunjukan yang menarik. Dan, dalang juga mempunyai naluri untuk disenangi penonton. Untuk memenuhi semua ini, seorang dalang harus mampu membaca selera publik. Disinilah kemampuan seorang dalang sedang diuji. Meskipun setiap penonton memiliki selera yang berbeda, namun selera publik pasti sebagian menyiratkan adanya kesamaan keinginan.Misalnya, keinginan menonton hiburan yang segar.

CERITA

Suatu konsep kreatif terlahir dari sejauh mana dalang sebagai kreator sekaligus sebagai sutradara meramu naskah menjadi bahan mentah pertunjukan yang lengkap dengan bumbu penyedapnya. Sehingga aroma artistik pertunjukan dapat benar-benar dinikmati oleh para penonton seutuhnya.

Dalam drama kita menyebutnya mengenal bermacam-macam cerita yang terdapat dalam naskah. Naskah berisi sebuah karangan yang mengandung suatu cerita atau lakon. Dalam naskah tersebut termuat nama-nama dan lakon tokoh dalam cerita, dialog yang diucapkan para tokoh dan keadaan panggung yang diperlukan. Bahkan kadang-kadang juga dilengkapi penjelasan tentang tata busana, tata lampu dan tata suara (musik pengiring).

Karena cerita merupakan unsur utama dalam pertunjukan wayang, maka pengembangan cerita-cerita ini tergantung pada kepiawaian para seniman dalang sendiri, dan di sini dibutuhkan kreatifitas yang sifatnya imajiner guna memperindah sebuah cerita. Pada umumnya mengambil atau mengembangkan (carangan) cerita dari Mahabarata dan Ramayana.

Untuk alur cerita, biasanya setiap jenis wayang memiliki perbedaan alur cerita, baik itu berupa sanggit (cara penyampaian cerita) maupun alurnya. Hal ini disesuaikan dengan kondisi penonton atau calon penonton yang diharapkan. Selera pemuda berbeda dengan selera orang tua, demikian juga selera orang tua akan sangat berbeda dengan selera pemuda. Selera pemuda biasanya instan, maka alur cerita dibuat sederhana, tidak bertele-tele.

BONEKA WAYANG

Berbicara tentang pementasan wayang sejumlah  pengertian tentang wayang muncul, yakni: wayang mengacu pada boneka (sejenisnya), wayang mengacu pada kisah (lakon), wayang mengacu pada pertunjukan (performance). Sebelumnya, kita telah banyak mengenal jenis-jenis boneka wayang. Disinilah saatnya memilih, wayang jenis apa yang akan ditampilkan, tokoh siapa yang akan diperankan.

Lakon cerita wayang merupakan penggambaran tentang sifat dan karakter manusia di dunia. Karena penggambaran karakter dan lakon (cerita) yang mencerminkan sifat-sifat dan karakter manusai secara khas, sehingga wayang banyak mensugesti masyarakat penikmat pertunjukan wayang. Padahal, semua itu hanyalah bayangan atau sesuatu yang semu, bukanlah suatu kejadian nyata.

Terdapat banyak bentuk-bentuk wayang, seperti: wayang kulit, wayang kayu, wayang suket, wayang boneka atau golek, gunungan, senjata, pogon, ampyak (rampogan), dan hewan, yang hanya dapat digerakkan dengan menggetarkan boneka wayang. Semua bentuk wayang ini dapat digunakan sebagai media penyampaian cerita kepada penonton.

IRINGAN AUDIO VISUAL

Pertunjukan wayang tidak akan menimbulkan kesan tanpa adanya iringan seperti karawitan, alat musik, pesinden yang dapat memberikan efek yang terdengar dan terlihat (audio-visual effect). Efek-efek yang terdengar dan terlihat dalam pertunjukan wayang yakni: carita, pocapan (narasi), janturan, antawecana (percakapan antar tokoh dalam pertunjukan) dhodhogan (bunyi yang dihasilkan cempala yang dipukulkan pada kotak wayang), kepyakan (bunyi yang dihasilkan kepyak dengan tumpuan kotak wayang), sindhenan (alunan bunyi indah yang dilantunkan oleh pesindhen), sulukan (nyanyian yang dihasikan dalang untuk menciptakan nuansa tertentu),gerongan (alunan bunyi indah yang dilantunkan oleh wiraswara),  tembang (nyanyian yang dilantunkan oleh dalang, pesinden, niyaga, atau wiraswara), dan gendhing (melodi, komposisi musik yang mengandung aspek nada dan irama tertentu).

GERAK WAYANG

Adanya wayang tanpa adanya gerakan sama halnya menonton pertunjukan bisu. Tak ada sensasi yang membangkitkan semangat. Dengan adanya efek gerak wayang, suatu pertunjukan akan sampai maknanya kepada penonton. Untuk menghasilkan efek-efek tersebut diperlukan perlengkapan, yakni: boneka wayang,blencong (lampu), batang pisang,cempala (pemukul kotak),kepyak (lempengan logam), kotak wayang, gamelan (instrumen), dan kelir (layar). Disini dalang memiliki peran sebagai penggerak utama.

 Satu efek yang terlihat dalam pertunjukan wayang yakni: sabetan. Terdapat dua pengertian sabetan atau puppet movement, dalam arti sempit berarti perang, sedangkan dalam arti luas berarti gerak wayang secara keseluruhan, intensitas gerak dinamis. Hampir semua anggota tubuh wayang dapat digerakkan.Gerakan dapat timbul dari kedua tangannya, ataupun hanya dengan satu tangan saja, tergantung peran yang akan diciptakan.

PANGGUNG

Panggung merupakan tempat untuk b            erkreasi. Seorang dalang ada karena ia memainkan wayang. Wayang ada karena dimainkan dalang di panggung pementasan. Tak ada panggung wayang hanya berfungsi sebagai artefak budaya yang terkadang dihiraukan, tapi ketika panggung itu ada, wayang menjadi pusat perhatian yang mampu menyampaikan makna-makna positif kehidupan.

Kesenian wayang dikenal sebagai seni adiluhung. Seni wayang yang tidak hanya memikat karena wujud seni cerita dan pertokohannya, tetapi juga seni permainan boneka dan pentasnya, seni sastra, filsafat dan pesan-pesannya juga seni suara dalang maupun karawitannya. Kriterianya panggung atau pentas wayang biasanya sebagai berikut: cerita klasik atau legendaris, panggung yang megah, mewah, kolosal, banyak aktornya, syarat-syarat tertentu bagi penontonnya, dan lain-lainnya.

TATA LAMPU

Efek cahaya dari lampu dapat dikategorikan sebagai salah satu faktor pendukung pementasan wayang. Pengaturan cahaya atau penataan lampu di panggung dibutuhkan untuk membangun suasana, mendukung jalan cerita yang menerangkan tempat dan waktu kejadian pada sebuah cerita, untuk menggambarkan kejadian pada malam hari atau siang hari, menggambar kejadian misal di tempat romantis.

TIM PRODUKSI

Dalam proses produksi artistik wayang ini, ada sekelompok orang yang disebut sebagai tim produksi. Tugas mereka adalah untuk mengkoordinasikan kegiatan.  Kelompok ini yang menggerakkan dan menyediakan fasilitas, teknik penggarapan, latihan-latihan, dan alat-alat. Sehingga esensi pencapaian ekspresi bersama pertunjukan wayang dapat tercapai.

PENDUKUNG PENTAS

Selain hal-hal yang langsung berpengaruh terhadap warna pentas, pertunukan wayang harus juga memikirkan untuk memelihara suasana keseluruhan panggung. Selain itu,sikap dari para pelaku pentasnya juga harus diperhatikan. Misalnya dengan tetap mengendalikan ketertiban dan kebersihan ruang niyaga (yang biasanya) sarat dengan alat-alat dan limbah konsumsi seperti: gelas, kulit lemper, piring,puntung dan bungkus rokok, dll).

Karena unsur pendukung pentas sepertiniyaga, para penyaji hidangan  atau maupun sinoman perlu juga diperhatikan. Diharapkan agar niyaga selalu berpakaian seragam, termasuk jenis dan cara menyandang kerisnya (sebaiknya dengan warangka gayaman). Mereka juga harus pandai menjaga sikap dan suasana yang terkendali, tidak membuat udara panggung menjadi suram karena kepulan rokok di berbagai sudut,tidak terkesan mengantuk atau letih dan lain-lainnya.

PENYELENGGARA

            Adanya pertunjukan wayang karena ada yang menyelenggarakan. Penyelenggara pertunjukan wayang merupakan unsur yang paling penting. Karena eksplorasi pertunjukan wayang merupakan realisasi dari fasilitas yang diberikan oleh penyelenggara. Ketika seorang dalang memainkan wayang, penyelenggara yang mempunyai hajat berhak meminta dalang untuk membawakan tema pilihan sesuai dengan agenda hajatan penyelenggara. Proses pementasan wayangun berlangsung.

Hasil dari proses pertunjukan wayang ini dapat dinikmati oleh penonton dan penyelenggara. Bagi penyelenggara pertunjukan wayang, hasil dari proses tersebut menjadi suatu kepuasan tersendiri. Wayang ini sebagai ekspresi estetis, pengembangan profesi dan penyaluran kreativitas.

PENONTON

Penonton termasuk unsur penting dalam pementasan. Bagaimanapun sempurnanya persiapan, kalau tak ada penonton rasanya tak akan dimainkan. Jadi, segala unsur yang telah disebutkan sebelumnya pada akhirnya untuk penonton. Inilah yang terkadang menjadi suatu permasalahan wayang masa kini. Perjuangan  dalang mengemas suatu pertunjukan dan mengkoordinasikan semua unsur pementasan ketoprak tak sebanding dengan minat yang ditunjukkan penonton. Inilah yang harus mendapat perhatian. Untuk menciptakan minat yang tinggi, kita harus memperhatikan selera keseluruhan penonton masa kini.

Perjuangan pekerja seni wayang dalam menjaga nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) dan rekaman sejarah tak sebanding dengan apresiasi yang diterima. Penonton dalam hal ini bukan hanya penonton yang hadir dalam sebuah pertunjukan wayang, tapi bisa juga penonton dalam arti luas. Penggiat wayang senantiasa asing dari gelegar penghargaan kesenian dan kebudayaan negeri ini. Sehingga inilah yang bisa jadi melemahkan semangat para pekerja seni wayang.

Padahal, besarnya insentif (upah) penggiat wayang ditentukan banyaknya pagelaran yang dijalani dan banyaknya apresiasi dari penonton wayang. Tanpa adanya panggilan pertunjukan sebagai bentuk apresiasi penonton, penghasilan penggiat wayang akan berhenti total. Inilah tragedi kehidupan pekerja kesenian negeri, di tengah agenda nasional dalam mengapresiasi khazanah kebudayaan bangsa.

Kesenian tradisional wayang sedang termarginalisasi. Serbuan seni budaya modern berhasil memposisikan wayang di titik kulminasi terendah di dalam selera pasar industri kreatif Indonesia. Wayang hanya bisa bertahan di wilayah periferi, baik secara geografis, sosial, maupun, ekonomi.

Akibatnya, wayang hanya mudah ditemui di wilayah-wilayah pinggiran, seperti masyarakat pedesaan pantai Utara Jawa (Pantura). Penggemarnya pun tersegmentasi pada kelas menengah ke bawah, sehingga wayang seakan ditakdirkan sebagai penghibur kaum marginal. Umumnya, dalang dan grup kesenian wayang dapat ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Solo, Jogkakarta, Semarang, Pati, Kediri dan Tulungagung.

Hal yang perlu digaris bawahi bahwasannya di jaman sekarang sudah jarang orang memiliki halaman luas, mungkin ini merupakan salah satu alasan kenapa masyarakat kita lebih memilih campursari daripada pertunjukan wayang. Dari pemikiran ini kami hanya menggunakan beberapa instrument gamelan yang dirasa bisa membantu jalannya alur cerita. Mengingat fungsi musik di sini hanyalah sebagai ilustrasi ataupun penguat adegan atau situasi tertentu. Tidak hanya itu perkembangan musik yang terjadi di jaman sekarangpun ikut menjadi pertimbangan bagi pemilihan atau pembuatan aransemen baru dalam sajian wayang magak ini. Seperti kasus dijaman sekarang, pemuda di kota lebih senang mendengarkan musik popular daripada gamelan, sedangkan masyarakat di desa lebih senang mendengarkan campursari daripada gamelan. Permainan musik sebenarnya merupakan permainan ritme, nada dan birama. Ketiga factor ini menjadi konsep dalam membuat aransemen baru tersebut, dengan catatan tidak semua iringan yang digunakan merupakan aransemen baru, semua dikembalikan pada kebutuhan adegan atau alur cerita.

Semua unsur pementasan wayang ini merupakan media penyampaian cerita kepada audien. Sebagai medium maka unsur-unsur ini sebenarnya harus sudah dipahami dan dimengerti oleh para pecinta wayang, seperti halnya boneka wayangnya. Hal tersebut mungkin telah diketahui oleh generasi dahulu. Yang menjadi sebuah tanda tanya besar adalah apakah para generasi mengetahui dan memahami tentang nama-nama wayang dan keindahan bahasa yang terdapat dalam pertunjukan wayang tersebut. Padahal pertunjukan wayang penuh dengan simbol, dari mulai gerak wayang yang hanya dua dimensi, seperti halnya bahasa wayang yang banyak menggunakan bahasa kias.

            Untuk keperluan-keperluan tertentu, durasi waktu pementasanya kadang-kadang dipersingkat (pakeliran padat), struktur ceritanyapun dirobah dan disesuaikan dengan kebutuhan. Selain itu, sejak puluhan tahun terakhir ini muncullah berbagai kreasi kontemporer baik yang konstruktif maupun yang lebih bersifat penyimpangan. Sebuah contoh penyimpangan yang terjadi misalnya dengan adanya pertunjukan wayang kulit yang “diperkosa” dengan selingan tampilnya seorang penyanyi dang-dut. Ironis lagi , hal ini justru mulai menjamur di daerah Jawa Tengah bagian timur, daerah yang banyak dipercayai orang sebagai pusat kebudayaan Jawa.

            Pertunjukan wayang telah disempurnakan secara terus-menerus selama berabad-abad, sehingga menyandang predikat adiluhung. Sesudah sampai tataran ini, seni wayang masih terus dicoba untuk digarap. Dan wayang masa modern mengalami pergeseran dalam fungsinya yang dominan sebagai hiburan. Dari pentas wayang dapat diberikan beberapa macam penilaian, antara lain sebagai hiburan berdimensi ganda yang bermanfaat dan mendidik, atau malah sebagai hiburan yang murahan, keliru dan menyesatkan.  Karena itu, memang belum tentu setiap pertunjukan wayang dapat menjadi sebuah pagelaran seni yang adiluhung.

Pentas wayang diharapkan jangan hanya berbobot sebagai tontonan yang indah, nikmat dan mengasikkan, pentas wayang seyogyanya juga harus mampu menjadi tuntunan masyarakat penontonnya dalam hal etika, moral dan semangat-semangat luhur lainnya. Sehingga esensi wayang sebagai penuntun dapat benar-benar tercipta. Baik memberikan kesadaran hakiki mengenai hidup seseorang secara individual, kesadaran cara berfikir dan tingkah lakunya sebagai makhluk hidup dalam hubungannya dengan Sang Pencipta, maupun kesadaran cara berfikir dan tingkah lakunya sebagai anggota keluarga, masyarakat, negara dan dunia internasional.

Pertunjukan wayang semakin banyak memberikan harapan untuk menjadi sebuah pagelaran seni dianggap adiluhung jika kedua bobot nilai yaitu sebagai tontonan dan tuntunan tersebut dapat ditampilkan. Meskipun adiluhung yang sebenarnya masih memerlukan perenungan lebih lanjut.


 


DAFTAR PUSTAKA

 

Sumber Buku:

Bastomi, Suwaji.1993. Nilai-nilai Seni Pewayangan.Jakarta: Effhar & Dahara Prize.

Guritno, Pandam. 1988. Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. Jakarta, UI Press.

K, Ismunandar. 1994. Wayang, Asal Usul dan Jenisnya. Jakarta: Effhar & Dahara Prize.

Najib, Emha Ainun. 1995. Terus Menerba Budaya Tanding. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Yogyakarta.

Mulyono, Sri. 1975. Wayang Asal Usul, Filsafat & Masa Depannya. Jakarta: Alda.

Suhardi, Wisnu Subagyo.1996. Arti dan Makna Tokoh Pewayangan Ramayana dalamPembentukan dan Pembinaan Watak. Jakarta: Depdikbud.

 

Sumber Internet:

http://anggatoji.wordpress.com/about/trackback/

http://anggatoji.wordpress.com/category/jenis-wayang/wayang-wayang-wahyu/

http://ansepadang.blogspot.com/2008/06/sekilas-menjenguki-wayang-gung.html

http://baltyra.com/2009/03/15/wayang-potehi/

http://berita.balihita.com/ketika-calonarang-menjadi-semakin-garang.html

http://daftarwarisan.gov.my/index.php?page=warisan_keb_home&subpage=show_detail&category=2&id=37

http://forum.um.ac.id/index.php?topic=22255.0

http://heritageofjava.com/portal/article.php?story=20090310003929996

http://heritageofjava.com/portal/article.php?story=20090310004240873

http://heroesoesanto.blogspot.com/2011/03/wayang-krucil-1648-raden-pekik-di.html

http://heroesoesanto.blogspot.com/2011/03/wayang-krucil-1648-raden-pekik-di.html#

http://hurek.blogspot.com/2007/02/pelestari-wayang-potehi-di-surabaya.html
http://galeri.gangbaru.com/
http://en.wikipedia.org/wiki/Glove_puppetry
http://www.gio.gov.tw/taiwan-website/5-gp/culture/glove_puppetry/
http://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_Potehi


 



TENTANG PENULIS

 

S

UROTUL ILMIYAH, biasa dipanggil Ilmy. Kelahiran Pasuruan, 30 juni 1993. Dibesarkan dalam keluarga etnis jawa. Masa kecil dihabiskan di Pasuruan, Jawa timur. Mendapat pendidikan awal di Taman Kanak-Kanak Dharma Wanita Sambirejo. Menempuh Sekolah Dasar di SD Negeri Sambirejo II  hingga tahun 2004, Madrasah Tsanawiyah di MTsN Pasuruan lulusan 2007, dan Sekolah Menengah Atas di SMA AL-YASINI Pasuruan dalam Al-Yasini Boarding School .

Penulis mengawali hobi menulis pada saat di bangku MTs, berbagai perlombaan menulis karya ilmiah diikuti, setelah tergabung dalam organisasi ekstrakurikuler KIR MTs N Pasuruan. Penulis pernah mendapatkan Tropi juara 1 KIR dari walikota  pasuruan dan piala dari Gubernur Jawa Timur dalam rangka Hari Koperasi pada tahun 2005.

Tak hanya sampai disini, cita-cita menjadi penulis profesional best seller Indonesia yang menjadi inspirasi generasi muda membuat penulis tetap aktif menulis. Ketika menjalani 3 tahun proses pendidikan di Pesantren Terpadu Al-Yasini, selain hobi menulis puisi, KIR, penulis juga banyak menghabiskan waktu dalam dapur redaksi majalah EKSIS SMA AL-YASINI sebagai editor. Dan juga sering dipercaya untuk mengamalkan ilmu dengan membimbing adik kelas yang berkompetisi menulis karya ilmiah, dan alhamdulillah penulis bisa mengantarkan adik kelasnya mendapatkan predikat juara 1 dan juara 2 lomba karya tulis ilmiah tingkat SLTA se-Kabupaten Pasuruan.

Pesantren mengajarkan banyak hikmah kehidupan kepada penulis, mengajarkan nilai-nilai integritas yang dikemas dalam miniatur sebuah negara. Motivasi-motivasi dari Pengasuh-pengasuh, orang tua dan ustadz-ustadzah yang tak pernah padam membuat penulis selalu optimis dalam menemukan mozaik-mozaik kehidupan, hingga mengantarkan penulis menjadi lulusan terbaik (santri teladan) angkatan 2010 SMA ALYASINI Pasuruan. Tak hanya itu, pesantren jugalah yang telah membuat penulis bisa melanjutkan ke bangku kuliah dengan  beasiswa PBSB ( Program Beasiswa Santri Berprestasi) dari Kementrian Agama RI ke Fakutas Kedoteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK), Program Studi Kesehatan Masyarakat (PSKM) UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA dan tergabung dalam organisasi CSSMORA (Community of Santri Schoolars of Ministry of Religion Affairs)  angkatan 2010.

BUKU TERBARU “SENI PERTUNJUKAN WAYANG”


wayang merah putih

Image

Previous Older Entries

MY DAY

May 2024
M T W T F S S
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  
Aaf Master Java....must Go On........^_^

The best Future,,, Never Give up........

Kumpulan Sampah

Berkarya untuk Bangsa

master1306

Just another WordPress.com site

clickcouple

Click Couple

Start Now......

jangan takut tuk bermimpi

Nuranimahabbah's Blog

Hidup itu cuman sekali maka beryukurlah agar bahagia

Aryfha Syahrazn

Act LIke Lady, Think Like a Man, Work Like a Horse

Kumpulan Makalah Exactly

Karya Tulis Anggota Exactly Selama Menempuh Studi

Clabbing Everyday...

clayaban bingung mau ke mana......wkwkwk :D

Apa kabar dunia

alam, manusia, lingkungan dan hidup

imasbahri

A great WordPress.com site

Meia Asmalasari

ikhlas, sabar dan tetap tersenyum dalam keadaan sesulit apapun ^^

soedradjat

sebuah pranata dari kehausan ilmu pengetahuan

cssmorasunanampel

Berjuang Raih Prestasi dan Mengabdikan Diri

Kasur Empuk

enjoy! :)

Nilna.R.Isna

Kata Tanpa Jeda

Welcome to Najmthree's Site

Belajar, Berkarya, Berprestasi, dan Menginspirasi

Catatan Jonru

Writing is not my hobby. It's a part of my life style.